Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad

2007-01-01 Terurut Topik bos gila
gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene.., 
  
  tapi yah.. kalau mau dikait kaitin  pake logika (asal jangan nyangkut di 
tiang jemuran aje), maka ya sama  deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak 
kaki ibu, kira kira  nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan hormat.. 
kire kire  gitu kaleee..

Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote:   
   he he he.. Bos,
tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok.
jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi, 
ya...?!
apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh yang 
maknawi juga?  

kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang  memahaminya 
sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik  beliau, karena beliau 
sudah meninggal. :-)

tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya?  

salam
:-)




On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote:
  beliau  saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, 
sebagaimana firman Nya  : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah 
itu mati,  sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 
 154).  
  
  sabda  beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah  
kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir  menjelaskan 
bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw  hidup setelah wafatnya, 
sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya  sebagaimana diriwayatkan dalam 
Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda :  kulihat musa berdiri di kuburnya 
melakukan shalat para imam dan  Muhadditsin tidak lepas membahas hal ini, 
sebagaimana dikatakan oleh  Ima Ibn Hajar dalam Fathul Baari Almasyhur Juz  3 
hal 414  dan  juz 6 hal 487).  
  
 ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana  syair Abbas bin 
Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari  kelahiranmu terbit cahaya 
menerangi permukaan bumi hingga ufuk..
  
  boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu kuburnya.. 
emang perbuatan sahabat begitu kok..  
  
Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote:
he he he...
mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama meninggal.
bagaimana cara mememang erat kakinya?  

salam
:-)



On 12/30/06,   Ananto   [EMAIL PROTECTED] wrote:  
  Di kaki Muhammad
aku bersimpuh
memanjat doa

Di kaki Muhammad
aku bersimpuh 
ku pegang erat kakinya

Di kaki Muhammad
aku bersimpuh
memandang-Nya

melalui Muhammad  
aku berdoa  

melalui Muhammad   
aku memandang

hanya melalui Muhammad
aku terselamatkan   
  



  

  
  
  

 __
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around   
http://mail.yahoo.com   
  


  



  
  


 __
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad

2007-01-01 Terurut Topik Ramdan

he he he..
kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan.
bagaimana mas Ananto?

salam
:-)


On 1/1/07, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote:


  gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene..,

tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di
tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak
kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan
hormat.. kire kire gitu kaleee..


*Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:

 he he he.. Bos,
tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok.
jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian maknawi,
ya...?!
apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh
yang maknawi juga?

kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya
sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau
sudah meninggal. :-)

tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya?

salam
:-)



On 12/30/06, bos gila [EMAIL PROTECTED] wrote:

   beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana
 firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati,
 sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154).

 sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah
 kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan
 bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah
 wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana
 diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa
 berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas
 membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul
 Baari Almasyhur Juz  3 hal 414 dan  juz 6 hal 487).

 ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair Abbas
 bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu terbit
 cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk..

 boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu
 kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok..

 *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:

  he he he...
 mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama
 meninggal.
 bagaimana cara mememang erat kakinya?

 salam
 :-)


 On 12/30/06, Ananto  [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
Di kaki Muhammad
  aku bersimpuh
  memanjat doa
 
  Di kaki Muhammad
  aku bersimpuh
  ku pegang erat kakinya
 
  Di kaki Muhammad
  aku bersimpuh
  memandang-Nya
 
  melalui Muhammad
  aku berdoa
 
  melalui Muhammad
  aku memandang
 
  hanya melalui Muhammad
  aku terselamatkan
 


 __
 Do You Yahoo!?
 Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
 http://mail.yahoo.com



_



[keluarga-islam] after adhan

2007-01-01 Terurut Topik ***hajikhan***

   
  Sa`d bin Abu Waqqas (May Allah be pleased with him) reported: 
  The Prophet (PBUH) said, 
  He who says after the Adhan: 
  `Ash-hadu an la ilaha illallah Wah-dahu la sharika Lahu; 
  wa ash-hadu anna Muhammadan `abduhu wa Rasuluhu, 
  radhitu Billahi Rabban, wa bi Muhammadin Rasulan, 
  wa bil Islami Dinan 
  [I testify that there is no true god except Allah Alone; He has no partners 
and 
  that Muhammad (PBUH) is His slave and Messenger; I am content with Allah 
  as my Rubb, with Muhammad as my Messenger and with Islam as my Deen],' 
  his sins will be forgiven.''
[Muslim]. 


[keluarga-islam] Mengapa Harus Dibaca 33 Kali?

2007-01-01 Terurut Topik Ananto

*Mengapa Harus Dibaca 33 Kali?*

An-Nisa : 103-104
Sesungguhnya, kalau mau membalik atau membaca acak, mau mengurangi atau
menambah tidak ada Nash yang tegas melarang. Masalahnya, bahwa bacaan itu
sudah paket dari Nabi Muhammad SAW langsung. Ibarat resep yang sudah jadi
dan tinggal menelan saja. Soal kenapa dan kenapa ? Hanya Allah dan RasulNya
saja yang mengetahui.

Tapi, jika boleh dikira-kira, maka begini: Bacaan tasbih (Subhanallah),
adalah ungkapan seorang hamba mensucikan Tuhannya. Tuhan yang Maha Sempurna
dan bersih dari segala sifat kurang. Pensucian ini adalah refleksi tulus
dengan harapan jiwa hamba tersebut bisa bersih dan tajam melihat maslah,
jernih melihat Tuhan, melihat segala pemberian Tuhan. jernih melihat rahmat
Tuhan. Dan ternyata Tuhan serba Maha Memeberi, tak terbatas dan tak
hitungan.



Setelah begitu bersih, begitu jernih mampu melihat betap Tuhan serba
memberi, barulah jiwa itu bisa bersyukur, bisa berucap terima kasih, bisa
memuji keMaha-MuliaanNya.

Memang hanya jiwa yang jernih saja yang mampu bersyukur. Hanya jiwa yang
bersih saja yang pandai berterima kasih. Ekspresi berterima kasih itulah
diungkap dalam kata-kata al-Hamdu lillah (Segala puji hanya bagai Allah).

Ternyata si hamba itu sudah menyadari keadaan dirinya di hadapan Tuhan. Diri
seorang hamba yang lemah dan Diri Dzat Tuhan Yang Maha Segala. Tak ada
apa-apanya diri ini di hadapan Tuhan. Betapa Maha Mulia, betapa Maha
Pengasih, betapa Maha Kuasa, Perkasa tak tertandingi. Dari kesadaran itulah,
lahir ungkapan yang lkeluar dari lubuk hati paling dalam, bahwa Tuhan
sungguh Maha Besar. Itulah ungkapan Allah Akbar.

Soal 33 kali murni sebuah adonan, sebuah formula yang seimbang dan terukur.
Ibarat obat yang diresep dokter ahli. Sungguh sangat seimbang disesuaikan
dengan keadaan penyakit. Terukur dan pas. Tidak berlebih dan tidak pula
kurang. Apalagi jika ditaati dan diamalkan sesuai petunjuk. Yang tahu kenapa
tablet sekecil ini cukup diminum sekali sehari, sedangkan kapsul yang
besar-besar malah tiga kali sehari?.Hanya dokter pembuat resep saja yang
tahu itu. Pasien tidak perlu mengetahui, cukup mentaati saja.

Bila Subahanallah dibaca 33 kali setiap usai shalat, Al-hamdu lilah 33
kali dan Allah Akbar juga demikian, maka masing-masing akan terbaca
sebanyak 165 kali dalam sehari-semalam. Atau, secara kumulatif terbaca
sebanyak 495 kali. Jika aktif dilakukan dalam satu minggu, maka total
berjumlah 3465 kali. Jika dibaca aktif dalam satu bulan, jumlahnya
14.850kali. Sebuah angka cukup efektif menembus sanubari, jika
benar-benar dibaca
secara sungguhan dan diresapi.

Logikanya, jiwa sesorang muslim mesti bisa bersih, bisa pandai bersyukur,
bisa menyadari keterbatasan jika dia membaca wiridan di atas secara aktif
dan teresapi dalam satu bulan.

Dilanjutkan dengan membaca kalimah tahlil  La ilah illa Allah, Tiada Tuhan
selain Allah. Sekian kali. Lalu berdoa. Berdoa memohon kebaikan di Dunia
dan kebaikan di Akhirat. Sungguh rangkaian bacaan yang bagus dan sangat
religius.

Haruskah wiridan dilakukan dengan duduk setelah usai shalat seperti
kebiasaan kita? Ya tidak. Bisa saja Anda berwiridan, membaca-baca kalimah
thayyibah sambil tiduran, dengan jalan-jalan, termasuk dengan jungkiran
sekalipun.

Ayat studi ini memberi kebebasan cara berdzikir, yakni sambil berdiri, duduk
atau tiduran  fadzkuru Allah qiyama wa qu'uda wa 'ala junubihim . Cuma
harus disadari, lha wong segera setelah shalat, dalam keadaan sangat
kondusif, barusan berbisik-bisik dengan Tuhan, tinggal meneruskan saja tidak
mau, apalagi setelah berpisah lama dan terpental dari situasi kondusif? Apa
tidak malah lupa?[]


[keluarga-islam] (Do'a of the Day) 12 Dzulhijjah 1427H

2007-01-01 Terurut Topik Ananto

Bismillah irRahman irRaheem
In the Name of Allaah, The Most Gracious, The Most Kind

Allahumma innaka taqdiru wala aqdiru wa ta'lamu wa la a'lamu innaka
anta'allamul ghuyub fa-in ra-aita lii fulan/fulanah khairan fidini wa dun
yaya wa akhirati faqdli li biha wa in kaana ghairuha khairan lii minha fi
dini wa dun yaya wa akhirati faqhdli li biha.

Ya Tuhanku bahwasanya Engkau berkuasa sedang aku tidak berkuasa dan Engkau
mengetahui sedang aku tiada mengetahui Engkau mengetahui segala yang ghaib
jika Engkau mengetahui bahwa fulan/fulanah baik untukku dalam agamaku,
duniaku dan akhiratku maka berilah dia untukku. Jika yang selainnya lebih
baik daripadanya bagiku pada agamaku, duniaku, akhiratku, maka berilah yang
lain itu untukku. (HR Ahmad)


Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad

2007-01-01 Terurut Topik Ananto

met pagi, pak ustadz...
sori baru buka neh...

mmm
menurut ane, ga perlu dijelaskan lagi deh... terserah yg menafsirkannya
bijimane... :))
biar asyik kan?
yg jelas ane masih percayah dengan wasilah dan syafaat...

salam,
ananto


On 1/1/07, Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote:


  he he he..
kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan.
bagaimana mas Ananto?

salam
:-)


On 1/1/07, bos gila  [EMAIL PROTECTED] wrote:

   gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene..,

 tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut di
 tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah telapak
 kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan
 hormat.. kire kire gitu kaleee..


 *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:

  he he he.. Bos,
 tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok.
 jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian
 maknawi, ya...?!
 apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali Alloh
 yang maknawi juga?

 kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang memahaminya
 sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau, karena beliau
 sudah meninggal. :-)

 tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya?

 salam
 :-)




 On 12/30/06, bos gila  [EMAIL PROTECTED] wrote:
 
beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada, sebagaimana
  firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan Allah itu mati,
  sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS Al Baqarah 154).
 
  sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah
  kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir menjelaskan
  bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah
  wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana
  diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa
  berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak lepas
  membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul
  Baari Almasyhur Juz  3 hal 414 dan  juz 6 hal 487).
 
  ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair
  Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu
  terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk..
 
  boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu
  kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok..
 
  *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:
 
   he he he...
  mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama
  meninggal.
  bagaimana cara mememang erat kakinya?
 
  salam
  :-)
 
 
 
  On 12/30/06, Ananto  [EMAIL PROTECTED]  wrote:
  
 Di kaki Muhammad
   aku bersimpuh
   memanjat doa
  
   Di kaki Muhammad
   aku bersimpuh
   ku pegang erat kakinya
  
   Di kaki Muhammad
   aku bersimpuh
   memandang-Nya
  
   melalui Muhammad
   aku berdoa
  
   melalui Muhammad
   aku memandang
  
   hanya melalui Muhammad
   aku terselamatkan
  
 
 
  __
  Do You Yahoo!?
  Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
  http://mail.yahoo.com
 


 _






[keluarga-islam] Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes Pentas Di Pekalongan

2007-01-01 Terurut Topik arief dani
Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes Pentas Di Pekalongan
   
  Assalamu alaikum wr wb
   
  Bismillah hirRohman nirRohim,
  Insya Allah dalam rangka memperkenalkan Whirling Dervishes, Rabbani Zawiyah ( 
Cinere  Bulungan ) akan pentas di Pekalongan pada tgl 31 Desember 2006, malam 
Tahun Baru. 
  Dalam rangkaian acara tersebut Insya Allah akan ada Dzikir Khatam Kawajagan.
   
  Bagi teman2 yang dekat dengan Pekalongan ataupun yang dikota Pekalongan 
silahkan datang, untuk meramaikan acara dan berdzikir bersama.
   
  wasalam, arief hamdani
  HP. 0816 830 748
  HP 0888 333 5003

 __
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Re: [keluarga-islam] Di kaki Muhammad

2007-01-01 Terurut Topik Ramdan

met siang euy...
ya hak penulis untuk tidak menceritakan makna tulisannya,
dan hak pembaca untuk menafsir dan memaknai nya...
he he he...

jadi biarlah karya seni menempuh jalannya sendiri...
(kalimat dari seorang seniman, maaf, saya lupa lagi siapa namanya)


mau nambahi sedikit:
*ahmad (A)*
The state of the heart, the qalb, or aham.
Ahmad is the heart of Muhammad. The beauty of the heart [aham] is the beauty
of the countenance [muham,Tamil] of Muhammad. That is the beauty of Allah's
qualities.
This is a name that comes from within the ocean of divine knowledge [bahr
al-'ilm].
Allah is the One who is worthy of the praise of the qalb, the heart. Lit.:
most praiseworthy.
(from: http://www.bmf.org/iswp/glossary.html)


salam
:-)


On 1/2/07, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote:


  met pagi, pak ustadz...
sori baru buka neh...

mmm
menurut ane, ga perlu dijelaskan lagi deh... terserah yg menafsirkannya
bijimane... :))
biar asyik kan?
yg jelas ane masih percayah dengan wasilah dan syafaat...

salam,
ananto


On 1/1/07, Ramdan [EMAIL PROTECTED] wrote:

   he he he..
 kalo gitu biar pengarang/pengirim nya saja yang menjelaskan.
 bagaimana mas Ananto?

 salam
 :-)



 On 1/1/07, bos gila  [EMAIL PROTECTED]  wrote:
 
gue juga bingung, ni syair belum pernah kedengeran yg model gene..,
 
  tapi yah.. kalau mau dikait kaitin pake logika (asal jangan nyangkut
  di tiang jemuran aje), maka ya sama deh dengan ungkapan sorga dibawah
  telapak kaki ibu, kira kira nyangkutin dikit kesitu deh.. bermakna bakti dan
  hormat.. kire kire gitu kaleee..
 
 
  *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:
 
   he he he.. Bos,
  tentang ayat dan hadits tersebut saya percaya kok.
  jadi yang dimaksud dengan memegang erat kakinya itu dalam artian
  maknawi, ya...?!
  apa kah sama juga dengan maksud ayat berpegang teguh kepada tali
  Alloh yang maknawi juga?
 
  kalo kalimat ikut Muhammad kita semua bisa dengan gampang
  memahaminya sebagai mengikuti ajaran beliau, bukan mengikuti fisik beliau,
  karena beliau sudah meninggal. :-)
 
  tetapi memegang erat kakinya itu, bagaimana memahaminya?
 
  salam
  :-)
 
 
 
 
  On 12/30/06, bos gila  [EMAIL PROTECTED]  wrote:
  
 beliau saw itu hidup sebagaimana hidupnya para syuhada,
   sebagaimana firman Nya : Jangan kau katakan bahwa orang yg mati dijalan
   Allah itu mati, sungguh mereka itu hidup dan diberi rizki oleh Allah (QS 
Al
   Baqarah 154).
  
   sabda beliau saw : tiadalah orng bershalawat kepadaku kecuali Allah
   kembalikan ruh ku hingga aku menjawab salamnya, Imam Ibn Katsir 
menjelaskan
   bahwa makna ucapan ini adalah isyarat bahwa beliau saw hidup setelah
   wafatnya, sebagaimana para Nabi yg hidup setelah wafatnya sebagaimana
   diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasul saw bersabda : kulihat musa
   berdiri di kuburnya melakukan shalat para imam dan Muhadditsin tidak 
lepas
   membahas hal ini, sebagaimana dikatakan oleh Ima Ibn Hajar dalam Fathul
   Baari Almasyhur Juz  3 hal 414 dan  juz 6 hal 487).
  
   ucapan syair tak bisa dihukumi dg hukum dhahir, sebagaimana syair
   Abbas bin Abdulmuttalib ra yg memuji rasul saw bahwa dihari kelahiranmu
   terbit cahaya menerangi permukaan bumi hingga ufuk..
  
   boleh boleh aja bersimpuh di kaki Rasul saw, atau mencium debu
   kuburnya.. emang perbuatan sahabat begitu kok..
  
   *Ramdan [EMAIL PROTECTED]* wrote:
  
he he he...
   mas, Muhammad bin Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Mutolib sudah lama
   meninggal.
   bagaimana cara mememang erat kakinya?
  
   salam
   :-)
  
  
  
   On 12/30/06, Ananto  [EMAIL PROTECTED]  wrote:
   
  Di kaki Muhammad
aku bersimpuh
memanjat doa
   
Di kaki Muhammad
aku bersimpuh
ku pegang erat kakinya
   
Di kaki Muhammad
aku bersimpuh
memandang-Nya
   
melalui Muhammad
aku berdoa
   
melalui Muhammad
aku memandang
   
hanya melalui Muhammad
aku terselamatkan
   
  
  


[keluarga-islam] Justice For All.

2007-01-01 Terurut Topik Ramdan

*I seek refuge in Allah from the evils of the accursed satan.*
*In the name of Allah, Most Merciful, Most Compassionate.*

There is a traditional story about `Umar Ibn al-Khattab, the Islamic caliph
who captured the city of Jerusalem and built the first mosque on the grounds
of the sacred sanctuary now known as the Dome of the Rock (*al-Bayt
al-Muqaddas).* #2

`Umar was a ruler of great justice and peace. Because of his noble
qualities, he was given the beautiful name, Commander of the Faithful (*Amir
al-Mu'minin*), and it was his rightful duty to receive the key to the Holy
City which was the original qiblah, the direction Muslims face while
praying.

The armies of `Umar had already entered Jerusalem and taken control of the
city from the Christians who had ruled there since the time of Constantine,
but when `Umar came to take official possession of Jerusalem, he came alone.
He journeyed from Damascus to Jerusalem with only one camel and a cameleer.
The caliph, being a man of great humility, had arranged with the cameleer
that they would both take turns riding the camel. According to justice, he
would ride for a while, then the cameleer would ride and he would walk.

Meanwhile, the entire city was awaiting `Umar's impending arrival. The
bishop of the Holy Sepulcher had announced, The great Islamic leader is
coming! We must greet him and pay our respects to him. And so all the
people had gathered at the city gate, awaiting a grand royal procession. But
no procession appeared.

Instead, two people became visible on the horizon, approaching very slowly.
When they finally reached the city, it was the cameleer's turn to be riding,
and so all the people mistook him for the caliph and rushed to greet him.

''Wait! I am not the caliph! he protested and explained their arrangement
to take turns riding and walking. The people, overwhelmed by this justice,
praised the great caliph.

The bishop was also amazed by such justice. His heart filled with joy, and
he handed the key of the city to `Umar Ibn al-Khattdb.

The bishop then invited `Umar to perform his prayers within their church.
But when `Umar saw the interior decorated with all the Christian symbols, he
politely declined, saying, I will pray just outside your doors.

Once he had finished, the bishop asked, ''Why would you not come inside our
church?

If I had prayed in your sanctuary,'' `Umar explained, ''my followers and
those who come here in the future would take over this building and turn it
into a mosque. They would destroy your place of worship. To avoid these
difficulties and allow your church to continue as it is, I prayed outside.

Again the bishop was amazed by his justice. ''Today, because of your
justice, faith, wisdom, and truth, you have received the key to the Holy
City. But for how long will this remain in your hands? When will this sacred
place come back into our possession?

`Umar Ibn al-Khattab then replied, ''Today we have indeed taken over this
place of worship. It is with the four qualities of faith, wisdom, justice,
and truth that we have regained the city. As long as these four exist in
Islam, as long as the Muslims have all four in their hands, they will retain
the city. But when these qualities depart from Islam, this place of worship
will change hands once again.

If it happens that we must lose this place to someone else, it will be
because we lack certitude in our faith. When the Muslims sell the truth and
collect worldly wealth and seek worldly pleasures; when they lose good
faith, good conduct, and the good behavior of modesty and reserve; when they
relate to women in an immoral and unjust way; when they behave with
backbiting, jealousy, and envy; when they lack unity and establish
hypocrisy; when they destroy good deeds and degenerate into committing evil
actions-when all this occurs in the midst of Islam, then unity and
peacefulness will be destroyed. These evil qualities and actions will cause
divisions and separations, and this Holy City will be taken from our hands.
That is certain.

When this happens, the followers of Islam will be as numerous as the
granules of flour in dough. But the number of those who shall take
possession of the city will be as few as the grains of salt in the dough.
This will happen when degradation permeates Islam.

These were the words of `Umar Ibn al-Khattab when he took possession of the
Holy City and the sacred ground of the Dome of the Rock.
(from:http://www.bmf.org/iswp/justice.html#1)


[keluarga-islam] Haji Minus Kesalehan Sosial

2007-01-01 Terurut Topik Ananto

Haji Minus Kesalehan Sosial
Oleh: Nurul Huda Maarif*

Banyak yang bilang, umat Islam Indonesia lebih greget mengerjakan ibadah
haji ketimbang berzakat. Padahal, secara hierarkis, perilaku berzakat
seharusnya lebih diutamakan ketimbang berhaji.

Kesimpulan seperti di atas tidak sepenuhnya salah. Sebab, memang ibadah haji
lebih menitikberatkan pada dimensi vertikal, antara al-Khaliq dengan
al-makhluq saja, bukan dimensi sosial layaknya zakat. Jelas, zakat sangat
bernuansa sosial karena kita langsung berinteraksi dengan masyarakat. Kita
dapat membayangkan sebagian di antara kita yang punya program haji tiap
tahun, misalnya. Haji dilakukan berkali-kali.

Tujuannya, apa lagi, kalau bukan untuk ibadah kepentingan pribadi. Tidak ada
sejarahnya, berhaji untuk kepentingan masyarakat, misalnya supaya masyarakat
menjadi makmur atau sejahtera. Bahkan, lebih jauh lagi, mereka hanya
bertujuan mengoleksi titel sosial yang sama sekali tidak membantu memerangi
dan mengentaskan kemiskinan yang menyedihkan di sekitar kita.

Dalam tradisi fikih, model ibadah dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama,
ibadah badaniyyah, yakni ibadah yang sepenuhnya mengandalkan aspek kekuatan
badan, seperti salat dan puasa. Untuk melakukannya, kita hanya membutuhkan
kekuatan fisik. Kita tidak perlu membayar upeti untuk melakukan keduanya.

Kedua, ibadah maliyah, yakni ibadah yang hanya dapat dilakukan dengan sarana
uang, seperti zakat. Kita tidak memerlukan kekuatan fisik untuk
melakukannya. Kita hanya membutuhkan harta (dan sebagian di antara kita yang
mengerjakan haji berkali-kali pasti memiliki aspek ini).

Ketiga, ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa
dilakukan kala kita memiliki kekuatan fisik dan harta, seperti ibadah haji.
Dalam Alquran disebutkan bahwa untuk menunaikan haji, disyaratkan adanya
istithaah (kemampuan), yakni istithaah fisik dan harta. Tanpa adanya
kesatuan antara kedua hal itu, mustahil kita dapat melaksanakannya.

Bila kita cermati tiga model ibadah di atas satu per satu, kita akan
menemukan kesimpulan bahwa dimensi ibadah model pertama sangat bersifat
individualistik. Yakni lebih menekankan hubungan antara Sang Khalik dan sang
makhluk. Apalagi dalam kasus puasa. Firman Allah ini menunjukkan betapa
sangat pribadi model ibadah tersebut.

Dimensi ibadah model kedua, zakat, jelas sekali bernuansa sosial. Sebab,
dengan berzakat, berarti kita turut memikirkan dan mencoba mengentaskan
kemiskinan atau minimal berbagi rasa dengan golongan *wong alit*.

Sementara itu, ibadah model ketiga, sebagaimana model pertama, juga lebih
bersifat individualistik. Manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya. Orang
lain tidak merasakan apa pun, kecuali nasi tumpeng, yang hakikatnya juga
ditujukan hanya untuk kepentingan keselamatannya dalam menjalankan ibadah
haji.

Nah, di antara tiga model ibadah di atas, manakah yang utama? Tentu
ketiganya sama-sama utama. Hanya, bila kita berpikir menggunakan konsep
skala prioritas, kita akan mengatakan bahwa ibadah yang berdimensi sosiallah
yang paling utama. Itu tidak bisa dipungkiri.

Mengapa? Sebab, ibadah model itu, selain bernuansa horisontal, juga
mengandung dimensi vertikal. Sebab, mustahil kita melakukannya tanpa
dilandasi unsur keimanan kepada Tuhan. Sebaliknya, nuansa sosial sulit (atau
bahkan tidak dapat) ditemukan pada model ibadah vertikal, seperti salat,
puasa, maupun haji. Kalaupun ada, hal itu sebatas imbas saja, tidak terjadi
secara langsung.

Dalam tradisi Ushul al-Fiqh dikatakan, *al-muta'addy afdhal min
al-qashir*(ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama
ketimbang
ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya
dapat kita rasakan melalui media zakat. Syukur-syukur, idealnya, kita dapat
melakukan semuanya dengan seimbang.

Karena itu, kesalehan sosial (spiritual centrifugal) sudah seharusnya kita
kedepankan ketimbang kesalehan individual (spiritual centripetal). Karena
itu pula, Murtadla Muthahhari, pemikir muslim terkemuka asal Iran, pernah
bertanya dalam nada menggugat, Apakah rahib-rahib atau sufi-sufi yang hanya
duduk-duduk di pojok masjid seraya memutar tasbih yang akan masuk surga,
padahal hal itu dilakukan hanya untuk dirinya sendiri? Sementara Thomas Alfa
Edison, si jenius penemu listrik, yang hasil temuannya dimanfaatkan orang
sepanjang zaman, akan masuk neraka?

Patut kita merenungkan secara mendalam gugatan Muthahhari tersebut. Pada
prinsipnya, dia menggugat tradisi keagamaan yang hanya mementingkan aspek
individual, tanpa pernah menyentuh aspek sosial.

Kita ingat, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Tuhan. Di manakah aku dapat
menemukan Engkau, ya Allah? tanya Musa. Temukan diriku dalam diri
orang-orang yang papa, jawab Allah. Dari situ jelas sekali bahwa kesadaran
humanistis sangatlah penting dalam kehidupan kita.

Bila kita mengaitkan kenyataan di atas dengan perilaku keberagamaan kita,
umat Islam Indonesia, kita patut bertanya, apa yaang terjadi dengan kita?
Kenapa kita lebih mementingkan diri sendiri 

[keluarga-islam] Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah

2007-01-01 Terurut Topik wandysulastra
Asal Tiap-Tiap Sesuatu Adalah Mubah 
(Halal  Haram - DR. Yusuf Qardhawi)

DASAR pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang 
dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, 
kecuali karena ada nas yang sah dan tegas dari syari' (yang 
berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang 
mengharamkannya. 

Kalau tidak ada nas yang sah --misalnya karena ada sebagian Hadis 
lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan 
haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah. 

Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu 
asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-
Quran yang antara lain: 

Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini 
semuanya. (al-Baqarah: 29) (Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-
apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya 
daripadaNya. (al-Jatsiyah: 13) 

Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk 
kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia 
telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang 
tidak nampak. (Luqman: 20) 

Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada 
manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. 
Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia 
dan Dia kurniakannya? Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru 
karena ada sebab dan hikmah, yang --insya Allah-- akan kita sebutkan 
nanti. Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu 
sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru 
sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas 
dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang 
tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum 
asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima'fukan Allah. 

Untuk soal ini ada satu Hadis yang menyatakan sebagai berikut: 

Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, 
dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa 
yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma'fu). Oleh karena itu 
terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak 
bakal lupa sedikitpun. Kemudian Rasulullah membaca ayat:...dan 
Tuhanmu tidak lupa (Riwayat Hakim dan Bazzar) 

Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan 
keledai hutan,maka jawab beliau: 

Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam 
kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan 
dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu 
yang Allah maafkan buat kamu. (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah) 

Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan 
menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada 
suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan 
Allah, sedang lainnya halal dan baik. 

Dan sabda beliau juga, 

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan 
kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka 
jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka 
jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa 
hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan 
kamu perbincangkan dia. (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-
Nawawi) 

Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu 
adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi 
meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk 
daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat 
atau Mu'amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak 
terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari' sendiri telah 
diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah: 

Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan 
atas kamu. (al-An'am: 119) 

Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain. 

Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan 
agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk 
itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan: 

Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu 
yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak. (Riwayat Bukhari 
dan Muslim) 

Ini, adalah karena hakikat AGAMA --atau katakanlah IBADAH-- itu 
tercermin dalam dua hal, yaitu: 

1. Hanya Allah lah yang disembah. 

2. Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang 
disyariatkannya. 

Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang 
timbul dari dirinya sendiri --apapun macamnya-- adalah suatu 
kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari'lah yang berhak 
menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub 
kepadaNya. 

Adapun masalah Adat atau Mu'amalat, sumbernya bukan dari syari', 
tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan 

Re: [keluarga-islam] Re: halal haram=Kaidah Dasar

2007-01-01 Terurut Topik Ananto

hehehe...

sampeyan nyium istri aja ibadah lho.. asal ikhlas... (emang ada yg ga ikhlas
nyium istri??)...
tapi, jika sampeyan nyium istri tetangga (walaupun sampeyan ikhlas lahir
batin), insya allah langsung diseret ke balai RW setempat...

tidak susah kan?

salam,
ananto


On 12/29/06, ahmad faqih [EMAIL PROTECTED] wrote:


   Mas Wandy,

Berarti apa yang kita kerjakan saat ini, atau detik ini, kalau bukan
muamalah berarti ibadah, ya?  Atau kalau bukan ibadah berarti muamalah, ya?
Mohon bisa dijelaskan lebih lanjut, seperti apa jelasnya amalan ibadah
formal atau ritual itu?

Terima kasih.

Salam,
Faqih H.


 On 12/29/06, wandysulastra [EMAIL PROTECTED] wrote:

   Pada dasarnya seluruh hidup kita adalah ibadah, karena memang Allah
 menciptakan jin dan manusia tidak lain dan tidak bukan hanyalah
 untuk beribadah kepadaNya. Setiap amalan (aktifitas) yang kita
 lakukan sehari-hari insya Allah akan bernilai ibadah jika memang
 kita niatkan karena Allah.

 Bentuk amalan terbagi dua, yaitu amalan ibadah dan amalan muamalah.
 Amalan Ibadah adalah amalan yang bersifat formal yang tatacara dan
 petunjuk teknisnya harus mengacu kepada apa yang diatur dan
 dicontohkan oleh Rasulullah. Amalan ini biasanya berbentuk ritual.
 Dan sebagaimana kaidahnya bahwa semua ibadah adalah dilarang kecuali
 ada perintahnya, maka seorang muslim tidak boleh menciptakan amalan
 ibadah jenis baru, kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah dan
 RasulNya.

 Sedangkan pada amalan muammalah (keduniaan) tidak berlaku demikian,
 sebagaimana hukum asalnya maka muammalah boleh dilakukan sebebas
 mungkin yang penting dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan
 syariat (prinsip halal/haram).

 Salam :)
 WnS

 --- In keluarga-islam@yahoogroups.com keluarga-islam%40yahoogroups.com,
 ahmad faqih [EMAIL PROTECTED]
 wrote:
 
  Benar ... setiap saat adalah ibadah.
  Maksud saya, mana yang masuk kategori ibadah, sehingga terkena
 kaidah
  tersebut? (Bahwa semua ibadah adalah dilarang, kecuali ada
 perintahnya).
 
  salam,
  Alif
 
 
  On 12/29/06, Ananto [EMAIL PROTECTED] wrote:
  
   ruang lingkup ibadah sangat luas...
   dari sampeyan bangun tidur sampai tidur lagi... bahkan tidurpun
 bisa
   dikatakan ibadah...
  
   so, 24 jam nonstop aktifitas anda bisa dikatakan ibadah jika kita
   mengetahuinya...
  
   salam,
   ananto
  
  
   On 12/29/06, ahmad faqih [EMAIL PROTECTED] wrote:
   
Mas Wandy,
   
Apakah definisi atau batasan ibadah di sini, dan juga definisi
 dari
muamalah?
   
Salam,
Alif
   
   
On 12/28/06, wandysulastra [EMAIL PROTECTED]  wrote:

 Betul sekali Mas Anto...

 Sebenarnya tanpa disadari pun kita telah melakukan itu. Kita
 melakukan sholat karena ada perintah sholat, kita puasa
 karena ada
 perintah puasa, kita berzakat karena ada perintah berzakat,
 kita
 berhaji, karena ada perintah berhaji, kita bersholawat
 karena ada
 perintah bersholawat, kita berdoa karena ada perintah
 berdoa, kita
 berdzikir karena ada perintah berdzikir, kita berbakti pada
 orang
 tua karena ada perintah berbakti kepada mereka, dst

 Ketika terjadi perbedaan khilafiyah, masing2 dari kita pasti
 akan
 mencari dalil yang cukup kuat untuk mendukung pendapat kita.
 Ketika
 ada yang berbicara tentang satu amalan yang baru kita
 dengar, yang
 akan kita tanyakan tentunya adalah apa dalil landasan amalan
 tersebut. Jadi, dalam beribadah (sesuai dengan kaidah
 ibadah) yang
 akan kita cari dan tanyakan biasanya adalah dalil yang
 menjadi dasar
 perintah atau anjurannya.

 Berbeda dengan masalah muamalah, ketika tidak ada hal yang
 sekiranya
 melanggar syariat, tentu kita tidak perlu repot2 mencari
 dalil2 yang
 menjadi perintahnya karena memang hukum asalnya adalah
 mubah. Yang
 kita cari biasanya adalah dalil2 yang berhubungan dengan
 larangan,
 apakah kegiatan muamalah yang akan kita lakukan mengandung
 unsur
 yang dilarang al-Quran, sunnah, maupun ijma'...?

 Contoh riilnya misalnya seperti yang sekarang sedang marak
 dipermasalahkan yaitu Undian SMS, yang dicari dalam
 menyelesaikan
 kasus ini adalah dalil2 yang berhubungan dengan larangan,
 yaitu
 khususnya dalil2 yang berhubungan dengan perjudian dan bukan
 mencari
 dalil2 yang menjadi perintah ber-SMS.. :)

 Demikian dari saya Mas Anto.

 Salam :)
 WnS

 --- In 
keluarga-islam@yahoogroups.comkeluarga-islam%40yahoogroups.com
 keluarga-islam%40yahoogroups.com, Anto Sulistianto
 kiky_dini@ wrote:
 
  Mas Wandy, saya mau tanya :
 
  Setahu saya. hukum asal Ibadah adalah TERLARANG, sampai
 ada dalil
 yg memerintahkannya.
  Jadi, sepengetahuan saya dalam soal ibadah adalah yg kita
 pelajari/kita cari adalah dalil-2 yg memberikan PERINTAH
 atas ibadah
 tsb dan bukan sebaliknya kita mencari dalil-2 yg TIDAK
 MELARANG
 suatu ibadah yg tidak ada perintahnya.
 
  Sebaliknya soal