Kelihatannya FPI lebih hebat dari presiden, makanya mereka tak berani diutak
utik..
- Original Message -
From: Lina Dahlan [EMAIL PROTECTED]
To: ppiindia@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, November 02, 2005 1:55 AM
Subject: [ppiindia] Salahuddin Wahid: Masalah Izin Rumah Ibadah
Masalah Izin Rumah Ibadah
(oleh Salahuddin Wahid, Ketua Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia / ICMI )
Republika, Opini, 25 Oktober 2005
Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat, terjadi banyak penutupan ''rumah
ibadah''. Yaitu rumah tinggal yang dipergunakan sebagai ''gereja''.
Tetapi ada juga perusakan terhadap sebuah gereja yang sesungguhnya
di Semarang, yang tentu punya izin. Tidak heran kalau banyak kecaman
terhadap aksi tersebut. Gus Dur, karena jengkelnya, mengecam Front
Pembela Islam (FPI) yang dianggap bertanggung jawab. Dan FPI
langsung membantah tuduhan itu.
Untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, saya meminta
beberapa kawan untuk mengunjungi beberapa lokasi tempat kejadian itu
di Purwakarta dan Bandung. Fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa
aksi penutupan itu adalah prakarsa warga setempat yang lalu
menghubungi Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Yang ditutup itu
adalah rumah tinggal yang digunakan sebagai gereja tanpa izin.
Banyak tokoh membuat tulisan atau pernyataan yang menyalahkan aksi
penutupan itu dan meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri
tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah di cabut. Gus Dur menyatakan
bahwa SKB itu ialah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja.
Yang lain menyatakan bahwa SKB Dua Menteri itu bertentangan dengan
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E.
Karena itu harus segera dicabut atau dibatalkan.
Tampaknya Pemerintah tidak akan mencabut SKB itu tetapi
menyempurnakannya.Peraturan bersama dua menteri itu antara lain akan
mengatur semacam forum antar pemuka umat beragama yang akan
memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam masalah
pemberian izin rumah ibadah.
Kasus Jatimulya
Awal Oktober 2005 saya bertemu dengan Pendeta Anna dari Gereja
Kristen Indonesia (Gekindo) dan beberapa pendeta lain dari Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP)yang menyampaikan permasalahan yang
mereka hadapi yaitu aksi penutupan rumah tinggal yang dipergunakan
untuk gereja, yang terletak di RW 11, Desa Jatimulya, Kecamatan
Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Tanggal 9 Oktober 2005 saya mengutus kawan dari Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII) untuk mencari fakta di tempat kejadian. Kawan
itu menyaksikan jema'ah gereja melakukan kebaktian di jalan
dekat gereja yang telah ditutup jalan menuju ke situ, sehingga
mereka tidak bisa masuk kedalam ''gereja''. Kebaktian itu
mendapatkan protes dari warga setempat yang merasa terganggu.
Kejadian semacam itu telah berlangsung sejak 11 September 2005 lalu.
Apa yang terjadi itu telah menjadi berita di koran Sinar Harapan dan
Suara Pembaruan dan juga diliput oleh TV. Beberapa tokoh menyatakan
bahwa tindakan menutup gereja itu melanggar hak umat Kristiani untuk
beribadah yang bertentangan dengan UUD dan berpotensi menggoyahkan
sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hari Minggu, 23 Oktober 2005 sore, saya meninjau lokasi dan sempat
berdialog dengan warga di mushalla. Antara lain dengan ketua RW 11
dan wakilnya serta ketua RT 18. Saya melihat bahwa ''gereja'' itu
adalah beberapa rumah tinggal kecil di jalan selebar kira-kira lima
meter. Salah satu rumah tengah dibangun bertingkat. Pembangunan itu
yang kemudian diketahui oleh warga untuk dijadikan gereja telah
memicu warga untuk menutup ''gereja'' itu. Di seberang jalan gereja
itu berdiri sebuah masjid lengkap dengan sekolah Islam. Dari dialog
itu saya mendapat informasi bahwa permohonan mendirikan gereja telah
ditolak oleh Pemda dengan alasan mendapatkan penolakan dari warga
setempat. Menjawab pertanyaan saya, ketua RW 11 menjelaskan di
Jatimulya ada delapan RW dengan 1.200 keluarga, sekitar 80 kepala
keluarga (KK) beragama Kristen.
Saya jelaskan bahwa di Bali, di mana umat Islam menjadi minoritas,
dibutuhkan minimal 40 keluarga Muslim untuk mendirikan sebuah
masjid. Ada yang harus menempuh tujuh kilometer untuk menuju masjid.
Saya bertanya apakah 80 keluarga Kristen itu tidak berhak mendirikan
gereja di sekitar Jatimulya, bukan di lokasi sekarang yang menurut
saya memang tidak tepat? Mereka menjawab bahwa tidak jauh dari
Jatimulya --sekitar satu kilometer, tetapi di desa lain-- ada
gereja. Juga ada gereja lain di Desa Jatimulya, tetapi sedikit lebih
jauh. Warga tidak melarang mereka beribadah, tetapi dipersilakan
untuk beribadah di gereja yang disebutkan di atas. Ketua RW juga
menjelaskan bahwa umat Kristen yang tinggal di Jatimulya kebanyakan
tidak ke gereja di situ, dan jema'ah yang ke gereja di situ
kebanyakan berasal dari luar Jatimulya.
Masalahnya, di kalangan Kristen terdapat kelompok yang punya gereja
sendiri-sendiri. Mereka