Precedence: bulk


Diterbitkan oleh Komunitas Informasi Terbuka
PO Box 22202 London, SE5 8WU, United Kingdom
E-mail: [EMAIL PROTECTED]
Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp
Xpos, No 33/II/19-25 September 99
------------------------------

RUU DARURAT DITOLAK MASSA

(POLITIK): Aksi massa menggelombang melawan RUU bikinan TNI ini. Inikah awal
babak II melanjutkan babak reformasi Mei 1998?

Lautan massa mulai mengepung Gedung MPR/DPR menolak pembahasan RUU Keamanan
dan Keselamatan Negara yang kini berubah kulit namanya menjadi RUU
Pengendalian Keadaan Bahaya. Dari hari ke hari, jumlahnya kian tambah
banyak. Tapi rupanya militer membentengi gedung parlemen tersebut sehingga
para anggota dewan yang sedang membahas RUU tersebut tidak bisa menyerap
langsung suara masyarakat.

Kamis, 9-9-1999, berbagai kalangan kelompok aksi yang biasanya sulit
dipertemukan, jadi bersatu menghadapi musuh yang sama: militerisme. Aksi
bersama melibatkan semua spektrum dari "kiri" sampai "kanan". Untuk pertama
kalinya di Jakarta, Partai Rakyat Demokratik (PRD) bisa aksi bersama dengan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah secara
damai. Di luar elemen itu, masih banyak kelompok terlibat seperti Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), Masyarakat Profesional untuk Demokrasi (MPD),
Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan lain-lainnya. Yang unik, aksi ini diikuti
secara independen oleh PDI Perjuangan Korcam Tanjung Priok. Mereka
menyertakan anak-anak kecil yang secara demonstratif berorasi persis di
depan polisi dan TNI yang memblokir jalan. Aksi ini berlangsung dengan damai
selama dua jam jalan kaki dan mimbar bebas mulai dari Gedung JDC Slipi
hingga mendekati Gedung Manggala Wana Bhakti di sebelah Gedung MPR.

Berbeda dengan aksi yang datang dari arah barat Gedung MPR, gelombang yang
datang dari arah timur mengalami represi yang cukup keras. Pasukan
demonstran dari timur ini diperkuat oleh mahasiswa Universitas dr Mustopo
Beragama, PMKRI, dan Forum Bersama (Forbes). Semula aksi berlangsung damai.
Arakan massa yang menaiki bus maupun jalan kaki dengan pelahan mendekati
Gedung MPR. Tapi rupanya ada provokator yang melempar batu dari massa ke
jajaran polisi dan militer yang bersiaga. Lemparan itu jadi semacam komando
bagi aparat tersebut untuk membalas dengan pukulan rotan dan mengejar-ngejar
mahasiswa sampai ke kampung-kampung di Pejompongan. Dua mahasiswa terpaksa
dilarikan ke rumah sakit Angkatan Laut Mintohardjo karena luka-luka berat di
kepala. Kedua mahasiswa itu adalah Joshua dari Universitas Nasional dan Irma
dari Universitas Trisakti. Puluhan demonstran yang tercekal polisi langsung
diangkut naik truk dibawa ke Komdak Metro Jaya.

TNI naga-naganya bersikeras untuk menjaga kelangsungan sidang RUU
Penanggulangan Keadaan Bahaya tersebut. Ketika aksi bersama diulang lagi
pada 15 September, militer langsung menggebuk para demonstran dari belakang
ketika massa beranjak pulang. Tercatat 18 orang diciduk ke Polda termasuk
mantan pemimpin redaksi Tempo, Goenawan Mohamad. Sekjen HMI Jakarta Edwin
Partogi luka parah tanpa segera dilarikan ke rumah sakit, rupanya ia sudah
diincar oleh aparat karena memimpin massa (koordinator lapangan). Dalam
kesaksiannya, pasukan PHH yang menghajar dia meneriakkan kata-kata kasar
seperti "Rasain lu, kemarin lu yang bakar mobil gua ya?"

Sehari sebelumnya, dua truk polisi memang dibakar lautan massa mahasiswa
yang marah. Aksi tersebut digelar oleh Forum Kota di depan Universitas
Kristen Indonesia. Terlihat rakyat ikut mendukung mahasiswa dengan melempari
polisi. Secara bergantian tampaknya, berbagai kelompok aksi sepakat untuk
mengisi hari-hari dengan demonstrasi menentang penggodogan RUU yang kini
diberi nama RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Bahkan, beberapa aktivis yang
bertemu dari berbagai kelompok sepakat untuk melawan kekerasan TNI dengan
gerilya kota. Mereka tak akan membiarkan dirinya digebuk seenak perut
tentara, melainkan juga akan membalas dengan pentungan dan bom molotov.

Sementara itu, sidang di parlemen berlangsung begitu tenang dan kini telah
memasuki pembahasan oleh Panitia Khusus (Pansus). Bila tak ada aral, pansus
biasanya menyelesaikan dengan cepat pasal-pasal yang ada dalam RUU tersebut
untuk selanjutnya diratifikasi dengan tanda-tangan Habibie. Tercatat hanya
seorang anggota parlemen dari PDI, YB Wiyanjono yang menolak membahas RUU
tersebut dengan alasan suara dari masyarakat tidak menghendakinya. Beberapa
anggota Dewan yang tidak terkait langsung ada juga yang secara
terang-terangan menolak, seperti Arief Mudatsir dari fraksi Persatuan
Pembangunan.

Yang menarik, gerakan perlawanan juga dilakukan oleh para pimpinan
partai-partai yang meraih suara banyak dalam pemilu. Perlawanan ini terumus
dalam komunike bersama forum sekjen, di antaranya ditanda-tangani oleh
Haryanto Taslam dari PDI Perjuangan, Santoso dari PAN, dan Muhaimin Iskandar
dari PKB. Mereka juga mendatangi pansus yang membahas RUU yang membuka
peluang bagi militerisme ini.

Kini detik-detik yang menentukan segera tiba. Elit politik sedang rapuh dan
tingkat kepercayaan rakyat pada mereka telah mencapai titik nadir. Toh,
pansus jalan terus. Bisa jadi ketidakpedulian itu akan memancing gelombang
massa yang lebih besar. Bisa jadi seperti Mei 1998, semua elemen masyarakat
dengan ujung tombak gerakan mahasiswa mengatakan TIDAK kepada rejim yang
berkuasa. Sekuat apapun rejim itu akan jatuh karena asal kedaulatan memang
pada dasarnya dari rakyat. (*)

---------------------------------------------
Berlangganan mailing list XPOS secara teratur
Kirimkan alamat e-mail Anda
Dan berminat berlangganan hardcopy XPOS
Kirimkan nama dan alamat lengkap Anda
ke: [EMAIL PROTECTED]


----------
SiaR WEBSITE: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/maillist.html

Kirim email ke