Jurnal Sairara: 
 
 
Kepada Saudara  Taufiq Ismail
 
 
14. HETZE     
  
 

 "Saya ingatkan hadirin bahwa ideologi ini telah menceburkan bangsa dalam dua 
perang saudara yang berdarah-darah. Ideologi ini ternyata lancung keujian, 
gagal total di seluruh dunia tak terbukti mampu memecahkan masalah politik, 
ekonomi, sosial dan budaya tiga perempat abad lamanya. Selama 74 tahun 
(1917-1991) Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan 
membantai 120 juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000).  
 
 
 Ini kalimat-kalimat Saudara Taufiq Ismail pada alinea kelima dalam respons 
bagian pertamanya  dengan data yang beliau pinjam dari Courtois sebagai senjata 
pemungkas, yang di Perancis sudah dijawab dengan  buku tidak kalah tebalnya, 
seperti yang berulang kali pula kusitat. 
 
 
Baik! Sekarang aku ingin memasuki masalah ideologi yang mampu dan tidak lancung 
keujian yang sudah diketengahkah oleh Saudara Taufiq Ismail sebagai argumen.   
 
 
Karena Saudara Taufiq sudah memasuki masalah ini, maka aku tanyakan kepada 
Saudara Taufiq Ismail, ideologi apakah yang beliau anggap sebagai yang  mampu 
dan tidak lancung keujian? Akan sangat baik dan menggembirakan jika Saudara 
Taufiq Ismail bisa menyebutkan satu negara saja, di mana ideologi yang mampu 
dan tidak lancung keujian itu telah diterapkan? 
 
 
Jika Saudara Taufiq Ismail tidak menunjukkan satu contoh saja maka kukira 
Saudara Taufiq Ismail dengan argumen ini hanya memperlihatkan hetze anti 
Marxisme yang di negeri-negeri Barat dipelajari tanpa emosi  sebagai salah satu 
aliran pemikiran berpengaruh.  Dengan kalimat   ini aku ingin mengatakan agar 
kita tidak perlu terlalu apriori terhadap apa saja, sesuai  dengan hasrat 
mencari dan mencari, bertanya dan bertanya tentang "pantai keempat" seperti 
yang dikatakan oleh Chairil Anwar,sesuai dengan perangai Ahasveros yang 
dikutuk-sumpahi Eros. 
 
 
Mungkinkah hetze, yang hakekatnya tidak sesuai dengan pluralisme, tidak sesuai 
dengan prinsip "bhinneka tunggal ika",  bertolak belakang dengan pandangan 
toleran dan dialektis "biar bunga mekar bersama,  seribu aliran bersaing 
suara",  bisa dijadikan dasar untuk menggalang rekonsiliasi apalagi untuk 
mewujudkan "perdamaian total"?   Dilihat dari segi pandangan "cogito ergo sum", 
jika mau dijadikan acuan, maka hetze akan menyangkal eksistensi diri siapa pun 
sebagai manusia.  Di analisa terakhir agaknya hetze adalah sikap, yang entah 
sadar atau tidak sadar, menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan.  Hetze 
tentu saja bertentangan dengan rangkaian nilai republiken dan keindonesiaan, 
serta sulit mendapatkan dasar pembenarannya dari segi epistemologi.   Ataukah 
pandangan dan pemahamanku keliru? Tolong Saudara Taufiq Ismail koreksi , jika 
aku keliru. 
 
 
Saudara Taufiq Ismail mengatakan bahwa "ideologi ini telah menceburkan bangsa 
dalam dua perang saudara".  Katakanlah bahwa "perang saudara" itu memang ada di 
negeri kita. Tapi apakah "perang",  termasuk  "perang saudara"  penyebabnya 
adalah pertama-tama karena  alasan ideologi? Tidak adakah alasan kepentingan 
ekonomi dan  politik  yang melatarbelakangi  tercetusnya suatu perang? Aku 
masih bisa lebih rinci lagi mengenai hal ini dengan mengambil banyak contoh  
dan yang paling dekat padaku adalah kasus kota kecil Kasongan yang sekarang 
menjadi ibukota kabupaten Katingan pada zaman agresi Belanda. 
 
 
Waktu aku berada di kancah Perang Viêt Nam melawan agresi Amerika Serikat, 
jenderal-jenderal Viêt Nam Utara atau pun dari Front Pembebasan Viêt Nam 
Selatan mengatakan kepadaku bahwa kemenangan perang tidak ditentukan oleh 
kecanggihan senjata, tapi lebih banyak dipastikan oleh kebenaran dan keadilan, 
politik dan situasi politik. 
 
 
Bahwa ideologi bukan penyebab perang, aku pun bisa mengambil apa yang 
berlangsung di Tanah Dayak saat kolonialisme Belanda menyiapkan agresi 
penaklukannya terhadap Tanah Dayak.  Untuk menyiapkan agresi kolonialnya , 
pihak Belanda menyebut budaya Dayak sebagai "ragi usang" dan "Dajakers" adalah 
lambang dari segala keburukan serta kejahatan. Menghadapi agresi kebudayaan 
ini,  orang Dayak berhimpun dan melawannya dari bastion budaya Kaharingan. 
Masakre terhadap orang Amerindien dan pendudukan daerah-daerah orang Amerindien 
pada tahun 1492 , menyusul kedatangan Colombus pun, agaknya tidak bermula dari 
perbedaan ideologi. Di Katingan, daerah kelahiranku, orang Dayak Kaharingan, 
Islam atau Kristen, bisa hidup berdampingan secara sangat rukun. Makam mereka 
pun ada di satu tempat yang sama. Keadaan yang bagiku memperlihatkan bahwa 
perbedaan pandangan, ideologi dan agama tidak seniscayanya membuat orang 
bermusuhan. Kapan dan di mana sih, orang berpandangan
 seragam? Orba yang disokong mati-matian oleh Saudara Taufiq Ismail pun tidak 
bisa dan tidak berhasil  memusnahkan keragaman Indonesia melalui konsep 
"Pancasila"nya. 
 
 
Dalam hal ini, aku sungguh-sungguh dan lagi-lagi memerlukan penjelasan dari 
Saudara Taufiq Ismail tentang jalan pikirannya. Argumen Saudara Taufiq Ismail 
yang beripuh terhadap kebhinnekaan belum bisa kupahami. Apalagi jika 
menggunanakan padangan MDH [materialisme dialektika historis], ideologi tidak 
bisa dilepaskan keberadaannya dari faktor sosial-ekonomi. Keadaan sosial 
mempengaruhi dan bahkan menentukan pikiran manusia, termasuk ideologinya. 
Ideologi oleh MDH dimasukkan kedalam kategori bangunan atas 
[super-structure]. Sebagai orang yang sangat paham Marxisme hingga 
memperingatkan orang lain agar awas pada Marxisme untuk tidak menganut, apalagi 
menterapkan Marxisme,  tentu Saudara Taufiq Ismail mengerti yang disebut 
"super-structure" dan "base structure" dengan segala variannya serta saling 
hubungan antara keduanya. Tentu mengerti apa yang disebut "mode of production", 
"productive forces" dan peranannya terhadap  "relation of production".  Dengan
 pengertian-pengertian dasar ini, barangkali Saudara Taufiq Ismail akan bisa 
meninjau kembali pandangannya terhadap pengertian perang dalam konsepsi 
Marxis.  Memahami apa yang oleh orang Marxis disebut kapitalisme dan borjuis 
dengan segala rinciannya.  Aku yakin, sebagai orang yang berani menganjurkan   
dan memperingatkan orang lain: "Awas terhadap Marxisme!",  sudah nglotok 
tentang Marxisme sehingga beliau bisa berbicara tenang memberikan penjelasan 
rinci . Jika tidak, maka ketidakan ini hanya membuktikan hetze beliau semata. 
Hetze,  kukira,  jauh dari sikap ilmiah. Jauh dari rasionalitas, tapi dekat 
pada apriorisme yang diselimuti dengan kain sutera indah mengkilap 
kutipan-kutipan bacaan tidak seimbang. 
 
 
Dari hetze kita tidak bisa mengharapkan apa-apa, kecuali melangkah dari satu 
kekonyolan ke konyolan yang lain. Aku sangat tidak percaya bahwa Saudara Taufiq 
Ismail  menganjurkan kita menempuh jalan kekonyolan walau pun beliau sempat 
mengatakan "Aku Malu Menjadi Indonesia". Jika beliau "Malu Menjadi Indonesia", 
tapi   tentu beliau tidak malu menjadi anak manusia yang manusiawi sebagaimana 
terselip dari saran beliau untuk menggalang "perdamaian total". "Malu Menjadi 
Indonesia" apakah bukan suatu pernyataan kekonyolan dan suatu cara mengkritik 
keadaan negeri dan bangsa yang  kurang mengena? Mengapa mesti malu menjadi diri 
sendiri sebagai orang Indonesia. Ektrimitas memang tak obah dari dua sisi pada 
satu mata uang. 
 

 
Jika pemahamanku tentang hetze demikian benar maka rekonsiliasi dan apalagi  
"perdamaian total" tidak lebih  dari semacam jargon, bahkan bisa lebih rendah 
daripada jargon karena ia akan merupakan kamuflase  bagi la pensée unique 
dengan segala dampak negatifnya. 

 
 
Jika juga  pemahamanku benar akan alinea  Saudara Taufiq Ismail di atas itu   
maka aku pun ingin menggunakan cara bicara beliau: Saya ingatkan hadirin bahwa 
ideologi ini, yaitu ideologi Saudara  Taufiq Ismail ini, telah dan sedang 
menceburkan bangsa kita dalam suasana kekerasan dan  yang berdarah-darah. 
Ideologi ini bukan hanya ternyata lancung keujian, gagal total mewujudkan 
rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaan,  apalagi   untuk mampu   
memecahkan masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya sepanjang sejarah modern 
Indonesia.  
 
 
Dengan gaya bicara Saudara Taufiq Ismail  pula, izinkan aku berkata: Awas 
terhadap hetze! 
 
 
Aku masih mau  berbicara tentang alinea kelima respons bagian pertama Saudara 
Taufiq Ismail yang antara lain berkata: "Selama 74 tahun [1917-1991]  
Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 
juta manusia di 76 negara (Courtois: 2000).  
 
 
Dengan menyebut tahun tahun 1917, tahun kelahiran Uni Soviet, agaknya Saudara 
Taufiq Ismail mengabaikan masakre terhadap kaum Komunard di  Le Mur de Fedéré 
Paris pada abad ke-19, setelah terdesak dari puncak Montmartre, pemberontakan 
nasionalistik sekaligus merupakan  pemberontakan proletariat  pertama menurut  
Karl Marx , yang juga telah diramalkan oleh Karl Marx akan gagal. Saudara 
Taufiq Ismail juga agaknya tidak menghitung pembunuhan demi pembunuhan baik 
terhadap kaum Sosial Demokrat dan yang lain-lain sebelum dan sesudah   Uni 
Soviet berdiri oleh kelompok dan penyelenggara  negara yang bukan dari golongan 
kiri dalam artian luas.   
 
 
Kealpaan Saudara Taufiq Ismail ini, kiranya memperlihat bahwa   Saudara Taufiq 
Ismail dalam membaca sejarah telah  memenggal masa silam, hari ini dan esok  
yang oleh Grup Sejarawan Annales dipandang sebagai satu kesatuan, demi mencari 
dasar pembenaran bagi suatu hetze. Dari data ini pun agaknya, nampak adanya 
ankronisme Saudara Taufiq Ismail dalam melihat sejarah karena terpancang pada 
data Courtois yang dipandangnya sebagai satu-satunya  kebenaran mutlak dan 
tidak memberikan ruang padan bagi kebenaran pihak lain, termasuk  para 
pengkritik Courtois.  
 
 
Dengan menyebut  tahun 1991,  agaknya  Saudara Taufiq Ismail ingin 
menggaris-bawahi  betapa dalam    "Selama 74 tahun [1917-1991]   
Marxisme-Leninisme terbukti buas-ganas-barbar-haus darah, dan membantai 120 
juta manusia di 76 negara ". Tanpa usah mempersalahkan soal angka dan kurun 
waktu ini,  aku khawatir, apakah cara pandang begini tidak berat sebelah. Akan  
lebih imbang jika Saudara Taufiq Ismail mengambil perbandingan mengenai masakre 
yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang non Marxis dan usia mereka lebih 
dari 74 tahun,  misalnya, seperti yang dilakukan oleh pengkritik Courtois .  
Dengan demikian penjelasan Saudara Taufiq Ismail tidak nampak emosional dan 
mengandung hetze.  Barangkali. Melalui cara ini pula, barangkali, kita diajak 
oleh Saudara Taufiq Ismail untuk berani melihat kenyataan sebagaimana adanya 
kenyataan, mengatakan putih pada yang  putih dan hitam pada yang hitam.  Karena 
dari cara berpikir yang mencoba mencari
 hal positif  dari ajuan Saudara Taufik Ismail, aku mencium keinginan Saudara 
Taufik Ismail untuk mencari jalan terbaik untuk memanusiawikan diri sendiri, 
manusia, kehidupan dan masyarakat. Untuk tujuan ini, kukira masing-masing perlu 
jujur pada diri sendiri, pada kenyataan  dan berimbang dalam melihat masalah. 
Senantiasa mencoba keras mencari kebenaran dari  kenyataan.  Jika pemahamanku  
benar akan niat luhur Saudara Taufiq Ismail mencari jalan terbaik, adil dan 
manusiawi, maka kita bisa berharap bahwa saran beliau untuk terciptanya 
"perdamaian total" itu mungkin terwujud, apalagi jika dilakukan dengan berdiri  
dan berjalan dengan "dua kaki".
 
 
Tapi  apakah Republik dan Indonesia bukannya salah satu alternatif yang 
pelaksanaannya saja masih belum  tuntas? *** 
 
 
Paris, Juni 2008.
-----------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. 
 
 
 
[Bersambung....]


      Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now!
http://sg.toolbar.yahoo.com/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke