Precedence: bulk STRATEGI BUMI HANGUS UNTUK GAGALKAN PENYELESAIAN MASALAH TIMOR LOROSAE PENGANTAR Pengumuman hasil jajak pendapat disusul dengan meningkatnya tindak kekerasan dan aksi kekerasan. Hubungan yang dulu nampak samar antara milisi pro-integrasi, TNI dan Polri sekarang tampak terbuka. Di jalan-jalan kota Dili tampak para milisi pro-integrasi bersama anggota TNI dan Polri berkeliaran di jalan-jalan, melepaskan tembakan ke segala arah, membakar rumah dan bangunan lainnya, serta menjarah isinya. Semua orang yang dituduh mendukung kemerdekaan, termasuk anak-anak berusia belasan tahun, menjadi korban keganasan mereka. Seorang anak yang usianya sekitar 12 tahun tewas ditikam hanya karena gagap ketika menjawab bentakan dari milisi pro-integrasi. Tubuhnya disayat-sayat dan potongan tubuhnya dicampakkan di jalan. Anggota TNI dan Polri hanya menonton adegan yang mengerikan, dan tidak mengambil tindakan apa pun. Justru sebaliknya, di beberapa kampung anggota TNI dan Polri yang melakukan pembunuhan dan menjarah rumah-rumah penduduk. Dari kabupaten lain diterima laporan-laporan serupa. Menurut Komite untuk Jajak Pendapat Yayasan HAK (KUJP-YH), inilah janji pemerintah Indonesia dan milisi pro-integrasi untuk menghancurkan dan membumihanguskan Timor Lorosae seandainya otonomi ditolak. Ancaman itu sudah dilontarkan sebulan sebelumnya oleh para pejabat Indonesia dan tokoh pro-integrasi, dan sekarang menjadi kenyataan. Milisi pro-integrasi, TNI dan Polri membabi buta, membunuh dan menjarah di mana-mana. Ribuan orang dipaksa keluar dari kota-kota ke daerah pegunungan atau melintas perbatasan, menuju wilayah Indonesia. Mereka yang lari ke daerah pegunungan terancam kehidupannya karena persediaan makanan, air dan sanitasi yang sangat terbatas, sementara para "pengungsi" ke daerah NTT menjadi sasaran keganasan milisi pro-integrasi, TNI dan Polri. Ratusan orang dikabarkan mati dalam perjalanan menuju NTT. KUJP-YH yang selama ini memberikan laporan tentang perkembangan situasi selama jajak pendapat, pada tanggal 5 September lalu menjadi sasaran kebrutalan milisi pro-integrasi yang didukung oleh TNI dan Polri. Akibatnya sebagian staf terpaksa mengungsi ke beberapa wilayah yang masih dianggap aman di Timor Lorosae. KUJP-YH bertekad untuk terus bertahan di Timor Lorosae dan terus melaporkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap proses jajak pendapat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. BUKAN PERANG SAUDARA Selama ini pemerintah Indonesia selalu berusaha menggambarkan kekerasan di Timor Lorosae sebagai 'perang saudara' antara rakyat yang menerima dan menolak otonomi. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan, KUJP-YH sudah lama menyangkal anggapan yang juga didukung oleh media massa Indonesia ini. Tapi rangkaian kejadian setelah pemungutan suara membuat pemerintah Indonesia tidak mungkin mengelak lagi bahwa yang terjadi di Timor Lorosae saat ini bukan perang saudara, melainkan pembantaian yang sistematis oleh milisi pro-integrasi, TNI dan Polri terhadap rakyat. Tindak kekerasan oleh milisi pro-integrasi sejak bulan Februari tahun ini adalah upaya provokasi untuk memancing reaksi dari masyarakat, sehingga dapat membenarkan argumen 'perang saudara' tersebut. Sejak bulan Februari milisi pro-integrasi terlibat dalam aksi-aksi kejahatan terhadap kemanusiaan yang jelas mendapat dukungan