AWW.
Terima kasih Pak Joni, Bapak sudah menjelaskan tulisan saya untuk kita
semua. Memang itulah yang saya maksud.

Namun ada satu lagi masalah yang juga cukup serius (walaupun  sangat
obyektif berdasarkan analisa saya saja). Beberapa orang Aceh (kira-kira
belasan orang), yang kebetulan cukup akrab, saya mintai pendapatnya mengenai
operasi militer sekarang, mereka semuanya menyatakan ketidaksetujuannya.
Alasannya karena Jakarta lebih cenderung melindungi aset-aset ekonomi
daripada mempertahankan apa yang disebut jargon "kesatuan". Seandainya Aceh
tidak ada apa-apanya seperti Gunung Kidul misalnya, Jakarta mungkin tidak
"tega-tega" amat.

Kebetulan dalam dua tahun terakhir ini saya juga beberapa kali dinas ke Riau
dan Bontang untuk beberapa hari (jadi pengamatannya sangat dangkal),
saudara-saudara kita di sana juga agak sinis mengomentari kebijakan
pembangunan "Jakarta" atas daerahnya, "sayang kami tidak punya keberanian
seperti orang Aceh", demikian kata mereka. Mereka yang berpendapat seperti
itu (saudara Aceh, Riau atau Bontang/Kaltim) juga memahami Pancasila dan
NKRI, bahkan ada yang mengambil S2 bareng dengan saya dan sebagian besar PNS
pula!!

Kalau memang begitu adanya, nampaknya bukan pendekatan "militer" yang kita
perlukan buat mereka, tapi lebih ke pendekatan "pembagian kue pembangunan"
yang adil.

Tentang hal ini saya yakin para pengambil kebijakan kita juga mengetahuinya,
tapi nampaknya suara yang lebih dominan adalah yang menganjurkan pendekatan
militer. Mudah-mudahan pendekatan tersebut diambil bukan karena "motivasi"
seperti yang pernah diuraikan oleh Pak Joni tempo hari, atau oleh karena
merasa rugi kalau harus "berbagi kue pembangunan".

BTW, dana rehab sekolah-sekolah di Aceh sudah disetujui sebesar Rp 92 M.
Pertanyaannya, angin surga buat siapa? Warga Aceh, atau free rider mafia
proyek??

Wassalam. DZArifin.


----- Original Message -----
From: "Akhmad Bukhari Saleh" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, May 30, 2003 1:45 PM
Subject: [yonsatu] Re: Strategi Anti Perang Gerilya


> > On Mon, 26 May 2003 18:32:45 +0700 DZArifin (D) wrote:
>
> > > Tapi cobalah kita memahami dan memberikan
> > > komentar tentang Aceh ini seandainya kita adalah
> > > orang Aceh, bukan orang Jawa!
> > > Saya kira sudut pandangnya akan lain.
>

>
> > Maksudnya apa ya?  Sudut pandang apa ?
> > Orang Aceh yg non GAM punya persamaan dg kita semua,
> > y.i. warga negara kesatuan republik Indonesia.
> > Sistem nilai yg dianutpun sama, Pancasila.
> > Kita perlu berangkat dari hal-2x yg sama, bukan dari hal-2x
> > yg berbeda krn nggak pernah akan ketemu kalau begitu caranya.
>
> --------------------------------------------------------------------------
--
> --
>
> Mungkin Doedoeng mengatakan begitu, karena berangkat dari analisis Nugroho
> yang berbasiskan ke-ethnik-an:
>
> > > > Saat saya melihat penunjukan Pak Endang Witarsa
> > > > sebagai Pangdam Iskandar Muda, saya langsung
> > > > setuju dengan pemilihan tersebut, berarti TNI sudah
> > > > membaca arah strategi perang GAM dan telah
> > > > menyiapkan operasi jangka panjang yaitu tahunan.
> > > > Mudah-mudahan saya tidak keliru bahwa pak Endang
> > > > pasti dari Jawa Barat..... Jawa Barat indentik dengan
> > > > pasukan Siliwangi. Siliwangi adalah pasukan tempur
> > > > dengan pembinaan teritorial yang terbaik menurut
> > > > perjalanan sejarah TNI.
>
> Jadi sebetulnya di sini mulai munculnya salah persepsi.
> Seolah-olah keunggulan perang wilayah Siliwangi itu adalah karena
Siliwangi
> itu tentaranya Jawa Barat (baca: "tentaranya tatar Sunda").
> Sehingga seolah-olah setiap orang Jawa Barat (baca: "orang Sunda"),
termasuk
> Mayjen. Endang ini (yang kalau dilihat namanya mestinya orang Sunda),
pasti
> jago pembinaan teritorial.
> Sehingga, seolah-olah lagi, Panglima TNI memilih dia jadi Pangdam di
daerah
> operasi melawan gerilya adalah karena dia orang Jawa Barat (baca: "orang
> Sunda").
>
> Ini tentulah salah besar!
> Divisi Siliwangi justru representasi ke-bhineka-tunggal-ika-an yang
> terlengkap dalam profile TNI kita.
> "Isi"-nya Siliwangi, dari panglimanya sampai balok satu-nya, datang dari
> semua suku, ada Abdul Haris Nasution, Alex Kawilarang, Dadang Suprajogi,
> Ibrahim Adjie, Hartono Rekso Dharsono, sampai Iwan Sulanjana.
> Ketika mereka dulu sukses merebut hati rakyat Jawa Barat, dan
memisahkannya
> dari DI-TII, juga bukan issue ke-jawa-barat-an (baca: "issue ke-sunda-an")
> yang diusung (lha wong Kartosuwiryo itu orang jawa...)
>
> Jadi kepakaran perang wilayah tidak ada urusannya sama ke-sunda-an atau
> ke-aceh-an seseorang.
> Si Endang Sunda yang sekarang panglima, tidak menjamin kelebihan atau
> kekurangan kinerja pembinaan wilayahnya dari si Djalil Aceh yang panglima
> sebelumnya.
>
> Persoalannya serdadu yang sedang mengejar-ngejar musuh republik ini di
> Bireun, misalnya, mampukah mereka memisahkan warganegara Indonesia yang
ada
> di sana dari pemberontak separatis itu, dengan keramah-tamahan,
keihklasan,
> senyum, berbicara dalam bahasa setempat, dsb.
> Inilah keunggulan Siliwangi (dulu). To win the heart and mind of the
people.
> Tidak dengan membentak-bentak: "Ke mana larinya si GAM tadi itu!!!?", lalu
> kalau penduduk yang ketakutan tergagap-gagap tidak bisa segera menjawab,
> lantas langsung saja: "Buk!!" tangan menggampar atau popor menggebuk...
>
>
> Wasalam.



--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke