Re: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik Indonesia

2007-07-22 Terurut Topik Untung M
Pak Ade Kadarusman,
Itulah di negeri kita sampai dewasa ini. Tidak banyak memikirkan bagaimana 
pengambilan data yang terpercayai, pengolahan atau data processing dan 
penafiran yang mendalam. Hal ini karena di bangku kuliah sedikit mendapat 
pelajaran, katakan training, tentang masalah how to handle data. Untuk 
mendapatkan data paleomag, misalnya,  tentu tidak sederhana. Demikian juga data 
geofisika yang lain. Kebanyakan kita hanya mendaptakan data yang terolah. 
Kemudian rame-rame melakukan penafsiran. Jarang yang menanyakan How good are 
the data Inilah yang harus kita tingkatkan baik di Perguruan tinggi maupun di 
pusat-pusat penelitian, yaitu data acqusition dan processing, dan, tentu 
penafsiran yang mendalam.
M. Untung
  - Original Message - 
  From: Ade Kadarusman 
  To: iagi-net@iagi.or.id 
  Sent: Sunday, July 15, 2007 5:16 PM
  Subject: Re: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik 
Indonesia


  Apa kabar Pak Awang?, salut dgn konsisten dgn ide-ide!
  Kelemahan dari ahli geologi kita adalah keberanian untuk merekonstruksinya 
'puzzle' geologi nusantara secara keseluruhan, kebanyakan kita hanya mampu 
menghasilkan data paleomag dan age dating, trus merekonstruksi dalam daerah 
sangat terbatas. Memang kendala utama geologi yang komplek, Robert Hall, 
Hamilton, Eli Silver dll mampu melakukannya.
  Pak Katili sudah mencobanya sejak awal 70an, (tectonophysic, 1975), dan 
sekarang Pak Awang yang akan melanjutkannya, bukan begitu ya Pak?

  Saya sendiri sudah mencobanya dalam geologi Sulawesi (tectonophysic 2004), 
masih terbatas hanya daerah Sulawesi dan sekarang menyerah untuik 
melanjutkannya saat ini, mungkin dgn pengetahuan Pak Awang di Geologi Indonesia 
barat dan timur bisa merekonstruksi secara keseluruhan

  Kind regards,
  Ade Kadarusman
  Sorowako

  Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:
Sebagai wilayah yang pernah disebut sebuah buku where two worlds collide 
Indonesia harus mempunyai data paleo-magnetisme dan umur radiometri yang 
banyak. Dua dunia bertemu di Indonesia, asiatic vs australian. Satu dari 
Asia, satu dari Australia - pecah dari tempat asalnya - berjalan ke wilayah 
tropika - saling berbenturan - dan kini membentuk Indonesia. Semua yang 
diwarisi dari Asia maupun Australia kini terekam di Indonesia baik untuk flora, 
fauna, maupun geologi. Wilayah primitive atau asli Indonesia pun ada, yaitu 
daerah2 yang kini punya flora dan fauna endemic - wilayah Wallacea yang saya 
maksud, yang meliputi sebagian Sulawesi dan pulau2 di Nusa Tenggara.
 
Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan sebagian kerak 
Asia dan Australia ? Satu-satunya hanyalah paleo-magnetisme yang didukung data 
umur radiometri. Ambil sampel batuan umur pra-Tersier di Sumatra atau 
Kalimantan atau Jawa atau Papua, dan ukur radiometri serta kemagnetan purbanya, 
bila ia menunjukkan posisi lintang di luar 6 degLU - 11 degLS, maka batuan itu 
bukan asli batuan yang terjadi di Indonesia, tetapi ia dibawa dari tempat lain 
dan dialihtempatkan ke wilayah Nusantara oleh proses tektonik yang sangat 
kompleks.
 
Teori tektonik lempeng mendapatkan sokongan yang sangat kuat dari 
paleo-magnetisme dan radiometri. Kita di Indonesia, menyadari bahwa Indonesia 
adalah laboratorium alam untuk lahirnya dan pengujian teori tektonik lempeng, 
telah melakukan pengukuran paleomagnetism dan radiometry sejak tahun 1970-an.  
Lebih dari dua puluh  tahun dihimpun sampai sekarang dan kini bisa ditampilkan 
dalam bentuk peta regional skala 1 : 10.000.000 terbitan Pusat Survai Geologi, 
Bandung. Karya ahli2 geologi dari lembaga ini (dulu P3G) patut diacungi jempol 
(antara lain : Mubroto, Permanadewi, Hardjono, Wahyono, Rab Sukamto).
 
Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya menunjukkan 
bahwa Indonesia is a mosaic of terranes .
 
Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua berasal 
dari 47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46deg LS, yang berumur 
Perem Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini di tempatnya sekarang 
telah terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60 deg. Batuan Perem di Timor 
berasal dari lokasi 20-30 deg LS dan telah terputar CCW 20-40 deg dari arah 
semula. Kita bisa cek atlas dan akan tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu 
misalnya.
 
Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun berasal dari 
tempat di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter clockwise) 60 deg. Batuan 
Trias di Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah Timor sekarang) dan telah 
terputar 90 deg CCW (kita tahu bahwa ia terlibat dalam proses bending of Banda 
Arc). Batuan Trias di Sumatra berasal dari 15-20 degLS dan di kedudukannya kini 
telah terputar 40 deg CW (clock wise) - ini membuktikan bahwa Sumatra memang 
telah terputar searah jarum jam. Batuan Trias di Kalimantan, menariknya, 
posisinya dari dulu memang di situ, bisa dipahami sebab Kalimantan termasuk 
core of Sundaland

RE: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik Indonesia

2007-07-16 Terurut Topik Awang Harun Satyana
Pak Ade,

 

Kabar saya baik, semoga juga begitu dengan Pak Ade.

 

Betul, kita punya data banyak sekali. Saya pikir, kita pun punya ahli
berbagai bidang sudah cukup. Khusus rekonstruksi regional seluruh
Indonesia, saya belum pernah melihat versi yang  dikeluarkan oleh kita
(geologist Indonesia maksudnya). Data paleomagnetik dan umur radiometri
hanya ditaruh pada penyebaran titik sampel di peta Indonesia saat ini. 

 

Saat ini, saya sedang mengecek rekonstruksi Robert Hall berdasarkan data
paleomag dan radiometri Tersier yang kita punya, dan rekonstruksi Ian
Metcalfe untuk yang Paleozoik dan Mesozoik. Ini tidak akan menghasilkan
rekonstruksi baru, hanya pengecekan pribadi apakah saya akan mengikuti
rekonstruksi Hall dan Metcalfe atau tidak. Kalau ada ketidakcocokkan
dengan data paleomag-radiometri yang merupakan hard data, sebuah
modifikasi atas rekonstruksi harus dilakukan. 

 

Kompilasi geologi yang komprehensif harusnya sudah bisa kita lakukan
sejak lama. Saya yakin kemampuan kita ada, hanya kemauan dan keseriusan
kita  yang barangkali belum kuat ya...

 

Salam,

awang

 

From: Ade Kadarusman [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Sunday, July 15, 2007 5:16 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Re: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika
Tektonik Indonesia

 

Apa kabar Pak Awang?, salut dgn konsisten dgn ide-ide!

Kelemahan dari ahli geologi kita adalah keberanian untuk
merekonstruksinya 'puzzle' geologi nusantara secara keseluruhan,
kebanyakan kita hanya mampu menghasilkan data paleomag dan age dating,
trus merekonstruksi dalam daerah sangat terbatas. Memang kendala utama
geologi yang komplek, Robert Hall, Hamilton, Eli Silver dll mampu
melakukannya.

Pak Katili sudah mencobanya sejak awal 70an, (tectonophysic, 1975), dan
sekarang Pak Awang yang akan melanjutkannya, bukan begitu ya Pak?

 

Saya sendiri sudah mencobanya dalam geologi Sulawesi (tectonophysic
2004), masih terbatas hanya daerah Sulawesi dan sekarang menyerah untuik
melanjutkannya saat ini, mungkin dgn pengetahuan Pak Awang di Geologi
Indonesia barat dan timur bisa merekonstruksi secara keseluruhan

 

Kind regards,

Ade Kadarusman

Sorowako

Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:

Sebagai wilayah yang pernah disebut sebuah buku where two
worlds collide Indonesia harus mempunyai data paleo-magnetisme dan umur
radiometri yang banyak. Dua dunia bertemu di Indonesia, asiatic vs
australian. Satu dari Asia, satu dari Australia - pecah dari tempat
asalnya - berjalan ke wilayah tropika - saling berbenturan - dan kini
membentuk Indonesia. Semua yang diwarisi dari Asia maupun Australia kini
terekam di Indonesia baik untuk flora, fauna, maupun geologi. Wilayah
primitive atau asli Indonesia pun ada, yaitu daerah2 yang kini punya
flora dan fauna endemic - wilayah Wallacea yang saya maksud, yang
meliputi sebagian Sulawesi dan pulau2 di Nusa Tenggara.

 

Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan
sebagian kerak Asia dan Australia ? Satu-satunya hanyalah
paleo-magnetisme yang didukung data umur radiometri. Ambil sampel batuan
umur pra-Tersier di Sumatra atau Kalimantan atau Jawa atau Papua, dan
ukur radiometri serta kemagnetan purbanya, bila ia menunjukkan posisi
lintang di luar 6 degLU - 11 degLS, maka batuan itu bukan asli batuan
yang terjadi di Indonesia, tetapi ia dibawa dari tempat lain dan
dialihtempatkan ke wilayah Nusantara oleh proses tektonik yang sangat
kompleks.

 

Teori tektonik lempeng mendapatkan sokongan yang sangat kuat
dari paleo-magnetisme dan radiometri. Kita di Indonesia, menyadari bahwa
Indonesia adalah laboratorium alam untuk lahirnya dan pengujian teori
tektonik lempeng, telah melakukan pengukuran paleomagnetism dan
radiometry sejak tahun 1970-an.  Lebih dari dua puluh  tahun dihimpun
sampai sekarang dan kini bisa ditampilkan dalam bentuk peta regional
skala 1 : 10.000.000 terbitan Pusat Survai Geologi, Bandung. Karya ahli2
geologi dari lembaga ini (dulu P3G) patut diacungi jempol (antara lain :
Mubroto, Permanadewi, Hardjono, Wahyono, Rab Sukamto).

 

Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya
menunjukkan bahwa Indonesia is a mosaic of terranes .

 

Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua
berasal dari 47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46deg LS,
yang berumur Perem Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini
di tempatnya sekarang telah terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60
deg. Batuan Perem di Timor berasal dari lokasi 20-30 deg LS dan telah
terputar CCW 20-40 deg dari arah semula. Kita bisa cek atlas dan akan
tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu misalnya.

 

Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun
berasal dari tempat di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter
clockwise) 60 deg. Batuan Trias di Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah
Timor sekarang) dan telah terputar 90 deg CCW (kita tahu bahwa ia
terlibat dalam

Re: [iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik Indonesia

2007-07-15 Terurut Topik Ade Kadarusman
Apa kabar Pak Awang?, salut dgn konsisten dgn ide-ide!
  Kelemahan dari ahli geologi kita adalah keberanian untuk merekonstruksinya 
'puzzle' geologi nusantara secara keseluruhan, kebanyakan kita hanya mampu 
menghasilkan data paleomag dan age dating, trus merekonstruksi dalam daerah 
sangat terbatas. Memang kendala utama geologi yang komplek, Robert Hall, 
Hamilton, Eli Silver dll mampu melakukannya.
  Pak Katili sudah mencobanya sejak awal 70an, (tectonophysic, 1975), dan 
sekarang Pak Awang yang akan melanjutkannya, bukan begitu ya Pak?
   