dari TNI di Timor Lorosae. Kesaksian sejumlah anggota TNI asal Timor Lorosae yang mengundurkan diri setelah situasi makin tak terkendali dalam beberapa hari terakhir membenarkan bahwa pembentukan milisi didukung sepenuhnya oleh TNI sebagai organisasi. Menurut keterangan mereka, TNI dan Polri menyebut gerombolan milisi pro-integrasi 'orang kita', sementara rakyat yang menolak otonomi luas sebagai 'musuh'. KUJP-YH sudah berulangkali mengingatkan tentang keberpihakan TNI dan Polri dalam proses jajak pendapat sehingga tidak dapat dipercaya untuk 'menjaga keamanan' di Timor Lorosae. Peringatan tersebut sekarang menjadi kenyataan dan dunia internasional hanya menjadi penonton pembasmian terhadap rakyat Timor Lorosae. Laporan ini disusun berdasarkan kesaksian dan pemantauan anggota KUJP-YH yang bertahan di Timor Lorosae. STRATEGI BUMI HANGUS PEMERINTAH INDONESIA Apa yang terjadi di Timor Lorosae saat ini adalah penerapan strategi bumi hangus oleh pemerintah Indonesia setelah otonomi ditolak melalui jajak pendapat tanggal 30 Agustus lalu. Strategi ini sebelumnya diungkapkan oleh sejumlah dokumen pemerintah yang diumumkan oleh pers internasional maupun ungkapan lisan para pejabat pemerintah serta tokoh pro-integrasi selama jajak pendapat berlangsung. Setelah pelaksanaan pemungutan suara tanggal 30 Agustus, milisi pro-integrasi mulai meningkatkan aksi-aksi provokasi di seluruh wilayah. Dalam waktu lima hari dilaporkan sekitar 40 penduduk sipil dalam aksi-aksi tersebut, termasuk di dalamnya sejumlah staf lokal UNAMET di Ermera dan Same. Gelombang pembunuhan itu diiringi pembakaran rumah dan penjarahan milik rakyat oleh gerombolan milisi, yang memaksa ribuan orang meninggalkan tempat asalnya. Pengumuman hasil jajak pendapat tanggal 4 September, yang membuktikan bahwa 78,5% rakyat Timor Lorosae menolak tawaran otonomi luas dari pemerintah Indonesia, rupanya menjadi picu bagi makin meningkatnya aksi-aksi brutal milisi pro-integrasi. Seperti disebutkan dalam laporan-laporan sebelumnya, aksi-aksi ini dilakukan oleh milisi pro-integrasi dengan dukungan TNI dan Polri. Petugas Polri yang memiliki wewenang untuk menjaga keamanan tidak mengambil tindakan apa pun untuk mencegahnya. Justru sebaliknya, dalam beberapa kasus di kota Dili terlihat anggota TNI dari Batalyon 744 dan 745 di dalam barisan milisi Aitarak dan Besi Merah Putih. Menurut keterangan sejumlah petugas polisi yang ditemui KUJP-YH, keterlibatan anggota TNI inilah yang membuat Polri sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa. Strategi bumi hangus mulai dijalankan dengan kekuatan penuh sejak tanggal 4 September. Puluhan rumah dan gedung lainnya dibakar pada tanggal 5 September, termasuk kantor Keuskupan Dili, sementara tempat dan fasilitas umum dirusak. Ribuan orang mengungsi akibat gelombang kekerasan yang semakin meningkat. Anggota milisi pro-integrasi kemudian menguasai bandara, pelabuhan, terminal bis, dan memasang pos-pos penjagaan di sepanjang jalan darat yang menghubungkan kabupaten satu dengan lainnya. Puluhan orang diculik dalam 'operasi sapu bersih' dan sampai sekarang belum diketahui nasibnya. Penyerangan terhadap warga terus meningkat setelah tanggal 4 September. Sasarannya kali ini adalah para pengungsi (internal displaced persons), termasuk orang tua, perempuan dan anak-anak. Pada tanggal 5 September, ratusan pengungsi yang berlindung di