Jumat, 7 Desember 2001 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0112/07/daerah/suat25.htm Suatu Saat, Leuweung Sancang dan Leuweung Naga Tinggal Nama
BUKAN hanya sekali ini masyarakat adat Suku Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memprotes penebangan hutan di sekitar daerahnya. Dan bukan hanya sekarang masyarakat Desa Sancang di Kabupaten Garut minta agar perambahan dan pencurian kayu di Cagar Alam Leuweung Sancang ditindak. Namun, desakan itu ibarat angin lalu. Bahkan mitos masyarakat Sunda yang melindungi kedua kawasan tersebut kini sudah porak poranda karena mereka kehilangan jati dirinya. BERJALAN menyusuri Cagar Alam Leuweung Sancang sekarang ini, rasanya tidak lagi berada di tengah hutan yang selama ini dijuluki belantara keangkeran. Dalam cerita pantun, cagar alam yang oleh penduduk setempat sering dijuluki Leuweung Sancang itu penuh dibalut mitos sebagai tempat pertemuan kembali Prabu Siliwangi dengan putranya, Kian Santang, setelah lama mengembara mencari ilmu. Namanya juga mitos. Konon setelah menghindar lalu meninggalkan Keraton Pajajaran di Pakuan, Bogor, secara diam-diam, Prabu Siliwangi dan rombongan melanjutkan perjalanan, menemui kerabatnya Kanjeng Maharaja Dilewa yang berkuasa di Kerajaan Sancang. Namun, ayah dan anak itu kemudian bertemu kembali dalam dua keyakinan yang berbeda. Ayahnya tetap bersikukuh mempertahankan kepercayaannya dengan menganut agama Sunda sedangkan sang anak Kian Santang sedang menjalankan tugas mengislamkan Tanah Jawa. Kompas/her suganda Maka untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dengan anaknya, Prabu Siliwangi kemudian ngahyang, berubah wujud menjadi harimau putih. Pasukan pengiringnya yang setia menjadi harimau berbulu loreng. Itulah sebabnya banyak simbol-simbol di Jawa Barat menggunakan lambang harimau. Leuweung Sancang yang dijadikan tempat persinggahan terakhir Prabu Siliwangi, dipercaya memiliki banyak lokasi yang dikeramatkan dan sering dikunjungi para peziarah. Banyak kisah aneh yang dialami pengunjung, terutama mereka yang suka berbicara seenaknya atau menebang pohon sesukanya. Pengalaman-pengalaman itu acapkali sulit diterima akal sehat. Bahkan sekali waktu, mereka yang bernasib mujur akan melihat sosok bayangan manusia berjubah putih di lepas pantai Cagar Alam Leuweung Sancang. Kata mereka yang mempercayai, itulah jelmaan sosok Prabu Siliwangi yang sedang menikmati keindahan pantai Leuweung Sancang. Percaya atau tidak, terserah. *** MUNGKIN dan sangat boleh jadi tidak banyak yang menyadari, mitos yang menyelimuti Leuweung Sancang yang diwariskan nenek moyang masyarakat Sunda sebenarnya untuk melindungi ekosistem wilayahnya. Sikap yang sama hingga kini masih dipegang teguh oleh masyarakat adat Suku Naga yang menempati wilayah kecil di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dan pada kenyataannya, masyarakat adat di desa tersebut hingga kini mampu mempertahankan kawasan hutannya. Bahkan mereka tetap patuh dengan tidak memasuki kawasan hutan, terutama kawasan hutan yang disebut leuweung larangan. Leuweung dalam bahasa Sunda berarti hutan dan larangan berarti daerah terlarang. Kawasan itu tidak boleh dimasuki sembarang orang, apalagi tanpa seizin kuncen sebagai kepala pemangku adat masyarakat Suku Naga. Akan tetapi, kearifan ekologi yang diwariskan secara turun-temurun itu, kini tidak bisa lagi dipertahankan. Dengar saja keluhan kuncen masyarakat adat Suku Naga, Ateng Jaelani, yang menyatakan sudah berulang kali minta kawasan hutan di wilayahnya tidak ditebangi. "Kami sudah capek mengadu, tapi tidak ada tindak lanjutnya," katanya kecewa. Sebagai ekosistem dari tempat tinggalnya, masyarakat adat di daerah itu khawatir, suatu saat daerahnya akan kekurangan air. "Sejak tahun 1978, pertanian di daerah kami sering gagal karena serangan hama penyakit," katanya. Kawasan hutan yang dirambah, menurut Ateng, terletak di Gunung Raja, daerah di mana terdapat situs dan menjadi salah satu tempat ziarah masyarakat adat Suku Naga. Daerah itu dan daerah lainnya termasuk tanah adat. Namun, karena dianggap tanah telantar, kawasan itu kemudian dijadikan tanah negara. Masyarakat Suku Naga kini hanya menempati wilayah sekitar 10,5 ha, di mana sekitar 1,5 ha di antaranya dijadikan tempat permukiman yang jumlahnya 102 kepala keluarga. BAHWA perambahan sekarang ini sudah membabi-buta dibuktikan dengan perusakan Leuweung Sancang yang dilakukan secara besar-besaran dan terang-terangan. Tidak ada lagi mitos dan tidak ada lagi pantangan, sehingga kawasan yang sebelumnya merupakan taneuh karuhun yang dititipkan nenek moyangnya itu, kini sudah menjadi tanah "harta karun" yang jadi rebutan. Dengan berbekal gergaji mesin (chainsaw), mereka memasuki kawasan yang dulunya penuh dengan pantangan dan larangan. Tanpa belas kasihan, pohon-pohon yang seharusnya dilindungi sebagai kekayaan flora dan sekaligus faunanya itu, habis dibabat. Di atas lahan yang sudah gundul, tanpa mengesankan perasaan bersalah, Aki Adrah yang sudah berusia 80 tahun berusaha menggarap lahannya untuk kemudian ditanami padi huma dan jagung. Di sana-sini terdapat tanaman pepaya sebagai selingan. Mantan anggota Heiho yang mengaku pernah menghadapi tentara Australia pada Perang Dunia II itu termasuk salah seorang perambah di Blok Cijeruk, Cagar Alam Leuweung Sancang. "Lamun teu ngilu, engke moal kabagian," katanya mengemukakan alasan karena takut kehabisan lahan jika tidak ikut-ikutan merambah seperti penduduk lainnya. Memang tidak semua perambah kemudian menggarap lahan hasil rambahannya. Mak Irah membeli dari penggarap sebelumnya Rp 325.000 untuk lahan seluas 200 bata yang kini ditanami padi huma dan jagung. Selain menanami lahannya dengan dua komoditas tersebut, mereka kemudian mendirikan gubuk dan bahkan ada penggarap lainnya yang membuka warung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga praktis, Leuweung Sancang sekarang ini tidak lagi menyeramkan. Tidak ada lagi yang namanya rimba raya keangkeran karena di tengah cagar alam tersebut sudah dimeriahkan suara radio dan televisi. Antenanya menjulang ditopang tiang bambu. Leuweung Sancang sudah hampir dua tahun diobok-obok. Sementara penanggulangannya dirasakan sangat lambat, jika tidak dikatakan hampir tidak banyak artinya. Buktinya ? *** SELAMA dua kali melakukan inspeksi ke kawasan itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Garut Dra Indriana Soemarto dua kali menemukan tumpukan kayu curian yang siap diangkut. Walau dalam kunjungannya yang ketiga kalinya bersama Dadang Sobari dari Subseksi Wilayah Konservasi Sumedang dan Garut tidak menemukan kayu curian, tetapi ia yakin penebangan liar masih terus berlangsung sehingga areal kerusakan terus bertambah. Atoy Kuswanda dari Resort KSDA Pameungpeuk memperkirakan tingkat kerusakan selama dua tahun terakhir ini sudah mencapai hampir sekitar 600 ha. Kawasan yang sebelumnya merupakan hutan primer itu, kini sudah berubah fungsi menjadi lahan pertanian yang digarap oleh 750 orang. Leuweung Sancang yang terkenal angker dengan mitos Prabu Siliwangi sebagai salah seorang Raja Sunda yang terkenal itu, ternyata tidak mempan lagi dijadikan penangkal perambahan yang dilakukan masyarakat. Pohon-pohon langka yang umurnya puluhan tahun habis ditebangi, tanpa rasa risi sedikit pun untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sebagai latar belakang yang sering dikemukakan. Akan tetapi, tindakan itu bukan hanya karena latar belakang ekonomi semata. Dalam pandangan antropolog Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Kusnaka Adimihardja, mereka dilukiskan sebagai cerminan masyarakat yang sudah kehilangan jati dirinya. Sehingga demi kepentingan perut, mereka tidak bisa lagi membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Sistem kapitalisme yang dijadikan etos-etos membangun bangsa selama ini ternyata hanya diambil kulitnya saja, yakni sifat konsumtifnya. Sehingga jalan yang ditempuh adalah, bagaimana meraih keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Jika ditarik ke atas, keadaan ini merupakan refleksi sikap pemerintah juga sebagai bagian dari kesalahan struktural masa lalu yang lebih menekankan kepentingan jangka pendek. Memasuki era reformasi, seharusnya hal ini memperoleh prioritas perbaikan. Tetapi, hal itu tidak banyak terjadi, sehingga akibatnya, sistem tersebut menghancurkan nilai-nilai lokal yang selama ini menjadi bingkai. Di luar Jawa, bingkai lokal itu dirusak oleh apa yang disebut hak pengusahaan hutan (HPH). Di sini, bingkai lokal dirusak oleh sistem aturan yang dikembangkan. Antara lain dalam bentuk perda yang tidak mengakomodasikan nilai-nilai lokal, sehingga nilai-nilai lokal tersebut kehilangan maknanya dalam kehidupan sekarang. Oleh karena itu, ia menekankan perlu segera adanya satu keberanian pemerintah yang didukung segenap aparatnya dalam memulai langkah-langkah yang berani. Tanpa hal itu ia khawatir mengingat masyarakat sekarang sedang berada dalam kebimbangan, karena mereka tidak punya lagi pegangan-pegangan. (Her Suganda) ___________________________________________________________ How much free photo storage do you get? Store your holiday snaps for FREE with Yahoo! Photos http://uk.photos.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/0EHolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Komunitas Urang Sunda --> http://www.Urang-Sunda.or.id Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/urangsunda/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/