Rekans referensi-ers ysh,

Arikel ini tahun 2005. Bila rekan mempunyai example atau counter-example 
untuk tahun 2007, mohon di-share.

"...fakta yang ada sekitar 70-80 persen uang beredar secara nasional, 
masih berputar-putar di Jakarta."
(kutipan artikel di bawah)

Banjir? Macet? Brutalitas? Stress?
Nuff said. ^_^

Salam,

Andri
http://mandrib.multiply.com/
http://profiles.friendster.com/mandrib


Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/18/Fokus/1823142.htm

---article begins---

Biar Bopeng dan Kejam, Jakarta Tetap Magnet

SETIAP hari, berita orang mati ditikam di Jakarta adalah hal biasa. 
Pembunuhan, pencurian, penjambretan, perampokan, pemerkosaan, dan 
sejumlah aksi kejahatan lain sudah menjadi kejadian sehari-hari. Tidak 
jarang, pencuri atau pelaku tindak kejahatan lain yang tertangkap akan 
dihajar beramai-ramai hingga tewas, bahkan mayatnya dibakar.

BERBAGAI stasiun televisi terus-menerus juga mempertontonkan wajah 
brutal dan semrawut Jakarta, dan dengan melihatnya saja orang sudah stres.

Gambaran mencekam itu ternyata tidak menyurutkan langkah para pendatang 
dari berbagai daerah di Indonesia untuk mengadu nasib dan menyambung 
nyawa di Ibu Kota. Kampung halaman yang tidak lagi memberi pengharapan 
akan masa depan dan slogan bahwa Ibu Kota milik semua warga bangsa ini, 
membuat setiap tahun orang terus berbondong- bondong menyerbu Ibu Kota.

Sejumlah pengamat asing menyebut Jakarta dengan segudang persoalan 
ruwetnya dan situasi kehidupan yang tidak lagi manusiawi dan beradap 
untuk tempat tinggal, sebagai gambaran utuh sebuah kota dalam krisis.

"Di Jakarta, setidaknya saya punya peluang. Saya tidak akan pulang 
sebelum berhasil," tutur Iwan, seorang pemuda pengangguran berusia 
sekitar 20-an yang sehari-hari mengisi waktunya dengan menjadi "Polisi 
Cepek" di sebuah pertigaan di kawasan Rawa Sari, Jakarta Pusat.

"Sehari paling dapat Rp 5.000-Rp 8.000. Itu pun dibagi bertiga. Kadang 
masih ada yang malak juga. Makan dua kali sehari pun belum tentu. Tidur 
ya sekenanya. Kadang di emperan, kadang di rumah kenalan di ujung sana," 
ujar pemuda jebolan SMP kelas I di Klaten, Jawa Tengah, itu menunjuk ke 
permukiman padat dan kumuh di ujung gang.

Jika kebetulan sedang tidak menjadi "Polisi Cepek", ia kerja serabutan, 
yang penting dapat uang. Beruntung ia belum punya tanggungan sehingga 
hidup menggelandang pun tak masalah.

Komeng, asal sebuah desa pelosok di Purworejo, memilih menjadi pedagang 
asongan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. Pria 30-an tahun yang 
Kamis siang lalu tampak sibuk berlari ke sana kemari menawarkan dagangan 
permen dan rokoknya bersama sekelompok pengasong lain di antara 
kemacetan ruas tol Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, itu sudah empat 
tahun melakoni profesi ini di Jakarta.

Ia mengaku "tidak bakat" dan tidak betah kerja di pabrik sebagai kuli 
karena penyakit encok yang sudah dideritanya sejak usia muda. Dengan 
pendapatan pas-pasan (ia menolak menyebutkan jumlahnya), ia bisa 
bertahan hampir sepuluh tahun di Ibu Kota dengan menumpang tinggal 
berdesakan di rumah kontrakan saudaranya di kawasan Tanah Abang.

Anak sulungnya yang sudah memasuki usia sekolah pun hingga kini belum 
didaftarkan ke sekolah karena ia tak punya uang. Kendati demikian, ia 
bertekad bertahan di Jakarta. "Mau pulang malu dan paling jadi petani," 
ujarnya.

Entah perubahan nasib seperti apa yang mereka harapkan di Ibu Kota. 
Kisah Iwan dan Komeng adalah secuil dari kisah kehidupan kaum ekonomi 
bawah Jakarta dan potret pergulatan warga pendatang untuk menaklukkan 
Ibu Kota.

Kisah Supriyono yang terpaksa harus membawa keluarganya menjadi pemulung 
di Jakarta dan cerita mengharukan bagaimana ia harus menggendong sendiri 
mayat anaknya ke sana kemari karena ia tak mampu membayar ambulans dan 
biaya penguburannya, menyadarkan kita akan sisi lain wajah Jakarta yang 
menjadi rumah kita selama ini dan memahami mengapa orang tetap 
berdatangan ke Ibu Kota.

BERDASARKAN Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk 
Jakarta meningkat dari 2,7 juta tahun 1960 menjadi 4,6 juta tahun 1971, 
lalu 6,5 juta tahun 1980, dan 8,3 juta tahun 1990. Pada sensus terakhir 
(2000), jumlah penduduk Jakarta per 30 Juni 2000 masih 8.389.443 orang, 
tak banyak bergeming dari tahun 1990 (8.259.266 orang), bahkan menciut 
dibandingkan angka tahun 1995 (9.112.652 orang).

Namun, angka hasil sensus tahun 2000 ini disinyalir berbagai kalangan 
terlalu undercount. Banyak yang tidak tercacah karena karakteristik 
penduduk Jakarta yang mobilitasnya sangat tinggi. Dewasa ini, jumlah 
penduduk Jakarta diperkirakan sudah mendekati 13 juta orang. Pada siang 
hari jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi hampir dua kali lipat, 
karena banyak warga yang bertempat tinggal di luar Jakarta bekerja di 
Jakarta pada siang hari.

Meskipun pertumbuhan penduduk per tahun terus menurun drastis dari 
rata-rata 3,93 persen (1971-1980) menjadi 2,38 persen (1980-1990), dan 
0,17 persen (1990-2000), penghuni Jakarta diperkirakan masih akan terus 
membengkak pada tahun-tahun mendatang, walaupun agak teredam oleh 
pertumbuhan pesat wilayah sekitarnya, yakni Bogor-Tangerang-Depok-Bekasi 
(Botadebek).

Wilayah perluasan metropolitan ini mampu menjadi penyangga wilayah Ibu 
Kota, terutama untuk menampung pertumbuhan penduduk, kebutuhan lahan 
untuk perumahan dan aktivitas ekonomi lain yang sebelumnya menumpuk di 
Jakarta.

Ditambah Botadebek, Jakarta yang hanya seluas 664 kilometer persegi atau 
0,04 persen dari total wilayah Indonesia, dihuni oleh sekitar 10 persen 
dari total jumlah penduduk Indonesia. Ibarat kapal, Jakarta sudah penuh 
sesak dan tinggal menunggu tenggelam jika terus dijejali.

Dengan penduduk yang di atas 10 juta jiwa, Jakarta dewasa ini termasuk 
salah satu dari 20 kota terbesar di dunia dan bahkan terbesar di Asia 
Tenggara.

Tahun 1980, menurut United National Council for Human Settlements, 
Jakarta masih di urutan ke-21 kota terbesar dunia. Tahun 2000 naik ke 
urutan 14 dan tahun 2010 diperkirakan urutan ke-10 dengan jumlah 
penduduk saat itu 15,3 juta.

Bahkan, jika daerah perluasan metropolitan (Jabotadebek) dimasukkan, 
Jakarta sudah masuk 10 kota terbesar di dunia. Richard L Forstall dalam 
peringkat tahun 2001 menempatkan Jakarta di urutan ketiga kota terbesar 
di dunia, sementara demographia.com (2000) menempatkan di urutan 
keempat, world-gazetteer di urutan keenam, dan mongabay.com di urutan 
ketujuh, dan citypopulation.de di urutan kesepuluh.

CONTOH sukses mereka yang berhasil menaklukkan Jakarta selama ini 
menjadi inspirasi bagi warga daerah lainnya untuk tetap datang ke 
Jakarta, kendati di sini mereka sering menemukan kenyataan pahit sebagai 
pendatang liar. Survei yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga belasan 
tahun lalu menyebutkan setiap penduduk yang pulang kampung pada saat 
Lebaran, akan membawa satu anggota keluarga atau kerabatnya dari kampung 
halaman waktu ia kembali ke Jakarta.

Kecenderungan seperti ini diyakini masih berlangsung sampai sekarang. 
Upaya Pemerintah Daerah DKI membatasi jumlah penduduk, dengan membatasi 
masuknya para pendatang liar, tidak pernah berhasil. Laju pertumbuhan 
penduduk yang sangat pesat-melampaui daya dukung kota dan kemampuan 
pemerintah setempat dalam menyediakan kebutuhan dan prasarana dasar 
untuk penduduknya-menyebabkan kualitas hidup Jakarta juga terus 
mengalami kemerosotan.

Tingkat pengangguran, permukiman kumuh, angka kriminal, tingkat 
kemacetan dan polusi, buruknya sanitasi, ketersediaan air bersih, 
kualitas pelayanan umum, seluruhnya mempertegas kecenderungan itu.

Jakarta yang semrawut serta kehidupan di Jakarta yang tidak lagi 
manusiawi membuat survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga beberapa 
waktu lalu menempatkan kota ini di urutan ke-35 daftar kota terbaik di 
Asia, jauh di belakang kota-kota pesaing terdekat seperti Singapura 
(urutan 4), Kuala Lumpur (9), Beijing (10), Metro Manila (14), dan 
Bangkok (26).

Martin Brockerhoff dalam laporan Population Brief 1997 mengungkapkan, 
karena pertumbuhan penduduk yang begitu tidak terkendali, kota-kota 
besar di negara-negara berkembang umumnya tidak lagi menawarkan kualitas 
hidup yang lebih baik dibandingkan di pedesaan.

Meskipun kualitas hidup penduduknya terus menurun, berbagai indikator 
masih menunjukkan penduduk perkotaan memiliki tingkat kesejahteraan jauh 
lebih baik dibandingkan dengan penduduk di pedesaan. Ini menjadi gula 
yang mampu menarik orang-orang dari luar daerah untuk terus berdatangan.

Dalam kasus Indonesia, fakta yang ada sekitar 70-80 persen uang beredar 
secara nasional, masih berputar-putar di Jakarta. Jakarta bukan hanya 
pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi, pusat 
perdagangan, pusat jasa, pusat pendidikan, pusat industri, pusat 
investasi, dan segalanya.

Sebelum krisis 1997, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Jakarta 
tiga persen lebih tinggi dari PDB nasional. Tahun 1999, Jakarta 
menyumbang 9 persen dari PDB nasional, 14 persen transportasi dan 
komunikasi, 15 persen manufaktur, 25 persen perdagangan dan jasa, dan 65 
persen kegiatan industri perbankan.

Ketersediaan dan akses yang lebih mudah ke berbagai infrastruktur dan 
jasa seperti kredit, sumber daya manusia dalam jumlah besar dan 
terampil, listrik, telekomunikasi, suplai air bersih dan prasarana lain, 
membuat pembangunan industri dan pertumbuhan ekonomi selama ini 
terkonsentrasi di Ibu Kota dan sekitarnya.

Konsentrasi pembangunan ini selanjutnya memunculkan permintaan lebih 
besar akan tenaga kerja, perumahan, dan jasa, begitu seterusnya. 
Ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah, antara perkotaan dan 
pedesaan, antara sektor pertanian dan sektor modern seperti industri dan 
jasa, membuat proses urbanisasi dan aglomerasi masih sulit dibendung.

Ekonom M Chatib Basri mengatakan, Jakarta, sebagaimana kota besar 
lainnya di dunia, akan selalu memiliki daya tariknya tersendiri. Ada 
beberapa alasan. Pertama, Jakarta merupakan sektor formal perkotaan 
(urban formal sector).

Salah satu alasan utama mengapa orang tertarik untuk bekerja di sektor 
formal perkotaan adalah tingkat upahnya relatif lebih tinggi 
dibandingkan sektor formal di pedesaan atau di kota kecil. Selain itu, 
pola pekerjaannya juga memberikan kondisi kerja yang relatif lebih baik.

Kedua, fasilitas modern yang lebih baik dan juga hubungan dengan pusat 
kekuasaan atau pusat bisnis membuat daya tarik Jakarta menjadi jauh 
lebih kuat. Ketiga, peluang untuk pengembangan diri juga relatif lebih 
besar di Jakarta.

Beberapa faktor lain yang juga menjadi pendorong adalah, situasi di 
pedesaan yang semakin sulit, dengan taraf hidup yang subsisten, serta 
terbatasnya fasilitas dan infrastruktur.

Faktor ekonomi, menurut Chatib, sebenarnya bukan satu-satunya faktor 
yang menentukan mengapa terjadi urbanisasi ke Jakarta. Beberapa studi di 
kota besar lain menunjukkan bahwa jarak dan hubungan sosial antarpekerja 
yang tinggal di kota juga memengaruhi meningkatnya urbanisasi. Migran 
yang datang ke kota besar banyak yang sudah memiliki keluarga atau 
kenalan yang sudah menetap di kota besar.

Pendatang yang semakin besar juga membawa implikasi semakin ketatnya 
pasar persaingan tenaga kerja formal. Mereka yang tersingkir dari pasar 
tenaga kerja formal akhirnya harus masuk ke sektor informal. Studi yang 
pernah dilakukan Centre for Policy and Implementation Study (CPIS) 
menunjukkan pekerja sektor informal di Jakarta ternyata memperoleh 
pendapatan yang cukup sebanding dengan pekerja di sektor formal 
(tentunya bukan pada level manajerial).

Hal ini yang semakin mendorong tingginya urbanisasi ke Jakarta. Kelompok 
pekerja sektor informal biasanya menghasilkan barang-barang yang murah 
dan juga menyediakan jasa seperti transportasi jarak pendek, input untuk 
industri menengah kecil. Pasar untuk jenis barang-barang seperti ini 
selalu eksis karena mereka yang berpendapatan relatif rendah di kota 
juga membutuhkan barang-barang seperti ini. Oleh karena itu, walaupun 
Jakarta penuh sesak dengan pelbagai rintangan dan kesulitan, arus 
pendatang tetap mengalir.

Tulus Tambunan dari LP3E Kadin Indonesia dalam makalah "Urban Poverty, 
Informal Sector and Poversty Alleviation Policies in Indonesia", juga 
menyebutkan sumber utama kemiskinan di perkotaan adalah kemiskinan dan 
kemunduran ekonomi di pedesaan. Karena ekonomi pedesaan didominasi oleh 
pertanian, maka sumber utama kemiskinan pedesaan adalah sektor pertanian 
yang dulu menjadi rumah bagi 70 persen penduduk Indonesia.

Urbanisasi dan in-migrasi dari daerah pedesaan ke perkotaan semakin 
menjadi-jadi sejak pemerintah melucuti segala subsidi yang terkait 
dengan pertanian, seperti subsidi pupuk dan bibit. Kondisi ini 
diperburuk lagi oleh kegagalan pemerintah menjamin harga jual dan nilai 
tukar produk petani.

Jadi, semrawutnya Jakarta bukan hanya akibat kegagalan Pemerintah Daerah 
DKI dalam mengatur tata ruang wilayah dan menyediakan kebutuhan serta 
infrastruktur dasar bagi rakyatnya, tetapi juga kegagalan pemerintah 
pusat memeratakan pembangunan selama 60 tahun Indonesia merdeka.

Persoalan Jakarta adalah miniatur dari persoalan yang dihadapi bangsa 
ini, karena akar kemiskinan dan persoalan yang dihadapi Jakarta ada di 
daerah. Artinya, masalah ini baru bisa diurai jika akar masalahnya juga 
dibenahi. (tat)

---article ends---


Kirim email ke