sharing opini teman ni seputar premanisme.

salam,
satriyo

===

assalaamu'alaikum wr. wb.

Salah satu hal yang paling menyebalkan di negeri ini adalah 
premanisme.  Bagi saya, merekalah contoh manusia yang paling tidak 
berguna, bahkan kasarnya, mereka hanya berguna kalau sudah lenyap 
dari muka bumi.  Ambillah contoh para preman yang mengutip uang dari 
para supir angkot yang mengambil penumpang `di daerahnya' (siapa 
sebenarnya yang telah memberikan daerah itu pada para preman?).  Apa 
pekerjaan mereka sebenarnya?  Saya yakin nyaris semua penumpang sudah 
tahu mesti naik apa, dan kalaupun belum tahu, mereka bisa tanya sana-
sini tanpa kesulitan.  Kesimpulannya, calo angkot adalah orang yang 
pekerjaannya tidak membantu siapa-siapa, bahkan hanya menyusahkan 
saja.  Faktanya, mereka tetap dapat duit!

Yang menariknya lagi, di samping fakta bahwa keberadaan mereka sama 
sekali tak ada gunanya, namun mereka sendiri merasa sangat bermanfaat 
bagi orang lain.  Agaknya Q.S. Al-Baqarah [2] : 11 tidak hanya 
membicarakan ciri khas orang munafik, melainkan juga preman.  Atau 
barangkali, preman adalah satu dari sekian banyak `kelas' dalam 
golongan orang-orang munafik.  Ayat itu menegaskan : Dan ketika 
dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka 
bumi", mereka berkata, "Sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang 
berbuat saleh!".  Jadi, dalam diri seorang preman (dan secara umumnya 
orang-orang munafik) telah terjadi kekeliruan fatal dalam menilai 
diri.

Yang paling menyakitkan adalah ketika seorang preman berlagak 
pahlawan, padahal dia juga merangkap sebagai penjahatnya.  Contohnya 
ketika seorang preman mendatangi seorang pedagang soto mie, misalnya, 
untuk mengutip `uang keamanan'.  Pedagang soto mie itu selalu jujur 
dan tidak pernah cari masalah, dan keberadaannya tidak merugikan 
siapa pun.

"Yah, sekedar uang keamanan lah, biar bisa aman dagang di sini!"

Orang bodoh pun tahu bahwa sebenarnya di lingkungan itu yang 
mengancam keamanan justru para preman yang mengutip uang keamanan 
tersebut.  Setelah bentrok berdarah antara FBR dan IKB, para pedagang 
justru merasa lega karena tidak perlu menyisihkan uang sepuluh ribu 
rupiah tiap harinya untuk para preman.  Pada momen itu terbukti sudah 
bahwa mereka yang mengutip uang keamanan (dengan berlagak menjadi 
penjaga keamanan) justru merangkap jabatan sebagai pengacau keamanan 
itu sendiri.  Konkritnya, kalau tidak mau bayar, ya tidak aman!  Aman 
dari siapa?  Ya aman dari preman yang minta duit tadi!

Kalau Ahmad Syafii Maarif mencela sebagian Muslim sebagai `preman 
berjubah', maka perlu diingat bahwa di negeri ini juga banyak `preman 
berjas', berdasi, bercelana merk terkenal, berjam tangan dari swiss, 
bersekolah agama, filsafat, atau teologi, bahkan kemudian bersekolah 
di Barat pula.  Mereka ini saya sebut preman karena perilakunya 
ambigu, persis seperti preman di pasar yang suka mengutip uang 
keamanan tadi.

Walaupun beda jenis dan levelnya, namun para penganut paham sekularis-
liberalis benar-benar telah bertindak ambigu dalam menghadapi umat 
Islam.  Di satu sisi memperingatkan umat Islam atas suatu bahaya 
besar, namun di sisi lain ikut serta secara aktif menjerumuskan umat 
dalam bahaya yang sama.  Ironisnya, banyak yang tidak melihat pola 
ini!

Ketika baru-baru ini saya mengobrol dengan salah satu penganut `agama 
baru' ini, saya pun baru menyadari aroma busuk ambiguitasnya.  Di 
satu sisi mereka menginginkan umat Islam yang `lebih dewasa', `lebih 
cerdas', `tidak literalis', `tidak kolot', `tidak ketinggalan jaman', 
dan `tidak terpaku pada tradisi masa lalu'.  Tapi di sisi lain mereka 
sendiri justru terkesan membiarkan, bahkan mendorong perilaku yang 
semacam itu.

Contoh yang saya kemukakan saat itu adalah praktek `penyembahan' Nyi 
Roro Kidul di sekitar Pantai Selatan.  Saya bilang, itu adalah 
kemusyrikan yang nyata, dan jelas-jelas tidak terbukti.  Mitos 
tentang larangan berpakaian hijau di pantai Selatan sudah terbukti 
salah, karena saya sendiri pernah melanggarnya waktu SD dahulu, dan 
sampai hari ini masih sehat-sehat saja.  Demikian pula mitos harus 
begini-begitu di `kamar Nyi Roro Kidul' di Samudra Beach Hotel telah 
saya langgar dengan sukses tanpa menghasilkan efek buruk baik 
permanen maupun temporer pada hidup saya.  Agama melarang saya untuk 
tunduk pada Nyi Roro Kidul (whatever `she' is), demikian pula akal 
sehat.  Lalu apa jawabnya?

"Ya, itu bagian dari keragaman umat."

Luar biasa!  Padahal baru beberapa menit yang lalu dia bicara panjang 
lebar bahwa umat Islam ini harus mengedepankan akal sehat dan 
kejernihan logika.  Baru saja dia ngomong panjang lebar tentang 
betapa tertinggalnya umat Islam secara intelektual, dan 
ditambahkannya pula dengan catatan bahwa umat Islam (terutama di 
Indonesia) lebih suka bermistis-mistis ria daripada hidup di alam 
nyata.  Singkat kata, umat Islam harus mulai menggunakan otaknya, 
bukan sekedar taqlid buta!

Tapi dia sendiri menganggap ke-taqlid­­-an sebagian umat pada ajaran 
nenek moyangnya di pesisir Selatan Pulau Jawa ini sebagai sebuah 
keragaman ; sebuah fenomena variasi ekspresi keislaman umat yang 
wajar-wajar saja dan tidak perlu dikhawatirkan.  Dimanakah logika 
ketika makanan yang seharusnya dibagi kepada mereka yang perutnya 
kosong justru dilarung ke laut untuk dimakan ikan?  Dikemanakan akal 
sehat ketika manusia tunduk pada makhluk lain, dan bukan kepada 
Allah?  Ditinggalkan dimanakah semua pembicaraan tentang 
intelektualitas yang baru saja lalu?

Benar-benar ambigu.  Benar-benar preman.  Jadi, di satu sisi mereka 
membiarkan (bahkan memfasilitasi) tumbuh kembangnya ajaran-ajaran 
jahil dalam tubuh umat Islam, namun pada kesempatan lain mereka ajak 
semua orang untuk mentertawakan kebodohan mereka yang sudah sukses 
dibodohinya itu.  Akhirnya, semua orang diajaknya berbondong-bondong 
meninggalkan Islam dengan alasan Islam itu tidak cerdas, padahal 
mereka sendirilah yang telah membiarkan umat dalam kebodohannya.  
Setiap orang bebas untuk memperbodoh dirinya, karena para premanlah 
yang akan ambil untung.  Wow, benar-benar rencana yang sangat apik!

wassalaamu'alaikum wr. wb.


Kirim email ke