  Saya sendiri sudah mencobanya dalam geologi Sulawesi (tectonophysic 2004), 
masih terbatas hanya daerah Sulawesi dan sekarang menyerah untuik 
melanjutkannya saat ini, mungkin dgn pengetahuan Pak Awang di Geologi Indonesia 
barat dan timur bisa merekonstruksi secara keseluruhan
   
  Kind regards,
  Ade Kadarusman
  Sorowako

Awang Harun Satyana [EMAIL PROTECTED] wrote:
Sebagai wilayah yang pernah disebut sebuah buku “where two 
worlds collide” Indonesia harus mempunyai data paleo-magnetisme dan umur 
radiometri yang banyak. “Dua dunia” bertemu di Indonesia, asiatic vs 
australian. Satu dari Asia, satu dari Australia – pecah dari tempat asalnya – 
berjalan ke wilayah tropika – saling berbenturan - dan kini membentuk 
Indonesia. Semua yang diwarisi dari Asia maupun Australia kini terekam di 
Indonesia baik untuk flora, fauna, maupun geologi. Wilayah “primitive” atau 
“asli Indonesia” pun ada, yaitu daerah2 yang kini punya flora dan fauna endemic 
– wilayah Wallacea yang saya maksud, yang meliputi sebagian Sulawesi dan pulau2 
di Nusa Tenggara.
   
  Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan sebagian kerak Asia 
dan Australia ? Satu-satunya hanyalah paleo-magnetisme yang didukung data umur 
radiometri. Ambil sampel batuan umur pra-Tersier di Sumatra atau Kalimantan 
atau Jawa atau Papua, dan ukur radiometri serta kemagnetan purbanya, bila ia 
menunjukkan posisi lintang di luar 6 degLU – 11 degLS, maka batuan itu bukan 
asli batuan yang terjadi di Indonesia, tetapi ia dibawa dari tempat lain dan 
dialihtempatkan ke wilayah Nusantara oleh proses tektonik yang sangat kompleks.
   
  Teori tektonik lempeng mendapatkan sokongan yang sangat kuat dari 
paleo-magnetisme dan radiometri. Kita di Indonesia, menyadari bahwa Indonesia 
adalah laboratorium alam untuk lahirnya dan pengujian teori tektonik lempeng, 
telah melakukan pengukuran paleomagnetism dan radiometry sejak tahun 1970-an.  
Lebih dari dua puluh  tahun dihimpun sampai sekarang dan kini bisa ditampilkan 
dalam bentuk peta regional skala 1 : 10.000.000 terbitan Pusat Survai Geologi, 
Bandung. Karya ahli2 geologi dari lembaga ini (dulu P3G) patut diacungi jempol 
(antara lain : Mubroto, Permanadewi, Hardjono, Wahyono, Rab Sukamto).
   
  Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya menunjukkan bahwa 
Indonesia “is a mosaic of terranes” .
   
  Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua berasal dari 
47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46deg LS, yang berumur Perem 
Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini di tempatnya sekarang telah 
terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60 deg. Batuan Perem di Timor berasal 
dari lokasi 20-30 deg LS dan telah terputar CCW 20-40 deg dari arah semula. 
Kita bisa cek atlas dan akan tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu 
misalnya.
   
  Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun berasal dari tempat 
di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter clockwise) 60 deg. Batuan Trias di 
Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah Timor sekarang) dan telah terputar 90 deg 
CCW (kita tahu bahwa ia terlibat dalam proses bending of Banda Arc). Batuan 
Trias di Sumatra berasal dari 15-20 degLS dan di kedudukannya kini telah 
terputar 40 deg CW (clock wise) – ini membuktikan bahwa Sumatra memang telah 
terputar searah jarum jam. Batuan Trias di Kalimantan, menariknya, posisinya 
dari dulu memang di situ, bisa dipahami sebab Kalimantan termasuk core of 
Sundaland, hanya telah terputar  60 deg CCW – membuktikan bahwa Kalimantan 
memang terotasi CCW. Batuan Kapur di Kalimantan Barat pun sudah sejak Kapur 
memang di situ, hanya telah terputar 50 deg CCW. Tetapi, batuan Kapur di 
Sulawesi dan Misool berasal dari 16-20 degLS. Sedangkan, batuan Kapur di 
Halmahera berasal dari utaranya, 5 deg LU.
   
  Tertiary events. Data kemagnetan purba pada zaman Tersier bisa menunjukkan 
dinamika geologi Indonesia. Data paleo-magnetisme batuan Tersier menunjukkan 
bahwa rotasi CCW masih terjadi di Kalimantan Tengah selama Eosen, dan tidak 
terjadi lagi sejak Oligosen. Hanya sedikit rotasi CW masih teramati selama 
Oligosen dan Miosen di Sumatra. Data paleomagnetik di bagian timur Pulau Jawa 
menunjukkan bahwa bagian ini berasal dari posisi lebih selatan dari posisinya 
sekarang dan telah mengalami rotasi CCW ke posisinya sekarang. Data 
paleomagnetik Sumbawa-Flores menunjukkan posisi purba yang hampir sama 

[iagi-net-l] Kemagnetan Purba, Radiometri dan Dinamika Tektonik Indonesia

2007-07-03 Terurut Topik Awang Harun Satyana
Sebagai wilayah yang pernah disebut sebuah buku where two worlds
collide Indonesia harus mempunyai data paleo-magnetisme dan umur
radiometri yang banyak. Dua dunia bertemu di Indonesia, asiatic vs
australian. Satu dari Asia, satu dari Australia - pecah dari tempat
asalnya - berjalan ke wilayah tropika - saling berbenturan - dan kini
membentuk Indonesia. Semua yang diwarisi dari Asia maupun Australia kini
terekam di Indonesia baik untuk flora, fauna, maupun geologi. Wilayah
primitive atau asli Indonesia pun ada, yaitu daerah2 yang kini punya
flora dan fauna endemic - wilayah Wallacea yang saya maksud, yang
meliputi sebagian Sulawesi dan pulau2 di Nusa Tenggara.

 

Apa bukti geologi bahwa Nusantara dibentuk dari pertemuan sebagian kerak
Asia dan Australia ? Satu-satunya hanyalah paleo-magnetisme yang
didukung data umur radiometri. Ambil sampel batuan umur pra-Tersier di
Sumatra atau Kalimantan atau Jawa atau Papua, dan ukur radiometri serta
kemagnetan purbanya, bila ia menunjukkan posisi lintang di luar 6 degLU
- 11 degLS, maka batuan itu bukan asli batuan yang terjadi di Indonesia,
tetapi ia dibawa dari tempat lain dan dialihtempatkan ke wilayah
Nusantara oleh proses tektonik yang sangat kompleks.

 

Teori tektonik lempeng mendapatkan sokongan yang sangat kuat dari
paleo-magnetisme dan radiometri. Kita di Indonesia, menyadari bahwa
Indonesia adalah laboratorium alam untuk lahirnya dan pengujian teori
tektonik lempeng, telah melakukan pengukuran paleomagnetism dan
radiometry sejak tahun 1970-an.  Lebih dari dua puluh  tahun dihimpun
sampai sekarang dan kini bisa ditampilkan dalam bentuk peta regional
skala 1 : 10.000.000 terbitan Pusat Survai Geologi, Bandung. Karya ahli2
geologi dari lembaga ini (dulu P3G) patut diacungi jempol (antara lain :
Mubroto, Permanadewi, Hardjono, Wahyono, Rab Sukamto).

 

Berikut ini adalah beberapa pengamatan yang keseluruhannya menunjukkan
bahwa Indonesia is a mosaic of terranes .

