Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 31/II/5-11 September 99
------------------------------

BURUH TERLIBAS REFORMASI

(POLITIK): Gerakan Buruh tertutup isunya oleh gegap gempita reformasi.
Selain menghadapi pengusaha dan penguasa, kini buruh bertambah "musuhnya",
yakni partai-partai politik yang melupakan mereka.

Naga-naganya, gelombang reformasi yang pada awalnya juga diujung-tombaki
oleh gerakan buruh justru menenggelamkan gerakan buruh itu sendiri. Media
saat ini lebih suka mengikuti kemana Megawati atau Amien Rais pergi dan
melansir apa saja yang mereka katakan. Pembicaraan publik tidak lagi
berpijak pada situasi riil yang dialami masyarakat, seperti harga-harga yang
melonjak hingga mencekik masyarakat. Hal ini terungkap dari diskusi antar
aktivis gerakan buruh Jakarta, Bogor, dan Bandung (31/8). "Tidak sedikitpun
bahkan satu alinea saja, pidato politik dari Megawati Soekarnoputri yang
bagus itu menyinggung nasib kaum buruh. Padahal jelas PDI-P dan Megawati
berhutang pada kaum buruh yang sebagian di antaranya memilih PDI-P pada saat
pemilu kemarin," ujar Dita Indahsari, aktivis perburuhan yang sempat
mendekam di penjara Tangerang.

Kini gerakan buruh tidak hanya menghadapi dua problem dasar, yakni bagaimana
menghadapi pengusaha dan penguasa. Tetapi, ada satu lagi problem yang tak
kalah sulit menyelesaikannya, yaitu bagaimana menghadapi kekuatan politik
baru seperti partai-partai politik yang ada sekarang ini termasuk partai
yang mengaku berbasis buruh. Gunarto, seorang buruh dari Tangerang malah
sampai pada kesimpulan bahwa partai-partai politik yang ada sekarang ini
bukannya tak punya kepedulian tapi juga menyulitkan kaum buruh. "Isu-isu
tuntutan buruh jadi tenggelam," kata Gunarto yang sudah bekerja sebagai
buruh selama tujuh tahun. Ia mencontohkan bagaimana susahnya perjuangan
buruh Mayora saat menuntut haknya bersamaan dengan waktu kampanye. "Bukannya
partai-partai itu punya perhatian. Mereka malah memanfaatkan buruh yang
waktu itu lagi demo di depan Kantor Depnaker untuk kampanye, membagi-bagikan
poster dan sticker, mending kalau masih bagi-bagi makanan," cerita Gunarto.

Menurut Sutiyono, aktivis Serikat Buruh Jabotabek, gerakan buruh memang
harus merumuskan kembali arah dan strategi gerakannya. Pertemuan para
aktivis yang mengorganisir buruh di berbagai kota itu, menurutnya menjadi
penting untuk terus menerus diadakan dan ditindaklanjuti. Apalagi setelah
kematian Juju Juliah yang sedikit sekali diliput media. Padahal kematian
Juju (simak Xpos No.30/II, minggu kemarin) merupakan bagian dari perjuangan
buruh untuk menuntut hak-haknya. Sutiyono mengisahkan betapa mengenaskan
kematian Juju. Karena kekerasan hati Sudjono Barak Rimba, pemilik PT Rimba
Asritama, yang tidak mau memberi pesangon pada 125 buruh yang akan di PHK,
Juju salah seorang di antara para korban, memilih perjuangan moral dengan
melakukan mogok makan. Tapi rupanya perjuangannya itu tidak melunakkan hati
Sudjono. Pada hari kesepuluh, 17 Agustus 1999 ketika para pejabat tinggi
sedang mengadakan upacara kemerdekaan di Istana Merdeka, Juju meregang nyawa
di kamar kostnya yang sempit dan kumuh. 

Pengusaha yang mempekerjakan buruh saat ini memang berada di atas angin.
Krisis ekonomi membuat lapangan kerja menyempit dan banyak buruh diPHK.
Tampaknya ini sangat mempengaruhi perjuangan kaum buruh. "Dulu kita masih
yakin bahwa dengan melakukan pemogokan, kita bisa menekan pengusaha. Mogok
adalah senjata pamungkas yang jitu. Tapi sekarang tidak lagi. Buruh mogok,
pengusaha bisa menutup pabriknya dan pindah ke daerah atau negara lain,"
ujar Yayan Komara dari Kelompok Buruh Bandung. Menurutnya, fenomena ini
merupakan konsekuensi logis dari kapitalisme internasional. "Kita tahu bahwa
kapitalisme itu selalu mengandung krisis, dan tahun-tahun belakangan ini
janin krisis itu lahir di Indonesia," ungkapnya. Yayan meyakinkan,
"Kapitalisme internasional jadi mudah mengendalikan kita lewat IMF, Bank
Dunia dan sebagainya yang memberi pinjaman-pinjaman memberatkan di masa
depan. Jangankan di masa depan, sekarang saja sudah memberatkan. Wajar kalau
pimpinan-pimpinan partai politik juga mudah didikte oleh kekuatan kapitalis
itu. Siapapun yang berkuasa nanti di Indonesia, ia tak bisa lepas dari jerat
tersebut."

Tapi menurut Dita, menghadapi persoalan yang berat tersebut tidak berarti
gerakan buruh harus menyerah. "Justru karena tantangannya berat, kita harus
berjuang lebih keras. Mengorganisir lebih solid dan meninggalkan banyak
perselisihan yang tidak perlu di kalangan aktivis buruh," ujar Dita.
Sutiyono bicara lebih mikro, "Dalam setiap gerakan di pabrik, dibutuhkan
kecepatan dan jaringan kerjasama yang luas dengan pihak lain yang mau
membela buruh, seperti wartawan, mahasiswa dan sukarelawan kemanusiaan."

Memang gerakan buruh butuh lebih banyak tenaga untuk menggolkan tuntutannya.
Bukan sekadar tuntutan ekonomi seperti kenaikan upah, tetapi juga tuntutan
politik untuk menyuarakan aspirasi mereka dalam wacana politik yang lebih
luas seperti di parlemen, partai politik dan media massa. Seperti kata Dita,
"Kita tidak bisa memisahkan tuntutan ekonomi dan politik karena keduanya
sangat dialektis dan saling mempengaruhi." (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke