Precedence: bulk Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom E-mail: [EMAIL PROTECTED] Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp Xpos, No 31/II/5-11 September 99 ------------------------------ MENGAPA REFERENDUM DIMASALAHKAN? (POLITIK): Di banyak negara, referendum diusulkan untuk menangkan kepentingan status quo. Jika kalah, penguasa bisa menafikan hasilnya. Bagaimana di Timor Timur? Referendum di Timor Timur akhirnya benar-benar dilaksanakan. Lebih dari empat ratus ribu pemilih datang menggunakan hak pilihnya. Lepas dari apakah pihak pro otonomi atau pro kemerdekaan yang menang, jajak pendapat ini boleh dibilang berlangsung cukup sukses. Sudah diperkirakan sebelumnya, bila kelak pihak pro kemerdekaan yang keluar sebagai pemenang, pemerintah Indonesia akan mempersoalkan legitimasi atau keabsahan hasil jajak pendapat ini. Caranya, tak jauh beda dengan apa yang dilakukan partai-partai gurem yang terwakili dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika menolak menandatangani hasil pemilu. Alasannya: penuh kecurangan -meskipun mereka tidak mampu menunjukkan bukti-bukti adanya pelanggaran yang sistematis. Sebaliknya, jika pro otonomi yang menang, pemerintah dengan segera akan menyetujui hasilnya. Berdasarkan penelitian The Economist, pemerintahan sebuah negara (di luar Amerika Serikat dan Swiss), cenderung mau melaksanakan referendum, hanya bila mereka yakin bahwa kemenangan akan berpihak pada kepentingan mereka. Misalnya, jika pemerintah berniat memberlakukan kebijakan tertentu pada masyarakat -dalam hal Timor Timur, adalah tawaran mendapatkan otonomi daerah. Bahkan menurut David Butler dan Austin Ranney yang menulis buku "Referendum Around the World", jajak pendapat bukanlah alat yang paling sering dipakai untuk perubahan radikal. Kenyataannya, referendum lebih banyak digunakan untuk "mendukung status quo" atau untuk 'mensahkan' perubahan yang telah terlebih dahulu disetujui pemerintah. Karena itulah, pemerintah berbagai negara seringkali terlalu yakin, kebijakan yang mereka tawarkan lewat referendum, pasti akan menang. Padahal, yang kebanyakan terjadi justru sebaliknya. Di Australia misalnya, dari 42 usulan untuk mengamandemen konstitusi, 34 di antaranya ditolak oleh pemilih. Sementara di Amerika Serikat, berdasarkan analisis Profesor David Magleby dari Brigham Young University, Utah, 62% dari sekitar 1.732 usulan pemerintah yang diajukan di berbagai negara bagian, antara tahun 1898 hingga 1992, ditolak oleh masyarakat. Di Perancis, pada tahun 1969, Charles de Gaulle yang berupaya memperpanjang masa jabatan kepresidenannya, harus mengundurkan diri, karena kalah dalam referendum. Bagi negara-negara yang kematangan berdemokrasinya sudah cukup tinggi, kekalahan pemerintah tidak terlalu menjadi soal. (Negara-negara yang mau menyelenggarakan referendum, biasanya budaya berdemokrasinya sudah cukup baik). Namun, tentu sulit mengharapkan negara-negara yang belum begitu demokratis bisa mengakui kekalahan. Dalam beberapa kasus, pemilu pertama di negara-negara dunia ketiga, hasilnya tidak diakui -biasanya berakhir dengan kudeta militer. Jadi, tak usah heran bila pihak pro otonomi di Timor Timur kalah, muncul gerakan-gerakan pengacau yang didukung tentara. Janganlah dulu bicara tentang negara-negara berkembang atau dunia ketiga. Sebagian negara maju pun, ada yang enggan menerima kekalahan dalam referendum. Misalnya, pernah terjadi di Swedia. Dalam jajak pendapat tahun 1955, 85% yang memberikan suara menginginkan agar jalur mengemudi kendaraan tetap dipertahankan di sebelah kiri. Namun, 12 tahun kemudian, pemerintah setempat tiba-tiba saja mengubah keputusan itu, tanpa ada referendum yang kedua. Pada tahun 1978, pemerintah Inggris membatalkan rencana membangun parlemen Skotlandia, meskipun kemenangan telah diraih pihak pendukung ide itu. Alasannya, masyarakat Skotlandia yang memilih kurang dari 40%. Masalah presentasi masyarakat yang memberikan suaranya atau turnout voters, dalam berbagai kasus referendum, seringkali memang menjadi kontroversial (meskipun dalam kasus Timor Timur, agak sulit dipermasalahkan mengingat tingginya pemilih yang menggunakan hak pilihnya). Hal ini dimungkinkan terjadi lantaran tak adanya aturan yang seragam tentang penyelenggaraan referendum. Biasanya, cukup digunakan sistem simple majority, khususnya untuk wilayah yang secara geografis relatif kecil. Namun, sistem ini hasilnya sering dianggap kurang legitimate. Itu sebabnya, ada yang menggunakan sistem presentase minimal atau quorum. Sistem apa pun yang digunakan, sebetulnya, sah-sah saja. Asalkan sejak awal, aturannya telah disepakati oleh berbagai pihak yang akan terlibat dalam jajak pendapat. Asalkan adil. Dalam konteks Timor Timur, apa yang dilakukan oleh pihak penyelenggara, dapat dikatakan sudah relatif baik. Meskipun begitu, kebesaran jiwa dari salah satu pihak untuk menerima kekalahan, sama sekali belum teruji. Upaya mendelegitimasi hasil jajak pendapat, tampaknya masih akan terjadi. Jalan memang masih panjang. Kehadiran pihak ketiga yang netral, tetap diperlukan hingga selesainya masa transisi. Kiranya, referendum yang telah mempermudah transisi demokrasi di Spanyol, Yunani, Afrika Selatan dan Brazil serta di berbagai negara lain, juga sukses mendorong demokratisasi -tidak saja di Timor Timur, tapi juga di Indonesia. (*) --------------------------------------------- Berlangganan mailing list XPOS secara teratur Kirimkan alamat e-mail Anda Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda ke: [EMAIL PROTECTED] ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html