Yth. Pak Sabri, 

Soal dana operasional yang "gila-gila"an memang bisa langsung 
dilacak kok di reporting mereka yang terbuka melalui 
http://rand.brr.go.id/RAND, sebuah database yang menggunakan sistem 
web yang disusun oleh UNDP untuk pencatatan berbagai project 
NGO/organisasi yang melakukan rehab rekon di Aceh-Nias. UNDP 
mengunakan sistem serupa untuk pencatatan aliran dana dari donor 
pada negara-negara yang terkena tsunami di Thailand, Srilangka, dan 
juga Maladewa (yang disebut dengan istilah DAD,Development 
Assistance Database), yang kemudian juga digunakan diberbagai negara 
lain yang juga mendapat bantuan dana dari berbagai negara, akibat 
perang, gempa bumi, dll.

Untuk di Aceh dan Nias, database tersebut sistem pencatatannya 
relatif paling detil. Data akan terkuak bila organisasi tersebut 
meng-attach semua rincian kegiataannya di web tersebut. Sebagai 
contoh organisasi AID4 (yang sudah pulang ke Australia), dengan 
alokasi dana project sebesar USA $ 660 ribu (Rp 6 miliar lebih), 
setelah ditelisik lebih detil dalam anggaran mereka, 50%nya lebih 
memang untuk biaya operasional. Ada juga UNOPS yang menggunakan dana 
hampir 1 miliar rupiah hanya untuk pembuatan proposal (total budget 
kegiatan sekitar Rp 90 miliar lebih). Belum lagi yang lain-lain. Ini 
sempat saya pertanyakan ke salah seorang teman di UNDP yang cukup 
lama berkecimpung di dunia "pemberi bantuan di negara berkembang", 
dan jawabannya soal biaya operasional ini sangatlah relatif, dan 
hibah/grant ini memang tidak ada standar bakunya untuk penggunaan 
biaya operasional. Sekali lagi Pak, memang mengejutkan dan membuat 
saya pribadi "terpana", dan soal audit meng-audit, tidak semua 
lembaga tersebut mau di audit oleh lembaga audit independen, sekali 
lagi alih-alih dengan alasan : "mau menyumbang kok malah 
diperiksa?" :(

Ada seorang doktor peneliti dari Srilangka yang sedang melakukan 
riset perbandingan hasil pembangunan (termasuk perbandingan atas 
sistem bantuan donor dan alur dana tersebut), pada negara India, 
Srilangka dan Indonesia. Dalam diskusi singkat dengan beliau ini 
saya juga mendapatkan gambaran serupa, bahwa penggunaan biaya 
operasional dari para lembaga donor memang sangat besar nilainya. 
Beliau memberikan komentar bahwa India adalah salah satu negara yang 
berani menolak secara tegas kehadiran para donor yang dianggap 
nantinya tidak maksimal dalam memberikan bantuan. Tetapi tentu saja 
ketegasan ini juga bisa menimbulkan sikap berbalik dari para negara 
donor, yakni "memusuhi" pemerintah India yang dianggap tidak 
kooperatif :(. Kalau sudah begini bagaimana lagi?? Serba salah 
memang.


Wassalam


Lestari

--- In wanita-muslimah@yahoogroups.com, sir BATS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> lestarin wrote:
> > paku dan palu hehehehehe. Soal dana operasi yang dipotong oleh 
pihak
> > donor, dari data yang saya peroleh, justru rata-rata lebih dari 
30-
> > 45%. Malah ada yang 65% menggunakan dana sumbangan tersebut untuk
> 
> mbak Les,
> tidak mungkin lah 30%-45% atau 60% dipergunakan sebagai biaya 
operasi. 
> Sedangkan world vision yg menggunakan 14% saja sudah kena sodok 
lembaga 
> audit.
> 
> Misal jumlah bantuan yg dikumpulkan usd 100 juta : 7% itu sudah 7 
juta 
> dollar alias 63 milyar rupiah :=))
> 
> Yang bener aja sampeyan.
> 
> -- 
> 
> Registered User :
> Linux # 421968
> Ubuntu # 13604
>


Kirim email ke