Hallo lagi mas Hudaya, 
Senang mendapat tanggapan anda.  Disamping itu, sayapun jadi mengenal 
anda, nggak tahu kalau anda ternyata Ekek XIII, berarti kakak angkatan 
saya.

Melihat subject email anda adalah tanggapan buat saya, tadinya saya mau 
balas langsung ke japri anda, .  Tapi, karena anda menanggapi saya secara 
terbuka, maka saya pikir, saya akan menanggapi juga dulu deh secara 
terbuka.  Nanti kalau ada kebutuhan untuk diskusi lanjut, barangkali dapat 
kita lakukan diantara kita saja, kecuali kalau rekan2 yang lain ingin 
saling bertukar pikiran juga.

Saya coba menanggapi pernyataan2 anda ya mas Hudaya.

>Ah Mas Herman ini.., maaf ......kalau diperhatikan, Mas Herman kok sangat
>"naif"  sekali  tentang agama,dan kelihatannya  memang "cenderung" 
apriori

Oo saya terkesan naif ya.  Yah, barangkali karena saya terlalu 
menyederhanakan masalah ya, dengan mengatakan bahwa kalau sehabis 
melanggar hukum lalu beramal ibadah, maka segala dosa dihapuskan, dst., 
dst.  Saya tahu ini pernyataan yang tidak benar, karena bukan yang begini 
yang diajarkan oleh agama bukan?  Tapi, yang banyak terjadi di negeri kita 
ini kan ya seperti itu?  Kita nggak bisa lagi membedakan mana amal ibadah 
yg murni dan mana yang kotor.  Dan ini sudah berpuluh2 tahun terjadi. 
Melanggar hukum iya, melakukan amal ibadah dan saling nasihat menasihati 
dalam hal keimanan juga iya.  Secara umum kelihatannya kan begitu, persis 
seperti contoh yang rekan Rizal Ahmad tulis:  "...Bagaimana mungkin mereka mencoba 
menulis tentang hukum dan norma 
tetapi sekaligus melanggarnya."

Lantas, apa yang musti kita semua lakukan untuk menyembuhkan penyakit 
'berkepribadian ganda' itu?  Karena Indonesia adalah negara republik yg 
berdasarkan konstitusi, maka saya berkesimpulan bahwa hanya hukumlah yang 
dapat dijadikan sebagai obatnya, disamping karena hukum Tuhan toch 
ternyata nggak mempan juga, padahal gereja, mesjid, candi, kelenteng, 
vihara ada dimana-mana.  Tapi karena sistem hukum kita ternyata 
'carut-marut', segala lubang dan celah dicari-cari agar hukum itu dapat 
terus menerus dilanggar, maka alih alih dapat dijadikan sebagai obat 
mujarab, malah kita membutuhkan orang2 yang punya nyali untuk dapat 
meluruskan pelaksanaan hukum itu.  Ditengah carut marutnya sistem hukum 
itu, kita pada sisi lain, dari hari kehari, semakin dibanjiri oleh 
pelbagai macam siraman rohani.  'Berjalanlah di jalan yang benar, 
sucikanlah hati dan pikiranmu, berbicaralah yang baik2 saja, 
berperilakulah yang baik2 saja, maafkanlah mereka , doakanlah mereka, 
takutlah hanya kepada Tuhan saja, dst., dst".

Yaa, tentu bagus siraman rohani itu.  Tapi, apakah ini dapat memecahkan 
persoalan yang kita hadapi saat ini sebagai bangsa?   Apakah ia dapat 
memecahkan masalah sistem hukum yang carut marut itu?

Karena saya mengeluarkan kata sindirian yang seolah2 memojokkan agama dan 
terkesan naif itu, maka andapun menduga saya apriori terhadap agama. Kalau 
boleh saya jawab, saya nggak pernah apriori terhadap agama, mas Hudaya. 
Tapi, saya memang tidak mudah percaya sama orang2 yang dengan dalih agama 
mencoba mempengaruhi dan/atau mengintimidasi orang lain.  Kita sudah lihat 
sendiri, nggak sedikit orang2 yang berkedok 'ulama' itu ternyata menjilat 
ludahnya sendiri.  Saya bependapat, bahwa agama tidak jelek dan jahat, 
akan tetapi, manusia yang menginterpretasikan dan menyebar luaskan agama 
itulah yang berpotensi membuat agama itu terkesan jelek dan jahat. 
Terhadap segala kesengsaraan yang kita derita itu, manusialah yang 
seringkali menjadi penyebab utamanya, diluar bencana alam.  Manusialah 
yang berpotensi memperbodoh, memperbudak, menipu daya, menyengsarakan dan 
menginjak-injak hak azasi manusia, bukan agama!

Ini ternyata cocok dengan temuan pak ABS yang berbunyi: 'Soal korupsi dan tindakan 
melanggar hukum lainnya, menurut statistik 
tidak ada hubungannya dengan agama. Secara relatif proportional, tingkat 
korupsi makin parah terjadi di negara-negara miskin. Makin miskin sebuah 
negara, relatif makin tinggi tingkat korupsi nya dan tentunya proporsional 
dengan tingkat pelanggaran hukum lainnya'.

