Tarimo kasih kanda Dasriel. Ambo lulusan SMAN 8 Jakarta, tahun '86.
Subhanallah kalau kanda produktif manulih cerpen. Ambo justru jarang.
Cerpen ambo baru 14 jumlahnyo, saketek bana bagi ukuran cerpenis.
Nan 13 ado dalam kumpulan cerpen ASdKyBA itu (dengan pengantar Prof. Dr. Budi 
Darma, 2006), satalah itu ambo vakum panjang, limo tahun indak manulih cerpen.

Ambo baru manulih cerpen baliak tahun kapatang (2011), bajudua "Epitaf Bagi 
Sebuah Alibi" dimuek di Kompas Minggu, Oktober 2011. Salah satu tokohnyo banamo 
Wali Nagari.

Iko lamannyo jika amuah dibaco:

http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/16/epitaf-bagi-sebuah-alibi/

Tapi satalah iko alun ado lai cerpen nan bisa ambo tulih sampai kini. 


Kok buliah tanyo saketek, baa caro kanda Dasriel produktif dalam manulih cerpen 
tu? Mudah-mudahan bisa ambo terapkan pulo. Tarimo kasih.

Salam,

Akmal N. Basral
Cibubur
 
minds are like parachutes. they work best when open.


________________________________
 From: Dasriel Noeha <dasrielno...@yahoo.com>
To: "rantaunet@googlegroups.com" <rantaunet@googlegroups.com> 
Sent: Friday, August 31, 2012 2:11 PM
Subject: Bls: [R@ntau-Net] (OOT) Cerpen "Boyon"
 

"Rancak", itu kalimat kekaguman ambo, ka sdr Akmal, tentang cerpen Boyon.
Ambo SMA di Padang Panjang lulus 71, acok juo manulis cerpen dan puisi utk  
koran di Padang dan Jakarta,
tapi indak sarancak nan  ditulis sanak Akmal
 
salam,
dasriel

Dari: akmal n. basral <an...@yahoo.com>
Kepada: "rantaunet@googlegroups.com" <rantaunet@Judul: [R@ntau-Net] (OOT) 
Cerpen "Boyon"


Sanak sapalanta nan budiman,
talampia adalah cerpen ambo "Boyon" (2006) nan ado dalam kumpulan cerpen "Ada 
Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku", antologi nan masuak long list 
Khatulistiwa Literary Award 2007.

Iko bacaan ringan untuak akhia pakan. 


Mangingek ambo lahia dan gadang di Jakarta, mohon maaf jiko ado detail kisah 
tentang kampuang nan indak sasuai.(Saluruah namo urang dan tampek dalam kisah 
ko iyo hasil imajinasi ambo sajo).

http://athinktokill.blogspot.com/2008/10/boyon.html

Tapi ruponyo kisah ringan ambo ko dibedah serius oleh surang mahasiswi 
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, banamo Puji Pramesti dengan judul 
"barek" manjadi "A Portrait of Human Culture Toward Nature: An Ecocritical 
Analysis of The Short Stories by Akmal Nasery Basral" 

Pengantar
http://repository.upi.edu/abstrakview.php?no_abstrak=1009

Abstrak
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351__abstract.pdf 


Metodologihttp://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351_chapter3.pdf

Kesimpulan
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_033781_c0351_chapter5.pdf



Salam,

Akmal Nasery Basral
Cibubur

* * *

Cerpen


BOYON
Akmal Nasery Basral


NAMAKU Boyon. Jems Boyon. Nama ini diberikan ayah setelah menonton film yang 
dibintangi Sean Connery di bioskop lusuh Pasar Atas, Bukittinggi, Sumatera 
Barat. Atau lebih tepatnya, setelah ayah dan ibuku yang hamil tua menonton film 
itu. Mereka tidak tinggal di Bukittinggi melainkan sekitar 14 kilometer ke arah 
Payakumbuh, di desa Kapau yang terkenal dengan kelezatan nasinya. Mungkin 
karena perjalanan yang cukup jauh, kontraksi perut ibu berlangsung lebih cepat 
tiga pekan dari perkiraan. Malam harinya ibu melahirkan dengan bantuan bidan.

"Aku ingin namanya Hatta, agar sikapnya harum wangi seperti proklamator kita," 
kata ibu sembari berulang kali menciumi pipiku. Tentu saja aku tak ingat 
kejadian itu kalau tidak diceritakan lagi oleh ibu. 

"Nama yang bagus, tapi ..." Ayah jelas tak setuju. Setelah beberapa detik
 gagal menemukan kata-kata yang pantas, sikap ayahku yang gadang ota, alias 
omong besar, tak bisa disembunyikan lagi. "Pak Hatta hidupnya terlalu 
sederhana. Aku tak mau anakku hidup menderita di jamannya." 

"Kalau begitu...Hamka?" 

"Itu lebih berat lagi. Nama ulama besar jangan sembarang diberikan. Kalau tidak 
kuat, anak kita bisa gila."

"Bagaimana kalau Navis, katanya itu nama penulis." Ibu pantang menyerah.

"Ah tidak. Penulis hidupnya miskin." 

"Kita toh sudah melarat."

"Karena itu jangan ditambah-tambah lagi." Lidah ayahku seperti pesilat lincah. 
Setelah beberapa menit yang hingar oleh dengung nyamuk di rumah kami yang 
sumuk, ayah menjentikkan jarinya seperti mendapatkan ilham.

"Kita namakan saja Jems Boyon seperti film yang kita lihat tadi. Itu nama 
modern. Pintar, tampan, dan disenangi padusi."*

Ibuku
 seorang yang santun. Dia hanya berkata pendek. "Uda yakin itu nama yang benar?"

"Yakin. Saya pernah berdagang di Negeri Sembilan. Di sana, begitulah mereka 
mengucapkannya. Lidah warisan Inggris mereka tentu tak keliru seperti milik 
urang awak."

Begitulah. Pendidikan ayahku yang kandas setingkat kelas 4 Ibtidaiyah, 
bergabung sempurna dengan sifat gadang ota-nya yang selalu membanggakan diri 
pernah ke luar negeri, meskipun hanya sebagai penjual bubur kampiun di 
Malaysia. Dua bulan kemudian beliau pulang kampung saat mendengar Polis Diraja 
Malaysia akan melancarkan razia terhadap pendatang haram. Seperti halnya para 
gadang ota sejati, ayah tak punya cukup nyali untuk kembali mengejar mimpinya. 
Semua terhenti sebatas kata-kata.

~

SEWAKTU bersekolah di SD dekat rumah, teman-teman memanggilku Boyon. Aku merasa 
biasa saja, mungkin karena belum punya konsep tentang keren tidaknya sebuah 
nama. Menginjak SMP aku baru tahu yang dimaksud ayah dengan Jems Boyon tak lain 
dari James Bond. Maka di sekolah, aku menulis namaku sebagai James. Kalaupun 
harus dipanjangkan, ya James B saja. Nama Boyon terdengar seperti bloon, 
istilah yang dipakai seorang teman kelasku dari Jakarta untuk memanggil orang 
dungu. Tapi seorang guru mengaji di surau dekat rumahku satu kali menasehati. 
"James itu nama orang kafir. Tidak pantas orang Minang yang menjunjung adat 
basandi syarak, syarak basandi kitabullah memakai nama seperti itu."**

Aku diam saja, meski hatiku panas. Sholatku memang
 seperti saringan teh yang bolong-bolong. Tapi kalau disamakan dengan orang 
kafir aku tersinggung juga. Bukankah kata seorang pujangga Inggris, apalah 
artinya sebuah nama? Masalahnya, kendati tubuhku semontok karung beras, guru 
ngaji itu juga mengajar silat. Jadi apa yang bisa kuperbuat?

Sepulang dari surau, aku langsung ke sawah. Menjelang pucuk malam, aku 
mengendap-endap mendekati surau dengan karung di pundak. Di Minang ada 
kebiasaan anak-anak lelaki yang mulai dewasa tidak tidur lagi di rumah orang 
tuanya, tapi di surau. Malam itu ternyata hanya sedikit murid tidur di sana. 
Sedangkan guru mengaji yang rajin berkhalwat kepada Allah Ta'ala itu kuintip 
tengah mengerjakan shalat malam. Saat yang pas untuk melepaskan 15 katak dan 23 
belut tangkapan malam itu ke dalam surau. 

Lalu aku menjauh, menunggu. Tak lama kemudian, terdengar kehebohan luar biasa 
dari surau gelap itu. Hampir semuanya memekik histeris. Lalu pintu terbuka, 
guru mengajiku
 keluar seperti hendak mencari si pelaku. Untungnya bulan malas bercahaya. Aku 
melangkah pulang dengan hati puas. Baru sebulan kemudian aku berani mengaji 
lagi, setelah yakin guru itu lupa dengan serangan katak dan belut. 

Lalu aku melanjutkan sekolah di SMA 1 Bukittinggi. Saat itu film Catatan Si Boy 
yang meledak di Jakarta bergaung juga gemanya sampai ke ruang kelas kami. Maka 
aku lupakan nama James. Namaku menjadi Boy. Aku bergaya seperti Onky Alexander 
dengan kerah baju diluruskan ke atas, meskipun kalau mau setia pada tokoh di 
film, wajahku terlihat lebih mirip Emon karena rambut ikalku serta postur 
dengan berat 82 kilogram dan tinggi 164 sentimeter. Terlalu berat? Tidak juga. 
Jangan lupa aku berasal dari Kapau. Kalau baru menyantap sepiring nasi, rasanya 
seperti baru makan sehelai roti.

Jumlah kehadiranku di dalam kelas sebanding dengan jumlah ketidakhadiranku. Aku 
lebih suka nongkrong bersama beberapa teman di jembatan
 Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang dan Benteng Fort de Kock. Jembatan 
itu terbentang di atas Jalan Achmad Yani, jalan utama di Bukittinggi. Jembatan 
ini tempat paling nyaman untuk melihat turis asing lalu lalang. Terutama turis 
wanita yang sering malas berpakaian lengkap seperti perempuan kita. Tak ada 
turis yang berbaju kurung, apalagi berkerudung. Jika mereka tersenyum, aku 
merasa melayang seperti balon gas.

Bosan di Limpapeh, aku menyelinap ke bioskop yang pernah diceritakan ibu, meski 
aku harus hati-hati karena warung bubur kampiun ayahku ada di dekat situ. 
Pertama agar tidak tertangkap basah sedang bolos. Kedua, aku tak mau ada teman 
yang tahu bahwa ayahku tukang bubur kampiun. Sekali kenyataan ini tersebar, 
duniaku kiamat selamanya. Maka semua film di bioskop itu kutonton tanpa peduli. 
Aku lebur dalam segala peran. Ketika menonton Rambo, aku melihat wajahku di 
tubuh kekar Sylvester Stallone. Tampan sekali. Aku bahkan menirukan gaya 
bicaranya yang terdengar seperti sapi mengunyah kelereng.

Betapa pun seringnya aku bolos, aku tak pernah tinggal kelas. Bahkan aku selalu 
bisa masuk tiga besar. "Beruntunglah otakmu encer, Buyung," kata guru sejarah 
yang selalu menolak memanggilku Boy. Menurut teorinya, Buyung itu justru versi 
lokal Minang terhadap boy dan young. Aku tak tahu apakah ia serius atau 
bergurau. Yang jelas terhadap pendapat ini, aku bercita-cita ingin membuat 
sebuah film dokumenter tentang legenda Minang yang syahdan pernah disinggahi 
Iskandar Zulkarnain Yang Agung ketika "dunia masih sebesar telur ayam". Saat 
pengumuman kelulusan SMA diumumkan, aku menjadi juara umum kedua. Hampir tak 
ada yang percaya. Tapi inilah hidup, tak semua fakta bisa kita percaya, bukan? 
Tekadku sebulat tubuhku: masuk Institut Kesenian Jakarta. Aku ingin menjadi 
aktor.

Di Jakarta nama Boy ternyata banyak sekali. Aku ingin berbeda, modern sekaligus 
khas.
 Maka kupilih nama Jems Boy Chaniago. Panggilan: Jembi. Ketika teman-teman 
mendengar ini mereka tertawa terbahak-bahak. 


