Hello Gang, FYI!
Salam hangat,
Hermansyah XIV.

----- Forwarded by hermansyah/Tjipdo1 on 09/05/2003 10:59 -----


"Benyamin Ruslan Naba" <[EMAIL PROTECTED]>
09/03/2003 23:05

 
        To:     [EMAIL PROTECTED]
        cc: 
        Subject:        [kanisius_alumni] Tulisan Pater Drost


Tetap tajam dan jitu. Begitulah tulisan Pater Drost selama ini, 
termasuk yang satu ini......

Salam,
Benyamin Ruslan Naba (CC 83)
----------------------------
(Suara Pembaruan - 27 Agustus 2003)

Sekolah Sulit Menyosialkan Pelajarnya

J Drost, SJ 

Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membantu anak menjadi orang 
dewasa mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Itulah sosialisasi! 

Semua manusia muda, sampai di pelosok pun, telah atau mulai mengalami 
modernisasi dan menikmatinya. Kata dasar modernisasi adalah kata 
Latin modus, artinya: cara. Kemudian timbul kata Prancis mode, yaitu 
cara khusus mengenai berpakaian, berdandan, memangkas rambut, berhias 
sampai bergagasan. Lantas orang yang mengikuti cara, mode, itu 
dikatakan modern. Usaha penyesuaian itu disebut modernisasi. Yang 
kemudian artinya diterapkan kepada setiap ikhtiar guna membedakan 
diri dari cara yang sudah lewat. Usaha modernisasi ini dapat 
bermotifkan keinginan menyesuaikan diri dengan apa yang sekarang 
berlaku atau bermotifkan kesadaran akan keharusan meninggalkan yang 
sudah usang demi perbaikan hidup. 

Sikap yang mendasari keinginan menyesuaikan diri dengan yang sekarang 
berlaku sebetulnya bukan modernisasi, melainkan konformisme. Dalam 
modernisasi sejati ada pendapat pribadi mengenai yang baru itu, 
sedang dalam konformisme hanya sikap ikut-ikutan saja. Gaya 
konformisme sangat kuat di antara kaum muda. Mereka baru meraih 
identitas diri yang masih lemah, maka dibutuhkan pengukuhan atas 
identitas tersebut. Yang amat diperlukan adalah diterimanya oleh 
kelompok baya, peer group, yang dianggap paling modern. 


Apakah sebetulnya kelompok tersebut modern atau kolot pandangan 
hidupnya, bukan hal penting. Yang dicari adalah pengukuhan dan 
penggalangan lewat diterima oleh kelompok baya. Kelompok itu akan 
menuntut penyesuaian mutlak guna mempertahankan identitas kelompok. 
Jadi, pengukuhan demi menopang identitas diri yang masih lemah itu 
diperoleh lewat konformisme. Kalau kelompoknya sungguh-sungguh 
mendukung modernisasi, ia akan ikut. Namun, bila mereka bernostalgia 
akan hidup primitif, suatu mode baru, ia pun akan suka hidup 
primitif. 

Berbahaya 

Konformisme inilah yang berbahaya, karena mematikan identitas diri. 
Selama pada masa perkembangan hanya ikut-ikutan saja, orang muda akan 
menjadi orang dewasa yang tidak dapat bertanggung jawab, tidak 
berinisiatif, dan pembeo belaka. Kegotongroyongan dan mental pasrah 
terserah nasib, yang mudah terhanyut dalam arus masyarakat, sangatlah 
kuat. Orang yang mengungkapkan kepribadiannya yang khas sangat mudah 
dicap individualis, sombong, ingin menonjol, dan sebagainya. 

Masyarakat kita adalah masyarakat yang suka pada pakaian seragam, 
satu bahasa, satu gerak dan sebagainya; penuh dengan orang yang suka 
ikut-ikutan, dan berkecenderungan latah ikut mode macam-macam tanpa 
berpikir, apa perlu atau tidak, baik atau tidak. Lebih suka hanyut 
dalam arus daripada ribut-ribut, walaupun jelas arus itu keliru. 
Jarang ditemukan orang yang benar-benar berkepribadian, dan yang 
berani menanggung risiko untuk teguh mampu bersikap lain dari sikap 
kebanyakan orang yang memang kaprah tersebar luas, tetapi salah. 
Seolah-olah kita berpendirian "lebih aman hancur bersama-sama orang 
banyak daripada benar lagi selamat tetapi sendirian". 

Yang sekarang amat memprihatinkan adalah bahwa konformisme itu, yang 
menjadikan mereka orang yang dikolektivisasi, tidak diatasi oleh 
pendidikan yang mendewasakan, akan tetapi justru terus-menerus 
diperkuat oleh pendidikan yang ciri khasnya seragam. Sistem 
pendidikan maupun pembelajaran kita mendukung kolektivisasi, dengan 
demikian justru mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi penurut.

Proses ini sudah dimulai pada saat manusia lepas dari keadaan yang 
diciptakan Tuhan, yaitu keluarga. Mulai TK sampai dengan SMU dan SMK, 
segala-galanya harus seragam. Pakaian, sepatu, peci, rambut, semua 
uniform ialah bentuk yang sama. Seragam. Di perguruan tinggi tidak 
ada pakaian seragam. Namun, kurikulum, sistem ujian, matakuliah-
matakuliah efektif, praktikum, semua seragam dan sama. Keseragaman 
berpikir. Kreatif? Mustahil. Menjadi pegawai negeri, pakaian seragam; 
dan di kantor-kantor terdapat buku pedoman, buku petunjuk 
pelaksanaan, agar tidak ada ruang berpikir bebas dan hanya boleh 
mengikuti pikiran yang berkuasa. Terjadi kolektivisasi secara mutlak. 
Apakah ini orang yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat modern? 
Jelas bukan! 

Pembangun masyarakat modern adalah mereka yang tahu akan dan menerima 
baik keunggulan maupun kelemahannya. Ia tidak dihinggapi oleh 
kerendahan hati palsu, karena ia sadar akan dan bangga atas 
kepribadiannya yang berharga dan penting juga bagi sesama. Ia 
mempergunakan kemampuannya secara penuh. Ia pantang mundur kendati 
ada kekurangan padanya. Ia menerima dirinya sendiri maupun orang lain 
apa adanya. Ia tidak berkelit menghadapi kenyataan, sebaliknya ia 
berani to face the facts, beradu dada dengan kenyataan. Pendek kata, 
laki-laki dan perempuan yang kompeten, bertanggung jawab dan penuh 
perhatian untuk sesama mereka. Mereka adalah pribadi mandiri dan 
kreatif yang merupakan daya manusia, human resources, untuk 
modernisasi sejati. 

Lagi, yang memprihatinkan adalah bahwa sistem pendidikan dan 
pembelajaran kita, sistem persekolahan kita, mustahil menjadi sumber 
daya manusia itu, hanya bisa menjadi sumber anggota kolektivisme yang 
mustahil berkepribadian dan mustahil kreatif. Bukan karena orang 
Indonesia. Anak-anak Indonesia amat kreatif dan kadar kemandiriannya 
sangat tinggi, karena mereka belum masuk sistem kolektivisasi yang 
disebut sekolah sampai dengan perguruan tinggi. 

Kolektivisasi itu adalah musuh utama dari sosialisasi. Sosialisasi 
adalah usaha menjadikan manusia muda menjadi pribadi dewasa mandiri 
yang kompeten, bertanggung jawab dan memiliki kepedulian sosial 
tinggi. Pribadi itu percaya akan diri sendiri, tidak merasa rendah 
diri, terbuka, dan menerima semua orang lain, walau orang itu berbeda 
pendapat. Sebaliknya, hasil kolektivisasi adalah orang seperti 
anggota kawanan, tidak berkepribadian, selalu bertumpu pada orang 
lain dan pendapatnya. 

Sekolah-sekolah kita mustahil mengadakan sosialisasi. Selain sistem 
persekolahan kita, sikap para pengajar dan pendidik yang masih amat 
feodal, keadaan sekolah-sekolah kita tidak memungkinkan adanya 
sosialisasi. Populasi sekolah merupakan kumpulan orang muda dari SD 
sampai SMU, yang terdiri atas individu-individu yang tidak mempunyai 
tujuan lain selain mengembangkan intelektualitas masing-masing. 
Itulah memang hakikat sebuah sekolah. Hubungan antara individu satu 
dengan individu yang lain terjadi hanya selama beberapa jam di sebuah 
ruangan yang sama. Tidak ada hubungan sedarah sedaging seperti di 
keluarga, juga tidak ada hubungan senasib seperti di sebuah asrama. 
Masuk ruangan itu dari mana-mana dan pergi meninggalkan ruang itu 
kemana-mana. 

Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk sosialisasi. Para pelajar hanya 
tahu nama anak sekelas, yang lain adalah orang asing bagi mereka. 
Kalau dari satu kelas ada yang sungguh-sungguh menjadi teman, itu 
bukan karena sekelas akan tetapi karena tetangga sekompleks, 
seorganisasi, Gereja, Masjid, atau seperkumpulan olahraga. Memaksa 
sosialisasi dengan mewajibkan mengikuti salah satu ekstrakurikuler 
adalah salah besar, karena akibatnya justru kebalikannya, yaitu 
kolektivisasi dan kebencian terhadap ekstrakurikuler. Sosialisasi 
berasal dari kata Latin socius yang berarti teman, rekan, sahabat. 
Masakan persahabatan bisa dipaksakan dan diorganisir? 

Sebab Lain 

Masih ada sebab lain, mengapa sosialisasi tidak mungkin terjadi di 
sekolah-sekolah di Indonesia. Kebanyakan orangtua tidak mendidik anak 
mereka untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak boleh ada anak 
yang lebih daripada anak mereka. Akibatnya pelajar kita pasif, tidak 
berani bertanya di kelas. Itu benar. Sebab kalau seorang pelajar 
bertanya, seluruh kelas mulai berteriak goblok-goblok-goblok atau 
carmuk-carmuk-carmuk (cari muka). Tidak boleh ada anak lain yang 
menonjol. Pelajar-pelajar tidak berani mendapat nilai tinggi, karena 
langsung dicap sombong, egoistis. Saya alami bahwa lima anak menteri 
melarikan diri dari SMU-SMU saya karena diteror oleh pelajar-pelajar 
lain "Kamu diterima karena ayahmu menteri". Mana tahan! Di UI terjadi 
yang sama. 

Itulah pengalaman saya selama 16 tahun di sekolah-sekolah favorit di 
Jakarta. Anak-anak kita amat iri hati. Tidak dapat menerima bahwa di 
sekolah ada pelajar yang lebih pandai dari mereka atau orang tua yang 
lebih tinggi posisinya atau lebih kaya. Tidak ada masalah, selama 
pelajar tidak mengetahui siapa orangtua pelajar-pelajar lain. Itulah 
akibat pola pendidikan tertentu yang tidak menjadikan anak menerima 
diri apa adanya. 

Ada anak sulung yang prestasinya di sekolah 6-6,5. Adiknya amat 
pandai, 9 itu prestasinya. Ibu muncul dan menegur si adik. Jangan 
menonjol, 7 cukup karena nanti kakakmu tersinggung. Kedua anak ini 
hancur. Yang sulung merasa didukung bahwa tidak boleh ada anak yang 
lebih pandai daripada dia. Ia makin iri hati. Adiknya mogok studi. 
Ada hasil malah dimarahi. Bagaimana cara yang baik mendidik kedua 
anak itu? Kepada yang sulung harus diberitahu bahwa Bapak dan Ibu 
puas dengan nilai-nilainya. Tidak perlu lebih, tiap-tiap anak harus 
berprestasi sesuai dengan kemampuannya. Ia harus bangga bahwa 
mempunyai adik yang pandai. Kepada si adik: Belajarlah terus, 
berprestasilah sesuai kepandaianmu. Kami sekeluarga bangga atas nilai-
nilaimu. Kamu boleh bangga, tetapi jangan menganggap remeh mereka 
yang tidak sepandai kamu. Untuk kehidupanmu nanti yang penting tidak 
hanya menjadi orang pandai. Dua anak ini akan menjadi pribadi dewasa 
mandiri. Banyak masalah di sekolah ber-asal dari sikap Ibu yang 
menuntut bahwa semua anaknya harus menjadi pandai, peringkat I, kalau 
perlu memakai guru-guru les. Kepribadian anak yang diperlukan 
demikian akan menjadi amat lemah, tidak mempunyai rasa percaya diri. 
Sosialisasi gagal. 

Sekolah pada umumnya dan keadaan sekolah di Indonesia pada khususnya 
bukan tempat yang baik untuk sosialisasi. Keluarga dan masyarakat 
itulah tempat orang menjadi manusia yang berkepedulian sosial tinggi.

Penulis adalah pemerhati pendidikan.



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~-->
Buy Ink Cartridges or Refill Kits for Your HP, Epson, Canon or Lexmark
Printer at Myinks.com. Free s/h on orders $50 or more to the US & Canada. 
http://www.c1tracking.com/l.asp?cid=5511
http://us.click.yahoo.com/l.m7sD/LIdGAA/qnsNAA/e3qrlB/TM
---------------------------------------------------------------------~->

SELAMAT BERTUGAS DPP PAKKJ 2003-2006 - kunjungi http://www.kanisius.com. 

Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/ 





--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke