Ada banyak koruptor yang rajin bersedekah dan menyantuni anak yatim. 
Ada artis-artis erotis yang membangun masjid dan pesantren. Inilah 
femonema 'membeli surga'


Oleh: Nasrulloh Afandi *
 
Membeli surga? Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini 
banyak kita rasakan dan cukup "ngetrend" di negeri kita. 
Gelombang "simbolis religius" akhir-akhir ini banyak terjadi, 
khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya. Surga 
dan malaikat, seolah-olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan 
mereka.

Meski tak banyak, ada saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika 
pulang kampung. Bersedekah kemana-mana, membantu masjid dan royal 
pada anak yatim. Sebaliknya, di luar rumah, dia justru di kenal 
sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana APBN/APBD.

Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fikih di  
majalah Islam, seseorang pembaca bertanya, "Ustad, sebelum ramai-
ramai istilah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), saya bergelimang 
uang haram. Bisakah dosa saja terhapus bila kami sumbangkan pada 
yayasan Yatim Piatu?' 

Ini adalah fenomena nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak 
sopan di kala Ramadhan. Seorang penyanyi erotis, bahkan berjanji 
mengenakan jilbab bila di panggung selama puasa. Artis-artis lain 
juga beramai-ramai bersedekah. Meski selesai Ramadhan, kegiatannya 
mengundang syahwat kembali lebih `gila' dari bulan puasa.

Uang, seolah bisa "menyuap malaikat Rokib", malaikan pencatat amal 
ibadah. Inilah adalah fenomena "pragmatisme ibadah", yang dilematis 
bagi Muslimin. 
 
Makelar Surga
Para artis dan para koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup 
memproklamirkan diri katanya "cinta agama", mayoritas –meski tidak 
untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka adalah para "makelar surga" 
paling berpengaruh. Di depan publik, ia mempromosikan, bahwa surga 
adalah "komoditas" yang bisa diraih dengan bermodal materi.
 
Kalaulah hal itu dianggap ibadah sampingan, tentu tidak masalah. 
Ironisnya mengesampingkan esensialitas ibadah kepada Allah SWT. 
Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas dosa-
dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi 
eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.
 
Kroposnya akar-akar Islam "di lapangan Ibadah", baik vertical (kepada 
Allah) maupun horizontal (sesama ummat beragama), adalah resiko 
dominan dari "komoditas surga".
 
Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam 
konteks ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya 
lagi, sering tanpa memperdulikan uang halal atau haram. Lebih 
menggelikan, ada yang berceletuk , 'Berbuat demikian itu lebih baik, 
daripada tidak sama sekali '.
 
Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit rakyat atau 
artis, tak terkecuali artis bintang porno, yang mempublikasikan diri 
melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi "santri" 
dan sopan. Bergagah-gagahan berebut membangun masjid-masjid dan 
menyantuni para yatim piatu dengan mengundang wartawan.
 
Seolah-olah mereka adalah 'teladan beribadah" bagi segenap Muslimin. 
Ia hanya ingin menunjukkan pada public, sesungguhnya, surga masih 
bisa dibeli. Fenomena tak menarik seperti ini jelas jauh dari 
autentisitas ibadah secara syar'i.
 
Hak surga dan neraka adalah prerogatif  Allah SWT sebagamana surat 
yang berbunyi, "Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-
Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah 
kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala 
sesuatu.' (QS 5:18).
 
Tapi merupakan kesalahan fatal, bila ada manusia  
bermaksud 'mengaveling surga', hanya dengan mengandalkan seonggok 
harta. Apalagi, I'tikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah 
kebiasaan buruk sehari-hari.
 
Islam adalah agama yang tak bisa dipraktekkan seenaknya. Ada syarat 
dan rukun dalam ibadah. Dan itu tidaklah berdasarkan karangan akal-
akalan. 
 
Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha ahlissunnah 
waljama'ah (Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam Syafi'i) 
ada kesepakatan, bahwa generalitas dalam beribadah selain ada rukun 
yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus 
memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.
 
Selain ada syarat diwajibankannya (beribadah), utamanya harus 
memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi syah.
 
Beragama jelas ada prosedurnya. Bolehkah membangun pesantren dengan 
uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media massa ? Misalnya 
hasil dari goyang erotis?  Jelas tidak. Beribadah jelas ada 
ketentuannya. Misalnya, Meski sama-sama air, tidak boleh mencuci 
lantai masjid dengan air kencing. Ini sama halnya menyantuni anak 
yatim dengan uang hasil korupsi. 
 
Dalam Qawa'id al-Fiqh, dikenal "al-Ashlu baqou ma kana a'la makana" 
(hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, 
uang haram dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum 
menyalurkan duit (haram) itu.
 
Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan harta haram, 
dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan  
menafikan syarat (ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.
 
Sebuah hadis mengatakan, "Dan memang, harta itu, hisabnya 
(pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal; dari mana (dengan 
cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan." (HR. at-Tirmidzi 
dari Abu Barzah R.A.).
 
Karena itu, Nabi pernah menghancurkan masjid dhirar karena karena 
dianggap dapat memecah belah umat dan menimbulkan keresahan. Jika 
hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas perbuatan tidak waras. 
Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud?

Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu, 
sebagai argumentasi 'untuk mencari modal' beribadah. Bukankah sangat 
banyak jalan untuk mencari rezeki  sekaligus tanpa mencampakkan 
konstitusi (syariat) Ilahi?
 
Bila beribadah orientasinya masuk surga-menjauhi neraka, otomatis 
signifikan mengikis kualitas orisinilitas ibadah. Perspektif Tauhid 
adalah termasuk  asy-Syirku al-Asghar (bagian dari penyekutuan kepada 
Allah SWT).
 
Efek Samping
Kompfleksnya sistem media informasi, berperan aktif menularkan 
hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke plosok-plosok. 
Kini di daerah-daerah pun telah 'ngetrend' terjangkit virus 'Menyuap 
Malaikat-Membeli Surga'. Berujung semakin terpinggirkannya 
implementasi kualitas ibadah.
 
Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan 
masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki shalat berjamaah ke 
masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah) gemar menyumbangkan duit 
untuk acara-acara pengajian/majlis ta'lim, namun enggan mengikuti 
pengajian di majlis yang didonasinya itu.
 
Inilah, kaum hedonis (pemuja harta) yang gede rasa (GR) bisa "membeli 
surga". Prinsipnya, "Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan 
harta, termasuk cara (haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta 
itu, akan mampu `menyuap malaikat sekaligus membeli surga!' ." 

Allah berfirman, "Akan datang suatu hari, yaitu pada hari di mana 
tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang 
menghadap Allah dengan hati yang bersih.' (QS. Asy-Syu'araa': 88-89)
 
Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi laranganNya sesuai 
orisinilitas syariat itulah sesungguhnya esensi dari kehidupan 
manusia dan beribadah. Karenanya, bagi mereka yang merasa 
bisa 'menyuap malaikat dan membeli surga', Anda jangan merasa GR!.  
Wa Allohu A'lamu bi ash-Showab.
 
 
*) Penulis adalah alumnus pesantren Lirboyo Kediri, aktivis muda NU, 
sedang 'mengasingkan diri' di universitas Karaouiyine Maroko


Kirim email ke