Re: [ppiindia] Salahuddin Wahid: Masalah Izin Rumah Ibadah

2005-11-02 Terurut Topik Anti Teokrasi
Warga Bali pada umumnya lebih toleran daripada warga Jatimulya. Seandainya 
mereka mau menggunakan hak politik mereka dengan baik, setiap kampung bisa 
dibentengi dengan awig-awig (perdes adat) yang mengatur jumlah KK non-Hindu 
tidak mencapai angka 40 KK supaya tidak ada alasan untuk mendirikan masjid. 
Namun, lagi-lagi karena kedewasaan beragama warga Bali, mereka memperbolehkan 
warga muslim mendirikan rumah ibadah mereka di kampung yang mayoritas beragama 
Hindu itu. Terpujilah warga Hindu Bali.
 
Noteo



-
 Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.  

[Non-text portions of this message have been removed]





 Yahoo! Groups Sponsor ~-- 
Help tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now.
http://us.click.yahoo.com/T8WM1C/KbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
~- 

***
Berdikusi dg Santun  Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality  Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***
__
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

* To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

* To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to:
http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Re: [ppiindia] Salahuddin Wahid: Masalah Izin Rumah Ibadah

2005-11-02 Terurut Topik Ambon
Kelihatannya FPI lebih hebat dari presiden, makanya mereka tak berani diutak
utik..


- Original Message -
From: Lina Dahlan [EMAIL PROTECTED]
To: ppiindia@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, November 02, 2005 1:55 AM
Subject: [ppiindia] Salahuddin Wahid: Masalah Izin Rumah Ibadah


 Masalah Izin Rumah Ibadah
 (oleh Salahuddin Wahid, Ketua Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan
 Cendekiawan Muslim se-Indonesia / ICMI )
 Republika, Opini, 25 Oktober 2005


 Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat, terjadi banyak penutupan ''rumah
 ibadah''. Yaitu rumah tinggal yang dipergunakan sebagai ''gereja''.
 Tetapi ada juga perusakan terhadap sebuah gereja yang sesungguhnya
 di Semarang, yang tentu punya izin. Tidak heran kalau banyak kecaman
 terhadap aksi tersebut. Gus Dur, karena jengkelnya, mengecam Front
 Pembela Islam (FPI) yang dianggap bertanggung jawab. Dan FPI
 langsung membantah tuduhan itu.

 Untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, saya meminta
 beberapa kawan untuk mengunjungi beberapa lokasi tempat kejadian itu
 di Purwakarta dan Bandung. Fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa
 aksi penutupan itu adalah prakarsa warga setempat yang lalu
 menghubungi Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Yang ditutup itu
 adalah rumah tinggal yang digunakan sebagai gereja tanpa izin.

 Banyak tokoh membuat tulisan atau pernyataan yang menyalahkan aksi
 penutupan itu dan meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri
 tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah di cabut. Gus Dur menyatakan
 bahwa SKB itu ialah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja.
 Yang lain menyatakan bahwa SKB Dua Menteri itu bertentangan dengan
 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E.
 Karena itu harus segera dicabut atau dibatalkan.

 Tampaknya Pemerintah tidak akan mencabut SKB itu tetapi
 menyempurnakannya.Peraturan bersama dua menteri itu antara lain akan
 mengatur semacam forum antar pemuka umat beragama yang akan
 memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam masalah
 pemberian izin rumah ibadah.



 Kasus Jatimulya
 Awal Oktober 2005 saya bertemu dengan Pendeta Anna dari Gereja
 Kristen Indonesia (Gekindo) dan beberapa pendeta lain dari Huria
 Kristen Batak Protestan (HKBP)yang menyampaikan permasalahan yang
 mereka hadapi yaitu aksi penutupan rumah tinggal yang dipergunakan
 untuk gereja, yang terletak di RW 11, Desa Jatimulya, Kecamatan
 Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

 Tanggal 9 Oktober 2005 saya mengutus kawan dari Pergerakan Mahasiswa
 Islam Indonesia (PMII) untuk mencari fakta di tempat kejadian. Kawan
 itu menyaksikan jema'ah gereja melakukan kebaktian di jalan
 dekat gereja yang telah ditutup jalan menuju ke situ, sehingga
 mereka tidak bisa masuk kedalam ''gereja''. Kebaktian itu
 mendapatkan protes dari warga setempat yang merasa terganggu.
 Kejadian semacam itu telah berlangsung sejak 11 September 2005 lalu.

 Apa yang terjadi itu telah menjadi berita di koran Sinar Harapan dan
 Suara Pembaruan dan juga diliput oleh TV. Beberapa tokoh menyatakan
 bahwa tindakan menutup gereja itu melanggar hak umat Kristiani untuk
 beribadah yang bertentangan dengan UUD dan berpotensi menggoyahkan
 sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 Hari Minggu, 23 Oktober 2005 sore, saya meninjau lokasi dan sempat
 berdialog dengan warga di mushalla. Antara lain dengan ketua RW 11
 dan wakilnya serta ketua RT 18. Saya melihat bahwa ''gereja'' itu
 adalah beberapa rumah tinggal kecil di jalan selebar kira-kira lima
 meter. Salah satu rumah tengah dibangun bertingkat. Pembangunan itu
 yang kemudian diketahui oleh warga untuk dijadikan gereja telah
 memicu warga untuk menutup ''gereja'' itu. Di seberang jalan gereja
 itu berdiri sebuah masjid lengkap dengan sekolah Islam. Dari dialog
 itu saya mendapat informasi bahwa permohonan mendirikan gereja telah
 ditolak oleh Pemda dengan alasan mendapatkan penolakan dari warga
 setempat. Menjawab pertanyaan saya, ketua RW 11 menjelaskan di
 Jatimulya ada delapan RW dengan 1.200 keluarga, sekitar 80 kepala
 keluarga (KK) beragama Kristen.

 Saya jelaskan bahwa di Bali, di mana umat Islam menjadi minoritas,
 dibutuhkan minimal 40 keluarga Muslim untuk mendirikan sebuah
 masjid. Ada yang harus menempuh tujuh kilometer untuk menuju masjid.
 Saya bertanya apakah 80 keluarga Kristen itu tidak berhak mendirikan
 gereja di sekitar Jatimulya, bukan di lokasi sekarang yang menurut
 saya memang tidak tepat? Mereka menjawab bahwa tidak jauh dari
 Jatimulya --sekitar satu kilometer, tetapi di desa lain-- ada
 gereja. Juga ada gereja lain di Desa Jatimulya, tetapi sedikit lebih
 jauh. Warga tidak melarang mereka beribadah, tetapi dipersilakan
 untuk beribadah di gereja yang disebutkan di atas. Ketua RW juga
 menjelaskan bahwa umat Kristen yang tinggal di Jatimulya kebanyakan
 tidak ke gereja di situ, dan jema'ah yang ke gereja di situ
 kebanyakan berasal dari luar Jatimulya.

 Masalahnya, di kalangan Kristen terdapat kelompok yang punya gereja
 sendiri-sendiri. Mereka