Para mahasiswa beramai-ramai menyiramku dengan es cendol di depan Kafe Alex. 
Mendadak rambutku seperti Bob Marley. Mahasiswi terkekeh-kekeh geli. "Idih, 
jorok sekali sih namamu," teriak salah seorang. Aku jadi malu setelah seseorang 
membisiki betapa mengerikannya bila mereka harus memanggil namaku di tengah 
keramaian. Setelah mengutak-atik beberapa pilihan, hatiku berkata: Jaby Chan. 
Ya, ini pilihan terbaik. Jaby tentu saja dari James Boy. Yang penting terdengar 
mirip Jacky Chan, idolaku saat itu setelah tahu Jacky hampir tak pernah 
menggunakan stunt man dalam film-filmnya. 

Aku pun mulai serius membentuk tubuh biar terlihat mirip Jacky. Lumayan juga 
hasilnya. Beratku turun dari 82 menjadi 74 kilo. Otot-otot perutku mulai 
terlihat six-pack. Aku pun ikut kursus tertulis ortopedi. Tinggi tubuhku 
terdongkrak 2 senti dari 164 menjadi 166 cm. Aku juga berterima kasih kepada 
para penemu matematika, sehingga jika angka itu dibulatkan, maka tinggiku 
sekarang 1,7 meter. Lumayan. Tinggi dan berat badan baru inilah yang kupasang 
di curriculum vitae sebelum kusebar ke beberapa artist management.

~

MEMASUKI kuliah tahun kedua, ayahku wafat. Aku tak sempat menghadiri 
pemakamannya karena terikat kontrak dengan sebuah produksi film laga. Jika aku 
nekad pulang, bukan saja kontrak diputus, aku malah harus bayar ganti rugi. 
Sialan!

Di dunia film aku mulai merasakan ritme kehidupan Jacky Chan – meski cuma 
urusan stunt man. Soalnya peran utama tetap jatah bintang film terkenal meski 
berotak bagal. Aku hanya pemeran pengganti. Ada di film, tapi tak dikenali 
penonton. Yang mengenaliku justru dukun urut patah ulang di Jakarta Selatan. 
Itupun setelah beberapa kali aku ke sana. 

Hari kelima setelah pemakaman aku bisa pulang melihat tanah pusara yang masih 
merah. Ibu bertanya apakah aku tak ingin melanjutkan usaha bubur kampiun. Aku 
menggeleng tegas. Ia mengangguk lemah seraya mengangsurkan sepucuk surat.

"Dari ayahmu."

"Kapan ayah memberikan?"

"Dia menulisnya sudah lama sekali.
 Pesannya tolong diberikan kepadamu jika dia meninggal."

Aku masuk kamar, membuka surat itu. Tanggalnya menjelang aku lulus SMA. Isinya 
singkat:

Anakku,
maafkan jika selama ini ayah membuatmu malu di hadapan teman-temanmu. Ayah 
memberimu nama yang salah. Kebodohan dan sifat besar kepala ayah yang 
menyebabkan itu, bukan niat hati. Karena itu jangan kau ulangi lagi kebodohan 
ini pada anakmu kelak. Jika ajal menjemput ayah lebih cepat, semoga kau bisa 
memaafkan kesalahan tukang bubur tua ini yang membuatmu menanggung malu seumur 
hidup.

Ayahmu.

~

SURAT itu kini tersimpan rapi meski sudah kubaca ratusan kali selama 10 tahun 
terakhir. Aku tak bermimpi lagi menjadi aktor. Aku beralih profesi menjadi 
sutradara. Bulan depan aku berangkat ke Sundance Film Festival. Film pertamaku 
berhasil menembus seleksi resmi mereka. Di situs mereka tertulis sebaris 
informasi tentang judul filmku: Ode to My Father (Jems Boyon – Indonesia). 
Kalimat itu terlihat kabur di mataku yang basah.

Seaneh apa pun ayah memberi nama, yang ia hadiahkan adalah segunung cinta. Aku 
saja yang terlambat melihat.

Jakarta, 11 Mei 2006


*padusi = perempuan

**adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah = adat bersendi syariat 
(Islam), syariat bersendi Kitab Allah.


 
minds are like parachutes. they work best when open.-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh
 bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
 
 
 



-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/

-- 
-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet 
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
  1. E-mail besar dari 200KB;
  2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di: 
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/



Kirim email ke