Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad
gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene.., tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan hormat.. kire kire gitu kaleee.. Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote: he he he.. Bos, tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok. jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi, ya...?! apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh yang maknawi juga? kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau sudah meninggal. :-) tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya? salam :-) On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati, sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154). sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul Baari Almasyhur Juz 3 hal 414 dan juz 6 hal 487). ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk.. boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok.. Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote: he he he... mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama meninggal. bagaimana cara mememang erat kakinya? salam :-) On 12/30/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: Di kaki Muhammad aku bersimpuh memanjat doa Di kaki Muhammad aku bersimpuh ku pegang erat kakinya Di kaki Muhammad aku bersimpuh memandang-Nya melalui Muhammad aku berdoa melalui Muhammad aku memandang hanya melalui Muhammad aku terselamatkan __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com
Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad
he he he.. kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan. bagaimana mas Ananto? salam :-) On 1/1/07, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene.., tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan hormat.. kire kire gitu kaleee.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he.. Bos, tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok. jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi, ya...?! apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh yang maknawi juga? kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau sudah meninggal. :-) tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya? salam :-) On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati, sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154). sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul Baari Almasyhur Juz 3 hal 414 dan juz 6 hal 487). ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk.. boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he... mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama meninggal. bagaimana cara mememang erat kakinya? salam :-) On 12/30/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: Di kaki Muhammad aku bersimpuh memanjat doa Di kaki Muhammad aku bersimpuh ku pegang erat kakinya Di kaki Muhammad aku bersimpuh memandang-Nya melalui Muhammad aku berdoa melalui Muhammad aku memandang hanya melalui Muhammad aku terselamatkan __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com _
[keluarga-islam] after adhan
Sa`d bin Abu Waqqas (May Allah be pleased with him) reported: The Prophet (PBUH) said, He who says after the Adhan: `Ash-hadu an la ilaha illallah Wah-dahu la sharika Lahu; wa ash-hadu anna Muhammadan `abduhu wa Rasuluhu, radhitu Billahi Rabban, wa bi Muhammadin Rasulan, wa bil Islami Dinan [I testify that there is no true god except Allah Alone; He has no partners and that Muhammad (PBUH) is His slave and Messenger; I am content with Allah as my Rubb, with Muhammad as my Messenger and with Islam as my Deen],' his sins will be forgiven.'' [Muslim].
[keluarga-islam] Mengapa Harus Dibaca 33 Kali?
*Mengapa Harus Dibaca 33 Kali?* An-Nisa : 103-104 Sesungguhnya, kalau mau membalik atau membaca acak, mau mengurangi atau menambah tidak ada Nash yang tegas melarang. Masalahnya, bahwa bacaan itu sudah paket dari Nabi Muhammad SAW langsung. Ibarat resep yang sudah jadi dan tinggal menelan saja. Soal kenapa dan kenapa ? Hanya Allah dan RasulNya saja yang mengetahui. Tapi, jika boleh dikira-kira, maka begini: Bacaan tasbih (Subhanallah), adalah ungkapan seorang hamba mensucikan Tuhannya. Tuhan yang Maha Sempurna dan bersih dari segala sifat kurang. Pensucian ini adalah refleksi tulus dengan harapan jiwa hamba tersebut bisa bersih dan tajam melihat maslah, jernih melihat Tuhan, melihat segala pemberian Tuhan. jernih melihat rahmat Tuhan. Dan ternyata Tuhan serba Maha Memeberi, tak terbatas dan tak hitungan. Setelah begitu bersih, begitu jernih mampu melihat betap Tuhan serba memberi, barulah jiwa itu bisa bersyukur, bisa berucap terima kasih, bisa memuji keMaha-MuliaanNya. Memang hanya jiwa yang jernih saja yang mampu bersyukur. Hanya jiwa yang bersih saja yang pandai berterima kasih. Ekspresi berterima kasih itulah diungkap dalam kata-kata al-Hamdu lillah (Segala puji hanya bagai Allah). Ternyata si hamba itu sudah menyadari keadaan dirinya di hadapan Tuhan. Diri seorang hamba yang lemah dan Diri Dzat Tuhan Yang Maha Segala. Tak ada apa-apanya diri ini di hadapan Tuhan. Betapa Maha Mulia, betapa Maha Pengasih, betapa Maha Kuasa, Perkasa tak tertandingi. Dari kesadaran itulah, lahir ungkapan yang lkeluar dari lubuk hati paling dalam, bahwa Tuhan sungguh Maha Besar. Itulah ungkapan Allah Akbar. Soal 33 kali murni sebuah adonan, sebuah formula yang seimbang dan terukur. Ibarat obat yang diresep dokter ahli. Sungguh sangat seimbang disesuaikan dengan keadaan penyakit. Terukur dan pas. Tidak berlebih dan tidak pula kurang. Apalagi jika ditaati dan diamalkan sesuai petunjuk. Yang tahu kenapa tablet sekecil ini cukup diminum sekali sehari, sedangkan kapsul yang besar-besar malah tiga kali sehari?.Hanya dokter pembuat resep saja yang tahu itu. Pasien tidak perlu mengetahui, cukup mentaati saja. Bila Subahanallah dibaca 33 kali setiap usai shalat, Al-hamdu lilah 33 kali dan Allah Akbar juga demikian, maka masing-masing akan terbaca sebanyak 165 kali dalam sehari-semalam. Atau, secara kumulatif terbaca sebanyak 495 kali. Jika aktif dilakukan dalam satu minggu, maka total berjumlah 3465 kali. Jika dibaca aktif dalam satu bulan, jumlahnya 14.850kali. Sebuah angka cukup efektif menembus sanubari, jika benar-benar dibaca secara sungguhan dan diresapi. Logikanya, jiwa sesorang muslim mesti bisa bersih, bisa pandai bersyukur, bisa menyadari keterbatasan jika dia membaca wiridan di atas secara aktif dan teresapi dalam satu bulan. Dilanjutkan dengan membaca kalimah tahlil La ilah illa Allah, Tiada Tuhan selain Allah. Sekian kali. Lalu berdoa. Berdoa memohon kebaikan di Dunia dan kebaikan di Akhirat. Sungguh rangkaian bacaan yang bagus dan sangat religius. Haruskah wiridan dilakukan dengan duduk setelah usai shalat seperti kebiasaan kita? Ya tidak. Bisa saja Anda berwiridan, membaca-baca kalimah thayyibah sambil tiduran, dengan jalan-jalan, termasuk dengan jungkiran sekalipun. Ayat studi ini memberi kebebasan cara berdzikir, yakni sambil berdiri, duduk atau tiduran fadzkuru Allah qiyama wa qu'uda wa 'ala junubihim . Cuma harus disadari, lha wong segera setelah shalat, dalam keadaan sangat kondusif, barusan berbisik-bisik dengan Tuhan, tinggal meneruskan saja tidak mau, apalagi setelah berpisah lama dan terpental dari situasi kondusif? Apa tidak malah lupa?[]
[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 12 Dzulhijjah 1427H
Bismillah irRahman irRaheem In the Name of Allaah, The Most Gracious, The Most Kind Allahumma innaka taqdiru wala aqdiru wa ta'lamu wa la a'lamu innaka anta'allamul ghuyub fa-in ra-aita lii fulan/fulanah khairan fidini wa dun yaya wa akhirati faqdli li biha wa in kaana ghairuha khairan lii minha fi dini wa dun yaya wa akhirati faqhdli li biha. Ya Tuhanku bahwasanya Engkau berkuasa sedang aku tidak berkuasa dan Engkau mengetahui sedang aku tiada mengetahui Engkau mengetahui segala yang ghaib jika Engkau mengetahui bahwa fulan/fulanah baik untukku dalam agamaku, duniaku dan akhiratku maka berilah dia untukku. Jika yang selainnya lebih baik daripadanya bagiku pada agamaku, duniaku, akhiratku, maka berilah yang lain itu untukku. (HR Ahmad)
Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad
met pagi, pak ustadz... sori baru buka neh... mmm menurut ane, ga perlu dijelaskan lagi deh... terserah yg menafsirkannya bijimane... :)) biar asyik kan? yg jelas ane masih percayah dengan wasilah dan syafaat... salam, ananto On 1/1/07, Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote: he he he.. kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan. bagaimana mas Ananto? salam :-) On 1/1/07, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene.., tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan hormat.. kire kire gitu kaleee.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he.. Bos, tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok. jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi, ya...?! apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh yang maknawi juga? kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau sudah meninggal. :-) tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya? salam :-) On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati, sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154). sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul Baari Almasyhur Juz 3 hal 414 dan juz 6 hal 487). ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk.. boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he... mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama meninggal. bagaimana cara mememang erat kakinya? salam :-) On 12/30/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: Di kaki Muhammad aku bersimpuh memanjat doa Di kaki Muhammad aku bersimpuh ku pegang erat kakinya Di kaki Muhammad aku bersimpuh memandang-Nya melalui Muhammad aku berdoa melalui Muhammad aku memandang hanya melalui Muhammad aku terselamatkan __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com _
[keluarga-islam] Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes Pentas Di Pekalongan
Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes Pentas Di Pekalongan Assalamu alaikum wr wb Bismillah hirRohman nirRohim, Insya Allah dalam rangka memperkenalkan Whirling Dervishes, Rabbani Zawiyah ( Cinere Bulungan ) akan pentas di Pekalongan pada tgl 31 Desember 2006, malam Tahun Baru. Dalam rangkaian acara tersebut Insya Allah akan ada Dzikir Khatam Kawajagan. Bagi teman2 yang dekat dengan Pekalongan ataupun yang dikota Pekalongan silahkan datang, untuk meramaikan acara dan berdzikir bersama. wasalam, arief hamdani HP. 0816 830 748 HP 0888 333 5003 __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com
Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad
met siang euy... ya hak penulis untuk tidak menceritakan makna tulisannya, dan hak pembaca untuk menafsir dan memaknai nya... he he he... jadi biarlah karya seni menempuh jalannya sendiri... (kalimat dari seorang seniman, maaf, saya lupa lagi siapa namanya) mau nambahi sedikit: *ahmad (A)* The state of the heart, the qalb, or aham. Ahmad is the heart of Muhammad. The beauty of the heart [aham] is the beauty of the countenance [muham,Tamil] of Muhammad. That is the beauty of Allah's qualities. This is a name that comes from within the ocean of divine knowledge [bahr al-'ilm]. Allah is the One who is worthy of the praise of the qalb, the heart. Lit.: most praiseworthy. (from: http://www.bmf.org/iswp/glossary.html) salam :-) On 1/2/07, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: met pagi, pak ustadz... sori baru buka neh... mmm menurut ane, ga perlu dijelaskan lagi deh... terserah yg menafsirkannya bijimane... :)) biar asyik kan? yg jelas ane masih percayah dengan wasilah dan syafaat... salam, ananto On 1/1/07, Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote: he he he.. kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan. bagaimana mas Ananto? salam :-) On 1/1/07, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene.., tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan hormat.. kire kire gitu kaleee.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he.. Bos, tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok. jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi, ya...?! apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh yang maknawi juga? kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau sudah meninggal. :-) tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya? salam :-) On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote: beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati, sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154). sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul Baari Almasyhur Juz 3 hal 414 dan juz 6 hal 487). ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk.. boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok.. *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote: he he he... mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama meninggal. bagaimana cara mememang erat kakinya? salam :-) On 12/30/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: Di kaki Muhammad aku bersimpuh memanjat doa Di kaki Muhammad aku bersimpuh ku pegang erat kakinya Di kaki Muhammad aku bersimpuh memandang-Nya melalui Muhammad aku berdoa melalui Muhammad aku memandang hanya melalui Muhammad aku terselamatkan
[keluarga-islam] Justice For All.
*I seek refuge in Allah from the evils of the accursed satan.* *In the name of Allah, Most Merciful, Most Compassionate.* There is a traditional story about `Umar Ibn al-Khattab, the Islamic caliph who captured the city of Jerusalem and built the first mosque on the grounds of the sacred sanctuary now known as the Dome of the Rock (*al-Bayt al-Muqaddas).* #2 `Umar was a ruler of great justice and peace. Because of his noble qualities, he was given the beautiful name, Commander of the Faithful (*Amir al-Mu'minin*), and it was his rightful duty to receive the key to the Holy City which was the original qiblah, the direction Muslims face while praying. The armies of `Umar had already entered Jerusalem and taken control of the city from the Christians who had ruled there since the time of Constantine, but when `Umar came to take official possession of Jerusalem, he came alone. He journeyed from Damascus to Jerusalem with only one camel and a cameleer. The caliph, being a man of great humility, had arranged with the cameleer that they would both take turns riding the camel. According to justice, he would ride for a while, then the cameleer would ride and he would walk. Meanwhile, the entire city was awaiting `Umar's impending arrival. The bishop of the Holy Sepulcher had announced, The great Islamic leader is coming! We must greet him and pay our respects to him. And so all the people had gathered at the city gate, awaiting a grand royal procession. But no procession appeared. Instead, two people became visible on the horizon, approaching very slowly. When they finally reached the city, it was the cameleer's turn to be riding, and so all the people mistook him for the caliph and rushed to greet him. ''Wait! I am not the caliph! he protested and explained their arrangement to take turns riding and walking. The people, overwhelmed by this justice, praised the great caliph. The bishop was also amazed by such justice. His heart filled with joy, and he handed the key of the city to `Umar Ibn al-Khattdb. The bishop then invited `Umar to perform his prayers within their church. But when `Umar saw the interior decorated with all the Christian symbols, he politely declined, saying, I will pray just outside your doors. Once he had finished, the bishop asked, ''Why would you not come inside our church? If I had prayed in your sanctuary,'' `Umar explained, ''my followers and those who come here in the future would take over this building and turn it into a mosque. They would destroy your place of worship. To avoid these difficulties and allow your church to continue as it is, I prayed outside. Again the bishop was amazed by his justice. ''Today, because of your justice, faith, wisdom, and truth, you have received the key to the Holy City. But for how long will this remain in your hands? When will this sacred place come back into our possession? `Umar Ibn al-Khattab then replied, ''Today we have indeed taken over this place of worship. It is with the four qualities of faith, wisdom, justice, and truth that we have regained the city. As long as these four exist in Islam, as long as the Muslims have all four in their hands, they will retain the city. But when these qualities depart from Islam, this place of worship will change hands once again. If it happens that we must lose this place to someone else, it will be because we lack certitude in our faith. When the Muslims sell the truth and collect worldly wealth and seek worldly pleasures; when they lose good faith, good conduct, and the good behavior of modesty and reserve; when they relate to women in an immoral and unjust way; when they behave with backbiting, jealousy, and envy; when they lack unity and establish hypocrisy; when they destroy good deeds and degenerate into committing evil actions-when all this occurs in the midst of Islam, then unity and peacefulness will be destroyed. These evil qualities and actions will cause divisions and separations, and this Holy City will be taken from our hands. That is certain. When this happens, the followers of Islam will be as numerous as the granules of flour in dough. But the number of those who shall take possession of the city will be as few as the grains of salt in the dough. This will happen when degradation permeates Islam. These were the words of `Umar Ibn al-Khattab when he took possession of the Holy City and the sacred ground of the Dome of the Rock. (from:http://www.bmf.org/iswp/justice.html#1)
[keluarga-islam] Haji Minus Kesalehan Sosial
Haji Minus Kesalehan Sosial Oleh: Nurul Huda Maarif* Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih greget mengerjakan ibadah haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji. Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali. Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita. Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama, ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya. Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini). Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji. Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya istithaah (kemampuan), yakni istithaah fisik dan harta. Tanpa adanya kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya. Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa sangat pribadi model ibadah tersebut. Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab, dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan *wong alit*. Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah haji. Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri. Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa horisontal, juga mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat, puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi secara langsung. Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, *al-muta'addy afdhal min al-qashir*(ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat melakukan semuanya dengan seimbang. Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah bertanya dalam nada menggugat, Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga, padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang sepanjang zaman, akan masuk neraka? Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial. Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. Di manakah aku dapat menemukan Engkau, ya Allah? tanya Musa. Temukan diriku dalam diri orang-orang yang papa, jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita. Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita, umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita? Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri
[keluarga-islam] Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah
Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah (Halal Haram - DR. Yusuf Qardhawi) DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah. Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al- Quran yang antara lain: Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya. (al-Baqarah: 29) (Allah) telah memudahkan untuk kamu apa- apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya. (al-Jatsiyah: 13) Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak. (Luqman: 20) Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya? Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmah, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan nanti. Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah. Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut: Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun. Kemudian Rasulullah membaca ayat:...dan Tuhanmu tidak lupa (Riwayat Hakim dan Bazzar) Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan,maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu. (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah) Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik. Dan sabda beliau juga, Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia. (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an- Nawawi) Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah: Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu. (al-An'am: 119) Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain. Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan: Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim) Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu tercermin dalam dua hal, yaitu: 1. Hanya Allah lah yang disembah. 2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya. Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan
Re: [keluarga-islam] Re: halal haram=Kaidah Dasar
hehehe... sampeyan nyium istri aja ibadah lho.. asal ikhlas... (emang ada yg ga ikhlas nyium istri??)... tapi, jika sampeyan nyium istri tetangga (walaupun sampeyan ikhlas lahir batin), insya allah langsung diseret ke balai RW setempat... tidak susah kan? salam, ananto On 12/29/06, ahmad faqih [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wandy, Berarti apa yang kita kerjakan saat ini, atau detik ini, kalau bukan muamalah berarti ibadah, ya? Atau kalau bukan ibadah berarti muamalah, ya? Mohon bisa dijelaskan lebih lanjut, seperti apa jelasnya amalan ibadah formal atau ritual itu? Terima kasih. Salam, Faqih H. On 12/29/06, wandysulastra [EMAIL PROTECTED] wrote: Pada dasarnya seluruh hidup kita adalah ibadah, karena memang Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk beribadah kepadaNya. Setiap amalan (aktifitas) yang kita lakukan sehari-hari insya Allah akan bernilai ibadah jika memang kita niatkan karena Allah. Bentuk amalan terbagi dua, yaitu amalan ibadah dan amalan muamalah. Amalan Ibadah adalah amalan yang bersifat formal yang tatacara dan petunjuk teknisnya harus mengacu kepada apa yang diatur dan dicontohkan oleh Rasulullah. Amalan ini biasanya berbentuk ritual. Dan sebagaimana kaidahnya bahwa semua ibadah adalah dilarang kecuali ada perintahnya, maka seorang muslim tidak boleh menciptakan amalan ibadah jenis baru, kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya. Sedangkan pada amalan muammalah (keduniaan) tidak berlaku demikian, sebagaimana hukum asalnya maka muammalah boleh dilakukan sebebas mungkin yang penting dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan syariat (prinsip halal/haram). Salam :) WnS --- In keluarga-islam@yahoogroups.com keluarga-islam%40yahoogroups.com, ahmad faqih [EMAIL PROTECTED] wrote: Benar ... setiap saat adalah ibadah. Maksud saya, mana yang masuk kategori ibadah, sehingga terkena kaidah tersebut? (Bahwa semua ibadah adalah dilarang, kecuali ada perintahnya). salam, Alif On 12/29/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote: ruang lingkup ibadah sangat luas... dari sampeyan bangun tidur sampai tidur lagi... bahkan tidurpun bisa dikatakan ibadah... so, 24 jam nonstop aktifitas anda bisa dikatakan ibadah jika kita mengetahuinya... salam, ananto On 12/29/06, ahmad faqih [EMAIL PROTECTED] wrote: Mas Wandy, Apakah definisi atau batasan ibadah di sini, dan juga definisi dari muamalah? Salam, Alif On 12/28/06, wandysulastra [EMAIL PROTECTED] wrote: Betul sekali Mas Anto... Sebenarnya tanpa disadari pun kita telah melakukan itu. Kita melakukan sholat karena ada perintah sholat, kita puasa karena ada perintah puasa, kita berzakat karena ada perintah berzakat, kita berhaji, karena ada perintah berhaji, kita bersholawat karena ada perintah bersholawat, kita berdoa karena ada perintah berdoa, kita berdzikir karena ada perintah berdzikir, kita berbakti pada orang tua karena ada perintah berbakti kepada mereka, dst Ketika terjadi perbedaan khilafiyah, masing2 dari kita pasti akan mencari dalil yang cukup kuat untuk mendukung pendapat kita. Ketika ada yang berbicara tentang satu amalan yang baru kita dengar, yang akan kita tanyakan tentunya adalah apa dalil landasan amalan tersebut. Jadi, dalam beribadah (sesuai dengan kaidah ibadah) yang akan kita cari dan tanyakan biasanya adalah dalil yang menjadi dasar perintah atau anjurannya. Berbeda dengan masalah muamalah, ketika tidak ada hal yang sekiranya melanggar syariat, tentu kita tidak perlu repot2 mencari dalil2 yang menjadi perintahnya karena memang hukum asalnya adalah mubah. Yang kita cari biasanya adalah dalil2 yang berhubungan dengan larangan, apakah kegiatan muamalah yang akan kita lakukan mengandung unsur yang dilarang al-Quran, sunnah, maupun ijma'...? Contoh riilnya misalnya seperti yang sekarang sedang marak dipermasalahkan yaitu Undian SMS, yang dicari dalam menyelesaikan kasus ini adalah dalil2 yang berhubungan dengan larangan, yaitu khususnya dalil2 yang berhubungan dengan perjudian dan bukan mencari dalil2 yang menjadi perintah ber-SMS.. :) Demikian dari saya Mas Anto. Salam :) WnS --- In keluarga-islam@yahoogroups.comkeluarga-islam%40yahoogroups.com keluarga-islam%40yahoogroups.com, Anto Sulistianto kiky_dini@ wrote: Mas Wandy, saya mau tanya : Setahu saya. hukum asal Ibadah adalah TERLARANG, sampai ada dalil yg memerintahkannya. Jadi, sepengetahuan saya dalam soal ibadah adalah yg kita pelajari/kita cari adalah dalil-2 yg memberikan PERINTAH atas ibadah tsb dan bukan sebaliknya kita mencari dalil-2 yg TIDAK MELARANG suatu ibadah yg tidak ada perintahnya. Sebaliknya soal