Harap dan Cinta untuk Tari

Oleh Er Maya Nugroho



SAYA, kamu, dia, pun Cut Tari adalah pribadi dalam dua sisi, hitam dan
putih. Kami pernah berbuat baik [meski mungkin jarang sekali diingat], dan
lebih sering menjadi tempat alpa, khilaf dan salah.



Itu karena kami berjalan di atas jalan kehidupan yang tak selalu mulus.
Adakalanya kami tersandung batu atau tertusuk duri hingga kaki ini terluka.
Kami lantas menangis, dan menyesali memilih rute yang salah. Dalam kelukaan,
kami mengadu pada Tuhan, sang navigator kehidupan. Dan Dia hanya tersenyum,
"dari jalan yang salah ini, sesungguhnya aku sedang 'memperkaya' dirimu"



Ya, ini memang seperti refleksi dari kisah Tari. Bahwa luka, tangis dan
sesalnya bisa menjadi cermin bagi kita. Bahwa kita mungkin pernah menjadi
Tari, yang khilaf dan lalu menyesal. Bahwa sebuah kesalahan sanggup mengubah
total keseluruhan diri, menjadi pribadi yang baru.



Kasus video intim itu adalah aibnya, dosa dari masa lalu Tari. Jika saja
bisa, jika saja mampu, inginnya menutupi borok itu. Namun Tari sadar, ia
milik publik, dan pada publiklah Tari diminta bertanggung jawab, dan meminta
maaf.



Ya, Tari yang dulu kenes, manja dan sensual itu memang sudah menghilang.
Yang terlihat sekarang, hanyalah Tari yang malu, bingung dan cemas.



Tari bagai dipaksa meloncat ke lorong waktu, kembali ke masa itu, saat desah
manjanya pada Ariel terekam jelas di ingatannya, pun belaian lembut tangan
kekar Ariel yang menelusuri setiap lekuk tubuhnya itu masih terasa menyentuh
kulit raganya. Raga yang seharusnya hanya milik Jusuf Subrata.



Dan kini di hadapan puluhan kilatan blitz kamera yang 'menelanjanginya',
Tari terbata-bata memohon maaf, pada petinggi negeri, pada masyarakat, pada
suami yang mematung tegang di sampingnya. Ya, sekuatnya Tari mencoba tegar
meski maaf itu mungkin saja belum cukup. Bahwa setelah permintaan maaf ini,
Tari masih tak tahu bagaimana kehidupannya kelak di masa depan. Bagaimana
dengan Jusuf Subrata - suaminya, Sydney - gadis kecilnya, ibu, dan keluarga
besarnya.



Ia bahkan belum tahu jawaban apa yang harus diberikan pada Sydney saat dia
bertanya, "kenapa mama menangis?, kenapa orang-orang itu membenci mama?" Ah
ya, langkah Tari tertatih bagai dibebani berton-ton rasa bersalah yang
memberat dipundaknya, dan dosa itu dirasa tak akan tertebus di sisa umurnya.




Jerat pasal pornografi pun siap mengantar Tari menghabiskan harinya di hotel
prodeo, dan hukuman masyarakat bagai cambuk, sudah terlebih dulu menghantam
keras punggungnya hingga berdarah-darah.



Namun, Tari sejatinya masih lebih beruntung. Pengakuannya, kata maafnya bagi
seorang Jusuf, sudahlah lebih dari cukup. Bahwa keberadaannya disamping Tari
adalah bukti, cintanya masih belum habis untuk Tari. Dan bolehlah kita semua
berharap, tak terkecuali Tari dan Jusuf, bahwa harapan seiring waktu, cinta
itu pasti akan bertambah dan semakin menguat.



Kejujuran [yang meski menyakitkan] itulah kelegaan Jusuf, pun kebanggaannya.
Bukan menyoal bagaimana kasus ini sudah merebak menjadi isu nasional yang
menyebar ke seantero negeri, bukan juga kebanggaan Jusuf, tubuh istrinya
dinikmati beribu-ribu pengunggah dan pengunduh video intimnya. Adalah
kelegaan dan kebanggaan Jusuf, istrinya yang dulu khilaf telah berani
berbesar hati untuk mengakui dan meminta maaf, pun bertanggung jawab atas
benih yang ia tuai.



Saya tak mau berprasangka buruk, bahwa Tari hanya sedang mencari simpati
atau tengah berakting, seperti juga kita tahu, dia adalah pelakon dalam
frame layar kaca. Luka, dukanya, tangisnya, sanggahnya bukan kamuflase,
karena dia, Tari memang tengah melakoni skenario Tuhan. Menjadi yang dulu
dipuja dan kini dihina.



Betul kiranya sebuah ungkapan lama, *yesteday is history, tomorrow is future
(maybe it will never come) and today is present*. Kasus yang menimpa Tari
saat ini adalah sejarah yang tak akan pernah dilupakannya. Meski
menyakitkan, namun sanggup menamparnya keras, membuatnya tersadar dan
belajar, bahwa Tuhan sedang membantunya berproses, "memperkaya" dirinya
menjadi pribadi yang lebih baik.



Ya benar, bahwa kisah masa lalu memang sanggup "memperkaya" kita di masa
depan..dan ibarat buku, masa lalu adalah referensi terbaik, karena disanalah
segala pengalaman ditemukan.



Dari buku klasik nan jadul dan usang itulah kita sebenarnya diharapkan
belajar. Bahwa sebuah kesalahan dimasa lalu cukup menjadi catatan saja
disana, bukan menjadi beban. Dan lepaskan beban itu dan tinggalkan saja di
masa lalu, karena setiap hari akan selalu ada pintu yang terbuka untuk kita,
karena selalu ada orang lain yang bersedia membuka pintu itu. Pintu maaf dan
pintu pengharapan bagi saya, kamu, dia, pun Cut Tari.



Dan Jusuf adalah harapan Tari, bahwa cinta itu memang belum habis untuknya.



(/CN19)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke