[Baraya_Sunda] urusan ngaran?

2010-09-06 Terurut Topik Remi
*
  06 September 2010
  Nama, atau Mengapa Juliet Salah

  Sebuah klise: What is in a name?

  Sejak lakon Romeo and Juliet dipentaskan di tahun 1597, kata-kata itu 
diulang dalam berjuta-juta percakapan. Tiap kali orang kerepotan karena soal 
nama, dikutiplah Juliet (atau persisnya Shakespeare) di adegan itu: nama bukan 
soal penting. Juliet Capulet dan Romeo Montague bisa saling mencintai, meskipun 
Capulet dan Montague lain bermusuhan.

  What's Montague? It is nor hand, nor foot,
  Nor arm, nor face, nor any other part
  Belonging to a man.

  Nama, buat Juliet, hanya tempelan. Nama bukan tangan, kaki, lengan, atau 
wajah. Romeo, doff thy name!, katanya kepada sang pacar agar menanggalkan 
tempelan itu. Juliet sedang mabuk kepayang. Baginya cintanya tak akan buyar 
kalaupun Romeo Montague menamakan diri Johny Puyol.

  Tapi klise terjadi karena repetisi dan, dalam hal ini, repetisi terjadi 
karena ternyata orang berkali-kali dibikin repot oleh nama. Romeo and Juliet 
jadi sebuah tragedi (yang dikenang terus selama hampir 500 tahun) justru karena 
Juliet salah berteori; ia tak tahu ada banyak hal yang terdapat dalam sebuah 
nama.

  Terutama di Indonesia. Di negeri ini, pemberian nama adalah sebuah 
kehebohan. Di masa kecil, Bung Karno diganti namanya dari Kusno jadi 
Sukarno. Ayahnya berharap anak laki-laki itu tak akan sakit-sakitan lagi. 
Malah dengan nama baru itu ia diharapkan akan seperti Karna, tokoh cerita 
wayang itu. Menurut penuturan Bung Karno sendiri, ayahnya menganggap Karna 
seorang patriot; semangatnya mudah-mudahan akan diteruskan si anak.

  Keputusan sang ayah menunjukkan bahwa nama bukan sekedar tempelan. Nama 
punya daya performatif.

  Ya, Juliet salah.

  Bung Karno, seperti Pak Sukemi, ayahnya, juga tak sembarangan memberi 
nama anaknya. Yang laki-laki: Guntur, Guruh, Taufan -- kata-kata yang 
punya daya sugestif tentang kedahsyatan alam. Yang perempuan: Mega dan 
Sukma. Kedua kata itu menimbulkan asosiasi kepada apa yang halus dan lembut. 
Tentu saja selain makna dan daya asosiatif, faktor bunyi penting: Guntur dan 
guruh dipilih karena lebih bagus terdengar ketimbang gledek. Bung Karno  
segenap bangsa Indonesia akan malu seandainya di Istana Merdeka ada seorang 
anak bernama Gledek Sukarnoputra.

  Tapi tampak, nama seorang anak lebih mencerminkan hasrat (dan sifat) 
orang tua ketimbang nasib si anak. Guntur, guruh, taufan, mega 
menunjukkan kesukaan Bung Karno akan hal-hal yang sublim, yang tak statis, dan 
terkait dengan langit.

  Pelukis Djoko Pekik - seorang perupa Lekra yang datang dari sebuah desa 
Jawa Tengah yang miskin - melihat ke arah lain. Nama anak + cucunya dipinjamnya 
dari benda sehari-hari yang tak dipedulikan orang, mungkin bahkan disisihkan: 
Pakuril (paku rel kereta api), Lugut (miang pada bambu), Drejeg Lalang 
(umbi alang-alang). Sastrawan Bur Rasuanto lain lagi. Sadar posisinya sebagai 
sastrawan, untuk anaknya ia memodulasi nama dari bentuk-bentuk sastra: 
Legendariya dan Mitologenta.

  Anak-anak memang tak memilih namanya sendiri. Mungkin ini bagian dari 
kolonisasi orang tua. Maka tak jarang ketika jadi dewasa dan mandiri, seorang 
anak Indonesia mengubah namanya yang ia rasakan tak cocok lagi buat dirinya: 
Yapi Panda Abdiel Tambajong jadi Remy Silado, sastrawan tenar. Almarhum 
wartawan Budiman S. Hartojo lahir sebagai Munawir. Apalagi di Jawa Tengah: 
orang lazim meninggalkan nama muda dan memakai jeneng tuwa: Harjowiryo, dulu 
Sukidi.

  Nama, dengan demikian, sebuah pengukuhan diri dan penanda transisi.

  Tapi yang ditandai tak hanya transisi pribadi. Indonesia pernah 
menyaksikan politik penamaan bergerak dalam skala besar - satu bukti bahwa 
bahasa, yang punya kekuasaan atas diri kita, juga terlibat dengan benturan 
kekuasaan di masyarakat luas. Untuk memperkuat ke-Indonesia-an, elite politik 
mendesak orang Indonesia keturunan Cina mengubah namanya agar tak terasa Cina 
lagi. Peng-Indonesia-an juga ditujukan ke yang lain. Bung Karno memberi nama 
baru kepada bintang film Lientje Tambayong - karena bunyi tje itu adalah 
warisan Belanda - dan jadilah Rima Melati.

  Politik penamaan bisa dilakukan berbeda. Di Jawa, nama menunjukkan kelas: 
Suryo Sumirat nama khas bangsawan; Paidin, Kromo umumnya petani. Sebagai 
satu sikap politik, para tokoh PKI menyebut diri seperti kaum bawah itu: Njoto, 
Njono, Rewang. Njoto dan Njono tak memakai sebutan Su-, karena sering yang 
pakai Su di awal namanya adalah priyayi.

  Tapi akan salah untuk menyimpulkan bahwa kita selalu memberi bobot 
politik pada sebuah nama. Orang Tapanuli tak jarang memberi nama anak dengan 
hal yang tak luar biasa: Radio, Kantor, Sutradara, misalnya. Di Jawa 
Barat, ada ayah yang memberi nama mirip merk mobil: Fia Fiati atau Honda 
Impalawati.

  Nama juga dipakai untuk pengingat-ingat. Seorang pelukis Bali menamai 
anaknya I Made Waikiki, diambil dari nama Pantai Waikiki, 

RE: [Baraya_Sunda] urusan ngaran?

2010-09-06 Terurut Topik KAsep
Antoni Barbo Kang anak petani babar na dinten rebo hehehe.

From: Baraya_Sunda@yahoogroups.com [mailto:baraya_su...@yahoogroups.com] On
Behalf Of Remi
Sent: 06 September 2010 17:29
To: Baraya_Sunda@yahoogroups.com
Subject: [Baraya_Sunda] urusan ngaran?

  
*
06 September 2010
Nama, atau Mengapa Juliet Salah





Re: [Baraya_Sunda] urusan ngaran?

2007-11-08 Terurut Topik Asep Iwan Gunawan
Ceuk baraya aya henteu korelasi antawis nami anu seueur nganggo O
identik sareng nami dulur-dulur urang Jawa, sedengkeun US identik
sareng nami anu seueur A atanapi nami anu diulang-ulang sapertos
Iwan Gunawan, Asep Surasep, Cucu Cuyaman, Jajang Nurjaman, Ajat
Sudrajat jrrd 

AIG

On Nov 9, 2007 4:12 AM, Rahman [EMAIL PROTECTED] wrote:




 Semiotika Nama

 Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat
 mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas
 berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya,
 zaman sekarang tidaklah begitu memedulikan nama.

 Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama
 Andreas Surya Saputra untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang
 Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor
 yang bertugas di Semarang memiliki nama Ibn Fajar Muhammad.

 Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok
 hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan
 tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan
 satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong
 garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.

 Sebutan romo tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan
 tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki.
 Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif
 menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub
 sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai mesias (lihat
 Majalah Bola).

 Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal
 khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar.
 Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.

 Berkaitan dengan proses demikian, nama Andreas termasuk satu dari
 sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam
 gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang
 dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung
 tidak bisa serampangan.

 Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa.
 Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas
 genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur
 masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan
 masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa
 mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan
 sebagai penyandang status subordinat kultural.

 Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat
 dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang
 digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi
 kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer,
 segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis.
 Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta
 kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara
 reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.

 Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur
 franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita.
 Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar
 Indonesia. Atau, nama Indonesia sekadar ilusi?

 Berarti selama ini saya salah sangka.

 TULUS SUDARTO

 Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang

 



-- 
@sigun: www.asepiwan.blogspot.com


[Baraya_Sunda] urusan ngaran?

2007-11-08 Terurut Topik Rahman
Semiotika Nama

Kalau Shakespeare pernah bertanya apa(lah) arti sebuah nama, sangat
mungkin saat ini pertanyaan tersebut berulang dalam intensitas
berbeda. Oleh globalisasi, dengan gaya hidup sebagai ujung tombaknya,
zaman sekarang tidaklah begitu memedulikan nama.

Saya sempat terkejut ketika tetangga di seberang desa mencomot nama
Andreas Surya Saputra untuk anak pertamanya. Padahal, ia seorang
Muslim taat. Keterkejutan saya semakin bertambah ketika ada pastor
yang bertugas di Semarang memiliki nama Ibn Fajar Muhammad.

Entahlah, sejak kapan proses ini terjadi. Sekarang tidak ada lagi blok
hitam-putih untuk sebuah nama bahwa nama ini harus mewakili golongan
tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan
satuan primordial tertentu. Suatu nama klise tidak lagi menyokong
garansi kepemilikan dari sebuah kelompok tertentu.

Sebutan romo tak lagi untuk pastor, tetapi juga kiai. Kata tahbisan
tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki.
Sementara kata mesias sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif
menunjuk pribadi tertentu. Seorang penyerang dalam suatu klub
sepakbola dengan sangat mudah mendapat gelar sebagai mesias (lihat
Majalah Bola).

Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal
khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar.
Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas.

Berkaitan dengan proses demikian, nama Andreas termasuk satu dari
sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam
gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang
dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung
tidak bisa serampangan.

Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa.
Entah siapa dahulu yang membonceng dan menunggangi tidaklah jelas
genealogi nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur
masyarakat kita. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan
masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat dipresumsi bisa
mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan
sebagai penyandang status subordinat kultural.

Saya belajar untuk tidak terlalu kaget dengan banalitas masyarakat
dalam memilih nama buat anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang
digerus kecemasan akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi
kata-kata yang membanjir. Sebegitu mudah suatu kata menjadi populer,
segampang itu pula artikulasi sekaligus bobot semiotiknya habis.
Budaya niraksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta
kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara
reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.

Ada teman yang berkomentar, kita ini cabang dari Eropa. Kultur
franchise rasanya tidak berlebihan menjadi ilustrasi budaya kita.
Nyaris tidak ada lagi kebanggaan memiliki nama yang benar-benar
Indonesia. Atau, nama Indonesia sekadar ilusi?

Berarti selama ini saya salah sangka.

TULUS SUDARTO

Rohaniman, Bekerja di Paroki Lampersari, Semarang