Precedence: bulk Sleman, Indonesia 15 Desember 1998 RUILSLAG KERABAT SOEHARTO ATAS TANAH MILITER Oleh L.N. Idayanie Reporter Crash Program SLEMAN --- Ada kesan pihak militer senantiasa tak terkalahkan dalam berbagai persoalan, termasuk berperkara. Kalau, misalnya, kemudian ada pihak militer yang terbukti bersalah -- sehingga harus "kalah" – kerap kali pihak itu dikategorikan sebagai oknum. Tapi, jika kemudian ada pihak Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) di Yogya kemudian terbukti "kalah", itu bukan karena mereka bertindak atas nama oknum, melainkan lantaran mereka berhadapan dengan Notosoewito, kerabat – persisnya adik tiri – Soeharto, bekas presiden, yang selama ini malah senantiasa lebih tinggi "bintang"-nya dibandingkan jenderal berbintang tinggi sekalipun. Salah satu contohnya adalah proses ruislag atau tukar menukar tanah negara dan bangunan milik TNI-AD di Seturan, Condong Catur, Kabupaten Sleman. Lokasi ini sebelumnya digunakan TNI-AD untuk latihan menembak. Sejak 19 Juli 1995, berdasarkan Skep/183/VII/1995, tanah okupasi itu telah berpindah tangan menjadi milik Notosoewito. Terletak sekitar 200 meter di selatan ring road utara Yogya, secara keseluruhan wilayah sekitar lokasi itu memang memiliki prospek cerah. Tiga perguruan tinggi, Universitas Islam Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pegawai Negeri (YKPN), dan UPN Veteran berdiri di sekitar lokasi. Dari pusat kota relatif dekat, karena jaraknya tidak lebih dari sepuluh kilometer. Toh, tanah seluas 4,6 hektare itu hingga kini masih dibiarkan oleh pemiliknya. Melalui CV Petraco Prima yang dikelola oleh Eddy Krestianto, lokasi itu sedang ditawarkan kepada beberapa investor untuk pengembangan kampus dan real estate atau apartemen untuk kalangan menengah ke atas. Dalam proposal penawaran dicantumkan pula harga pembebasan tanah senilai Rp185 ribu per meter persegi, belum termasuk proses lainnya, seperti pejabat pembuat akte tanah (PPAT), analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pajak Badan Pertanahan Nasional/Pajak Pertambahan Nilai (BPN/PPN). Padahal, untuk mendapatkan tanah itu Notosoewito cukup menggantinya dengan lokasi lapangan tembak di pegunungan kapur di Sentolo, Kulon Progo, seluas kurang lebih sepuluh hektare. Luas hektare dua kali lipat sebagai pengganti itu sesuai aturan main, yakni berbanding 2:1 karena tanah negara itu dijadikan tempat usaha. "Kalau bukan karena keluarga Kemusuk, proses tukar menukar tanah negara itu tidak akan semudah itu", ujar Budi Hartono, S.H., dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Sebuah sumber lain mengatakan, Notosoewito dekat dengan banyak orang di kantor-kantor pemerintah, termasuk BPN. Karena itulah ia dapat dengan mudah memperoleh informasi perihal tanah-tanah negara yang hendak di-ruislag. "Mereka sepertinya takut kalau sudah mendengar nama Kemusuk," ujar sumber di Pemerintah Daerah (Pemda) Yogya ini. Kemusuk adalah asal muasal kampung Soeharto. Untuk me-ruislag tanah di Seturan itu, Notosoewito mempercayakan urusannya kepada utusannya, Bambang Waseso, sekaligus yang ditunjuk sebagai direktur PT Dewi Indah Sakti Cabang Yogya. Kisah ruislag tanah itu berawal dari terbitnya surat telegram Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Nomor ST/766/1984, 23 Juni 1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelepasan atau Pelimpahan Tanah dan Bangunan Okupasi TNI-AD. Karena itulah, pada 7 Januari 1994 PT Dewi Indah mengirim surat kepada Panglima Daerah Militer (Pangdam) IV Diponegoro Mayor Jenderal TNI M. Yusuf Kartanegara yang berisi permohonan pelimpahan tanah dan bangunan okupasi TNI-AD di Seturan itu. Permohonan itu mendapat dukungan dari Komandan Resort Militer (Danrem) 072/Pamungkas Kol (Inf) Muryono. Dukungan kedua berasal dari Kazidam IV Diponegoro Kol (CZI) M. Taufik. Tanggal penulisan surat dari Pangdam Diponegoro dan Kazidam itu sama, 28 Juli 1994. Tak hanya sebatas itu. Dukungan berikutnya diperoleh dari Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada 24 Maret 1995 Gubernur menurunkan surat Nomor 593/0689, berisi pernyataan persetujuannya atas rencana pelimpahan tanah dan bangunan okupasi TNI-AD Seturan kepada PT Dewi Indah Sakti. Gubernur juga merestui rencana pemindahannya ke Sentolo. Dua puluh hari setelah rekomendasi Gubenur turun, Pangdam Diponegoro langsung mengajukan izin prinsip pelepasan tanah dan bangunan kepada KSAD. Pada 26 Juni 1995 KSAD memberi izin prinsip pelepasan tanah dan bangunan tersebut, yang ditindaklanjuti dengan Skep/183/VII/1995, 19 Juli 1995, berisi pernyataan bahwa Pangdam melepaskan/melimpahkan tanah dan bangunan okupasi TNI-AD, cq Kodam IV Diponegoro. Dalam surat keputusan (SK/Skep) itu Kartanegara menyisipkan tiga poin catatan. Pertama, SK ditetapkan sejak dikeluarkan setelah terbit surat perintah/telegram kepada Kazidam IV Diponegoro untuk pelaksanaan penyerahannya. Kedua, sejak dikeluarkannya SK itu, segala permasalahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bambang Waseso, Direktur PT Dewi Indah Sakti Yogya. Ketiga, bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam SK, maka akan dilakukan pembetulan sebagaimana mestinya. Bagaimana nasib tempat baru sebagai pengganti tempat latihan menembak itu? Menurut beberapa sumber di Sentolo, tempat itu bisa dibilang tidak pernah lagi digunakan untuk latihan menembak. "Mungkin karena jauh. Lagi pula, lokasinya sulit dijangkau," ujarnya. Sumber lain menyebutkan, beberapa waktu lalu ada semacam "protes kecil" dari Pangdam Diponegoro (belakangan) Mayjen TNI Mardiyanto, bahwa lokasi lapangan tembak yang sekarang ini sulit digunakan karena lokasinya terlalu jauh, sehingga sulit dijangkau. Terbetik kabar pihak Kodam akan meminta kembali tanah dan bangunan di Seturan itu. Rencana itu tak terlaksana, karena Mardiyanto keburu diganti. Tanah negara lainnya yang di-ruislag Notosoewito adalah tanah milik Departeman Kesehatan di Jalan Loji Kecil 1, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Yogya. ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html