gedung SMA 2, yang terletak di sebelah markas UNAMET di Dili, menjadi korban keganasan milisi pro-integrasi. Sekitar 50 orang dilaporkan tewas dalam kejadian tersebut sementara ratusan lainnya luka-luka. Di kecamatan Dili Timur, puluhan orang juga menjadi korban, termasuk seorang ibu dan anak berusia sembilan tahun yang terperangkap di dalam rumah yang dibakar oleh milisi Aitarak dan Besi Merah Putih. Dari beberapa daerah seperti Ermera dan Suai diterima laporan bahwa milisi pro-integrasi mengamuk dan menyerang tempat-tempat perlindungan pengungsi. Jumlah korban belum dapat dipastikan karena kesulitan komunikasi. Pada tanggal 5 September, milisi pro-integrasi, TNI dan Polri makin meluas. Kantor KUJP-YH dan Yayasan HAK sekitar pukul 21.00 diserang oleh milisi Aitarak. Mereka melepaskan tembakan dari senjata rakitan dan senjata otomatis ke arah gedung tempat berlindung 38 staf Yayasan HAK dan pekerja kemanusiaan lainnya. Tembakan itu disusul dengan perusakan gedung dan pencurian semua kendaraan bermotor. Saksi mata melihat bahwa sejumlah anggota TNI yang kebetulan berada di seberang kantor KUJP-YH hanya menyaksikan serangan itu tanpa mengambil tindakan apa pun. Bahkan terlihat di tengah serangan sejumlah anggota TNI yang mengendarai Toyota Kijang berwarna putih memberikan instruksi kepada anggota Aitarak yang datang menyerang. Penyerangan itu diperkirakan mengakibatkan kerugian sekitar Rp 1 milyar karena seluruh peralatan dan kendaraan kantor habis dijarah oleh milisi setelah seluruh penghuninya dipindahkan secara paksa oleh petugas Brimob dan seorang petugas berpakaian preman. Bukti bahwa rangkaian kekerasan ini adalah pembantaian terhadap rakyat Timor Lorosae secara keseluruhan terbukti dari serangan terhadap Panti Asuhan Seroja tempat 70 anak yatim piatu dirawat pada tanggal 6 September. Sebelumnya KUJP-YH menerima laporan bahwa tempat kediaman Uskup Dili Mgr. Carlos Ximenes Belo dan sejumlah tempat ibadah lainnya dibakar oleh milisi pro-integrasi dan anggota TNI. Ratusan orang yang berlindung di sana menjadi sasaran tindak kekerasan saat berusaha menyelamatkan diri. Jumlah korban juga belum diketahui karena saluran komunikasi yang sangat terbatas. PENYERANGAN TERHADAP UNAMET DAN LEMBAGA INTERNASIONAL LAINNYA Sejak tanggal 30 Agustus situasi di Timor Lorosae semakin memburuk. Sejumlah staf lokal UNAMET dilaporkan dibunuh dan hilang diculik oleh milisi pro-integrasi di Ermera dan Manufahi. Setelah hasil jajak pendapat diumumkan situasi makin tidak terkendali. Seorang polisi sipil asal Amerika Serikat bernama Chandler ditembak oleh milisi pro-integrasi di Liquiça. Korban segera dilarikan ke medical centre UNAMET di Dili. Pada tanggal 5 September milisi Aitarak dan sejumlah anggota TNI terlihat mengacungkan senjata ke markas UNAMET dan mengancam para staf yang masih berlindung di sana. Pada hari yang sama kantor Carter Center, lembaga pemantau jajak pendapat dari Amerika Serikat juga diserang oleh milisi pro-integrasi sehingga stafnya terpaksa mengungsi ke daerah pegunungan. Pada hari itu juga sejumlah staf UNAMET diungsikan ke Darwin. Tapi dalam perjalanan ke bandara Comoro, staf KUJP-YH melihat rombongan UNAMET dikejar oleh sebuah mobil yang dikendarai oleh anggota milisi por-integrasi sambil melepaskan tembakan. Penyerangan terhadap staf dan markas UNAMET tadinya dianggap sebagai reaksi terhadap kekalahan kelompok pro-otonomi dalam jajak pendapat. Sejak pelaksanaan jajak pendapat, kecaman terhadap UNAMET dan penolakan terhadap hasil jajak pendapat terus dilontarkan oleh kelompok pro-otonomi. Tapi dalam pengamatan KUJP-YH masalah 'kecurangan' dalam jajak pendapat ini hanya dijadikan alasan untuk mengusir para petugas UNAMET dari Timor Lorosae sehingga tidak ada lembaga internasional yang menyaksikan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan sampai saat ini. Dugaan ini bertambah kuat karena pada waktu yang kurang lebih bersamaan, milisi pro-integrasi ini juga menyerang para wartawan yang masih bertahan di sana, sampai kemudian diungsikan secara paksa oleh anggota TNI dan Polri. Langkah menyingkirkan saksi ini semakin kuat setelah pemerintah Indonesia mengumumkan situasi darurat militer di Timor Lorosae. NASIB PARA PENGUNGSI Aksi-aksi provokasi selama ini terus memaksa penduduk untuk meninggalkan tempat asalnya. Sebagian memilih berlindung di daerah pegunungan. Kondisi mereka sangat memprihatinkan karena kekurangan air, makanan dan fasilitas kesehatan lainnya. Menurut pengamatan KUJP-YH sampai saat ini tidak ada lembaga yang memperhatikan apalagi mengikuti perkembangan situasi para pengungsi ini. Kesulitan ini masih ditambah dengan ancaman terus-menerus oleh milisi pro-integrasi, TNI dan Polri yang terus mengejar dan berusaha membantai mereka. Pada tanggal 6 September 1999, dilaporkan bahwa sejumlah pengungsi yang berlindung di daerah Dare terpaksa menyingkir karena serangan terus-menerus oleh milisi pro-integrasi. Beberapa saksi mata menceritakan bagaimana rombongan mereka diserang oleh milisi pro-integrasi dan anggota TNI yang menggunakan senjata otomatis. Sesekali terdengar letusan keras dari granat tangan yang dilemparkan oleh milisi pro-integrasi. Para pengungsi yang menyelamatkan diri ke daerah NTT tidak lebih baik nasibnya. Di Atambua, yang sekarang menjadi salah satu basis anggota milisi pro-integrasi dan sejumlah prajurit TNI yang ditarik dari Timor Lorosae, terus terjadi pemeriksaan. Seorang anggota KUJP-YH mengabarkan bahwa beberapa pemuda terlihat diangkut di atas truk dalam keadaan leher dan tangan terikat. Sampai saat ini belum diketahui tujuan memisahkan dari rombongan pengungsi yang lain, tapi banyak penduduk setempat yang menduga bahwa mereka yang diculik itu telah dibunuh di tengah perjalanan. Pembantaian terhadap pengungsi ini terjadi di bawah pengawasan TNI dan Polri yang tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya. Justru sebaliknya, anggota Brimob Kontingen Lorosae secara aktif terlibat dalam seleksi untuk mencegah sejumlah orang meninggalkan Timor Lorosae. Salah satu korban adalah Aniceto Guterres Lopes, Direktur Yayasan HAK, yang dicegah untuk meninggalkan Timor Lorosae setelah kantornya diserbu oleh milisi Aitarak pada tanggal 5 September. Bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi ini juga dipersulit oleh aparat keamanan. Pada tanggal 6 September, beberapa prajurit TNI bahkan menghalangi staf UNAMET yang hendak mengambil perbekalan untuk staf lainnya yang masih tertahan di markas UNAMET di Dili. Bantuan terhadap pengungsi praktis tidak mungkin diberikan, karena di hampir semua jalan dibangun pos-pos pemeriksaan. KUJP-YH pernah menyaksikan sendiri bagaimana bantuan kemanusiaan untuk para pengungsi ini disita oleh milisi pro-integrasi. Serangan terhadap pekerja kemanusiaan ini sudah berulangkali terjadi, termasuk terhadap pihak gereja. PEMBERLAKUAN KEADAAN DARURAT MILITER MEMBUAT SITUASI MAKIN PARAH Dalam keadaan tanpa hukum, di mana orang-orang bersenjata dibiarkan memporak-porandakan seluruh Timor Lorosae, pemerintah Indonesia justru mengambil langkah memberlakukan keadaan darurat militer. Penetapan keadaan darurat militer yang diputuskan melalui keputusan Presiden BJ Habibie ini diharapkan dapat mengatasi situasi kacau-balau yang sekarang terjadi di seluruh wilayah Timor Lorosae. Tapi KUJP-YH berpendapat bahwa penetapan itu justru akan membuat situasi semakin parah, tidak lain karena TNI yang selama ini terlibat dalam aksi-aksi kekerasan, teror dan intimidasi, justru diberi wewenang nyaris tak terbatas. Bagi masyarakat Timor Lorosae pemberlakuan keadaan darurat militer ini adalah 'lampu hijau' bagi TNI untuk melakukan apa saja terhadap rakyat Timor Lorosae. Dalam kenyataan, setelah penetapan keadaan darurat militer tersebut, KUJP-YH terus menerima laporan tentang penculikan dan eksekusi di luar hukum terhadap rakyat Timor Lorosae oleh anggota TNI. Salah satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah keadaan darurat militer memberi wewenang kepada TNI untuk membatasi kebebasan mencari dan menyalurkan informasi. Sampai sekarang sudah ada ratusan wartawan internasional maupun domestik yang dipaksa untuk meninggalkan Timor Lorosae. Menurut laporan terakhir yang dterima KUJP-YH saat ini hanya ada 26 orang jurnalis yang tetap bertahan di Timor Lorosae untuk melaporkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap proses jajak pendapat yang dilakukan pemerintah Indonesia. Para wartawan ini juga bekerja di bawah ancaman yang sangat serius. Tanggal 5 September, puluhan wartawan terpaksa diungsikan ke markas UNAMET, karena tempat-tempat tinggal mereka didatangi oleh milisi pro-integrasi, sementara Polri tidak memberikan perlindungan apa pun terhadap mereka. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Melihat rangkaian kejadian terakhir di Timor Lorosae, KUJP-YH berkesimpulan bahwa pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan milisi pro-integrasi saat ini tengah melancarkan pembantaian terhadap rakyat Timor Lorosae. Pembantaian ini bukanlah 'perang saudara' seperti yang selalu disebut para pejabat pemerintah maupun media massa Indonesia. Pembantaian itu juga bukan merupakan reaksi spontan terhadap hasil jajak pendapat, melainkan upaya sistematis yang sudah disiapkan sebelumnya dan dilakukan dengan pengetahuan pemerintah Indonesia. Keterlibatan anggota TNI dan Polri di dalam aksi pembantaian ini juga tidak terbantah, sekalipun para pejabat terus berupaya membantah kebenaran tersebut. Untuk itu, KUJP-YH melihat bahwa satu-satunya jalan untuk tetap mempertahankan hasil jajak pendapat dan melanjutkan upaya UNAMET untuk menyelesaikan masalah Timor Lorosae secara internasional, damai dan adil adalah dengan mengirim pasukan internasional yang sungguh-sungguh dapat mengatasi masalah keamanan di Timor Lorosae. Tanpa kehadiran pasukan internasional tersebut dapat dipastikan bahwa pembantaian terus berlanjut dan tidak satu pun program UNAMET yang dapat berlangsung dengan baik. Demikian laporan ini dibuat. Timor Lorosae, 8 September 1999 Aniceto Guterres Lopes, SH ---------- SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html