[Baraya_Sunda] Islam jeung demokrasi?

2010-08-16 Terurut Topik Remi
Membumikan Gagasan Civil Islam
Oleh Sumanto Al Qurtuby

Di tengah maraknya gerakan uncivil Islam yang anti-demokrasi, anti-minoritas, 
dan anti-pluralisme dewasa ini seperti dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi, dan 
di tengah berbagai aksi kekerasan berbaju agama yang dilakukan secara 
istiqamah oleh kelompok Islam ekstrim, maka umat Islam harus bersatu 
membangkitkan sekaligus membumikan gagasan civil Islam yang demokratis, 
toleran-pluralis, damai, inklusif, serta peka terhadap kemajemukan bangsa. 

Civil Islam, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh antropolog dan Indonesianis 
dari Boston University, Robert W. Hefner dalam buku Civil Islam: Muslims and 
Democratizations in Indonesia. Istilah ini mengacu pada kaum Muslim atau varian 
keislaman yang memiliki karakteristik toleran, pluralis, peaceful, sekuler, 
liberal, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, serta menjunjung 
tinggi nilai-nilai keadaban (civility).  Di Barat khususnya, banyak yang 
tidak percaya terhadap gagasan dan fenomena civil Islam ala Hefner ini. Di 
dunia akademik Barat, literatur-literatur yang menempatkan Islam secara 
positif atau ide-ide tentang Islam yang civil memang kalah populer dengan 
pemikiran-pemikiran yang memosisikan Islam dan kaum Muslim sebagai entitas 
kultural-politik yang jauh dari nilai-nilai keadaban (civility), kemajuan 
(advancement), kemodernan (modernity), dan seterusnya.

Bahkan bagi sebagian orientalis yang tak bersahabat dan ilmuwan sosial yang 
kurang simpatik terhadap sisi positif atau civil Islam, gagasan-gagasan 
demokrasi, pluralisme, feminisme, liberalisme, civil society dan lain-lain 
tidak akan pernah hijrah ke dunia Islam. Bagi mereka, ide-ide seperti ini 
hanya bisa tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat yang mewarisi tradisi 
Pencerahan Eropa dan Helenisme Yunani. Begitulah kira-kira keyakinan para 
pemikir esensialis seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis, John Hall, 
Ernest Gellner, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya pemikir non-Muslim saja yang berpandangan eksklusif seperti ini, 
sosiolog Muslim Turki, Serif Mardin, juga berargumen sama. Dalam artikelnya 
yang sangat provokatif dan memicu perdebatan luas, Civil Society and Islam, 
Mardin mengatakan, civil society is a Western dream, a historical aspiration 
dan mimpi masyarakat Barat ini, lanjutnya, has not become the dream of Muslim 
societies kendati banyak negara-negara Muslim saat ini yang punya 
institusi-institusi modern seperti yang berkembang di Barat. 
Institusi-institusi modern itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya negara 
demokrasi dan civil governance (Mardin dalam Hall 1995: 278-296).

Lebih lanjut Mardin menegaskan bahwa gagasan civil society, demokrasi, dan 
Islam yang civil itu susah tumbuh di dunia Islam sebab masyarakat Muslim 
adalah pewaris a collective memory of a total culture which once provided a 
`civilized' life of a tone different from that of the West. Nilai-nilai inti 
kebudayaan Islam itu, tegas Mardin, bukan otonomi, independensi, dan 
self-determination seperti di Barat, tapi faithful adherence to an awesome 
revelation. Karena itu, ia tak bisa dijadikan sebagai basis membangun 
masyarakat egaliter yang bertumpu pada sistem demokrasi dan kultur kewargaan 
(citizenship).

Berbeda dengan gagasan para pemikir esensialis di atas, Robert Hefner dan 
sejumlah ilmuwan sosial seperti Chris Hann, Dale Eickleman, James Piscatori, 
John Esposito, Augustus Norton, Jenny White, Asef Bayat, dan lain-lain 
berargumen bahwa—dengan merujuk pada berbagai studi tentang politik Muslim dan 
civic culture—dunia Islam telah mengalami kemajuan signifikan dan perubahan 
sosial yang sangat penting dalam ide-ide demokrasi, civic pluralism, 
citizenship, feminisme, dan lain-lain. Singkatnya, civil Islam itu ada. Oleh 
karena itu, bagi mereka, menggunakan ide-ide klasik Weberian yang pesimistik 
terhadap Islam dan dunia politik Muslim—sebuah gagasan yang kemudian dikritik 
dan diulas dengan baik oleh Bryan S. Turner dalam Weber and Islam: A Critical 
Study—untuk mengkaji perkembangan wacana kepolitikan dan kebudayaan Islam 
kontemporer akan misleading dan tidak akurat.

Memang agama—tak terkecuali Islam—selain memiliki sisi negatif atau dimensi 
uncivil yang tidak demokratis, anti-pluralisme serta bisa mengispirasi 
lahirnya tindakan kejahatan kemanusiaan, terorisme, dan kekerasan, juga memuat 
aspek-aspek positif dan civil yang bisa dijadikan sebagai basis teologis 
untuk mewujudkan gagasan keagamaan (keislaman) yang demokratis, 
toleran-pluralis, peaceful. Ini bisa dijadikan sebagai dasar membangun hubungan 
antar dan intra agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas, dan manusiawi.

Richard Solomon, Presiden the United States Institute of Peace (USIP) yang 
berbasis di Washington, D.C. suatu saat pernah berkata: While religion can and 
does contribute to violent conflict, it also can be powerful factor in the 
struggle for peace and reconciliation. Pernyataan ini sekedar untuk menegaskan 
watak ambiguitas 

[Baraya_Sunda] Islam jeung demokrasi?

2006-05-18 Terurut Topik Rahman



Parpol dan Ormas Islam Gagal
Parpol dan ormas Islam gagal tampilkan Islam yang berkesesuaian dengan demokrasi kata pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Bachtiar Effendi.

http://www.kompas.com/utama/news/0605/18/162509.htm

  
-
Feel free to call! Free PC-to-PC calls. Low rates on PC-to-Phone. Get Yahoo! Messenger with Voice

[Non-text portions of this message have been removed]







http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/
http://barayasunda.servertalk.in/index.php?mforum=barayasunda


[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]








  
  
SPONSORED LINKS
  
  
  

Spanish language and culture
  
  
Indonesian languages
  
  
Indonesian language learn
  
  


Indonesian language course
  

   
  







  
  
  YAHOO! GROUPS LINKS



  Visit your group "Baraya_Sunda" on the web.
  To unsubscribe from this group, send an email to:[EMAIL PROTECTED]
  Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.