 

Paleozoic terranes. Batuan Karbon Akhir di Kepala Burung, Papua berasal
dari 47 degLS, sementara yang berumur Perem Awal dari 46deg LS, yang
berumur Perem Akhir berasal dari 35 degLS. Kini batuan-batuan ini di
tempatnya sekarang telah terputar melawan arah jarum jam sebanyak 60
deg. Batuan Perem di Timor berasal dari lokasi 20-30 deg LS dan telah
terputar CCW 20-40 deg dari arah semula. Kita bisa cek atlas dan akan
tahu di mana saat ini posisi 47 deg LS itu misalnya.

 

Mesozoic terranes. Batuan Trias-Yura di Kepala Burung pun berasal dari
tempat di 42 deg LS dan telah terputar CCW (counter clockwise) 60 deg.
Batuan Trias di Seram berasal dari 9 deg LS (wilayah Timor sekarang) dan
telah terputar 90 deg CCW (kita tahu bahwa ia terlibat dalam proses
bending of Banda Arc). Batuan Trias di Sumatra berasal dari 15-20 degLS
dan di kedudukannya kini telah terputar 40 deg CW (clock wise) - ini
membuktikan bahwa Sumatra memang telah terputar searah jarum jam. Batuan
Trias di Kalimantan, menariknya, posisinya dari dulu memang di situ,
bisa dipahami sebab Kalimantan termasuk core of Sundaland, hanya telah
terputar  60 deg CCW - membuktikan bahwa Kalimantan memang terotasi
CCW. Batuan Kapur di Kalimantan Barat pun sudah sejak Kapur memang di
situ, hanya telah terputar 50 deg CCW. Tetapi, batuan Kapur di Sulawesi
dan Misool berasal dari 16-20 degLS. Sedangkan, batuan Kapur di
Halmahera berasal dari utaranya, 5 deg LU.

 

Tertiary events. Data kemagnetan purba pada zaman Tersier bisa
menunjukkan dinamika geologi Indonesia. Data paleo-magnetisme batuan
Tersier menunjukkan bahwa rotasi CCW masih terjadi di Kalimantan Tengah
selama Eosen, dan tidak terjadi lagi sejak Oligosen. Hanya sedikit
rotasi CW masih teramati selama Oligosen dan Miosen di Sumatra. Data
paleomagnetik di bagian timur Pulau Jawa menunjukkan bahwa bagian ini
berasal dari posisi lebih selatan dari posisinya sekarang dan telah
mengalami rotasi CCW ke posisinya sekarang. Data paleomagnetik
Sumbawa-Flores menunjukkan posisi purba yang hampir sama dengan
sekarang.

 

Pergerakan mendatar dan perputaran yang lebih nyata selama Tersier
teramati pada data kemagnetan purba di pulau-pulau Sulawesi, Timor,
Seram, Halmahera, Waigeo dan Kepala Burung. Batuan Paleogen di Sulawesi
Selatan masih menunjukkan pergerakan, sedangkan setelah itu atau lebih
muda dari Miosen Akhir tak menunjukkan pergerakan rotasi atau mendatar
(kita memahaminya sebab wilayah ini telah terjepit oleh benturan Buton
di sebelah timurnya sejak Miosen Akhir). Lengan Utara Sulawesi pernah
terputar 90 deg CW ke posisinya sekarang sejak Eosen-Pliosen.  Batuan
Eosen Faumai di Kepala Burung berasal dari 28 deg LS dan Miosen Klasafet
berasal dari 19 deg LS. Beberapa pergerakan terranes ini dan bukti
paleomagnetiknya telah saya pakai dalam merekonstruksi beberapa
pergerakan tektonik wilayah2 di Indonesia (Satyana, 2003 : PIT IAGI-HAGI
- accretion and dispersion of SE Sundaland; Satyana, 2006 : SEG Jakarta
geosciences - docking and post-docking tectonic escape of eastern
Sulawesi; dan