Jadi, tingkat kesengsaraan itu tenyata makin tinggi kalau suatu masyarakat 
makin bodoh.  Dan, bodohnya masyarakat itu, menurut saya, karena kebodohan 
masyarakat itu sendiri.  Salah satu kebodohan itu adalah misalnya, mencoba 
memecahkan masalah2 duniawi dengan hanya ayat2 suci.  Dengan mengingatkan 
orang untuk selalu berbuat baik, tidak berbuat kejahatan, selalu bertakwa 
kepada Tuhan, dlsb.  Hanya mengingatkan lho ya, tanpa sangsi.  Tapi, 
dilain pihak anda sendiri mengatakan bahwa: 'Ayat-ayat Tuhan memang tujuannya bukan 
untuk membuat manusia jera kok, 
dia hanya memberi bimbingan hal baik dan buruk dalam kehidupan dunia dan 
bukan untuk di akhirat , anggap sama aja deh dengan UU negara . Kalau 
tidak diikuti? ya nggak apa-apa'. Jadi, memang bukan ayat2 suci yang bisa memecahkan 
masalah kan?  Akan 
tetapi, kita dari hari kehari kita selalu diingatkan dengan ayat2 suci. 
Tanpa konsekuensi hukum negara sedikitpun, sementara kita semua hidup 
sengsara akibat perilaku orang2 yang 'berkepribadian ganda' itu.  Ini kan 
aneh?

Oleh karena itu, saya mengusulkan, nggak usah dulu deh bicara soal agama. 
Sudah cukup.  Ini sudah berabad2 terjadi.  Keyakinan terhadap Tuhan sudah 
menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.  Nggak usah khawatir bangsa 
Indonesia tidak bertuhan dan tidak bisa membedakan mana yang baik mana 
yang buruk.  Lagi pula, masyarakat kita sudah jenuh dengan segala macam 
siraman rohani.  Yang mereka inginkan adalah hidup aman, damai,  sejahtera 
dan berkeadilan.  Itu hanya bisa dicapai, menurut saya, hanya melalui 
langkah2 kongkrit, yang salah satunya adalah terus menerus mengencourage 
kita semua untuk sebanyak mungkin dan dalam tempo yang sesingkat2nya 
menjadi orang2 yang punya nyali untuk melaksanakan hukum secara konsisten 
dan tidak pandang bulu. 

Bahwasanya orang2 yang punya nyali itu adalah 'manusia amanah' seperti 
yang rekan Sodik katakan seperti berikut ini: "Menurut saya, Indonesia bukan hanya 
butuh pemimpin yang bernyali tetapi 
yang utama adalah Indonesia butuh "manusia amanah" apapun tingkat sosial 
dan kedudukannya serta tidak "alergi" atau mengingkari ayat-ayat Allah 
swt...", siapa yang tidak mau.  Idealnya tentu demikian.

Anda selanjutnya mengatakan:  'Peraturan bukan satu-satunya mas Herman, coba mas 
Herman perhatikan, 
kondisi pelanggaran hukum banyak terjadi di negara  yang penduduknya 
miskin dan tingkat pendidikannya masyarakatnya rendah. Yang kaya dan 
pintar akan mengexploitir yang miskin dan bodoh, si kaya dan si pintar 
akan mengendalikan sistem dan hukum sesuai kebutuhannya.'.  Saya setuju peraturan 
bukan satu2nya penyebab.  Pendidikan yang buruk, 
kemiskinan yang dimana-mana, korupsi yang merajalela, dlsb., juga turut 
menjadi penyebab.  Tapi, kalau kita coba telusuri lagi kenapa semua 
kesengsaraan itu dapat terjadi, maka kita akan menemukan jawaban, bahwa 
itu diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang tidak konsisten. 

Hukum yang berinduk ke konstitusi negara itu, kalau kita lihat secara 
lebih umum kan berarti 'kesepakatan'.  Kalau konstitusi adalah kesepakatan 
umum dari rakyat yang mendirikan negara itu, maka hukum adalah 
kesepakatan2 rakyat yang lebih spesifik yang mengatur kehidupan sehari2 
kehidupan bernegara.  Maka kita kenal hukum (UU) mengenai pendidikan, 
kesehatan, kehakiman, kerukunan beragama, ketertiban umum, dlsb., dlsb. 
Lalu, kita sekarang bertanya, buat apa sih hukum itu dibuat?  Ya kan untuk 
mencapai cita2 negara itu seperti yang tertuang didalam Konstitusinya. 
Setahu saya, nggak ada konstitusi yang bertujuan membuat suatu negara 
menjadi negara paling miskin dan paling korup di dunia.  Maka, kalau semua 
kesepakatan yang telah dibuat dipelbagai bidang kehidupan itu kita 
laksanakan dengan konsisten, maka menurut teorinya cita2 konstitusi akan 
tercapai.

Nah, kalau mayoritas masyarakat suatu negara bodoh, hidup miskin, 
sementara korupsi meraja lela, ini mengindikasikan bahwa di negara itu, 
hukum dipelbagai bidang nggak diterapkan dengan konsisten.  Dan hukum yang 
nggak diterapkan itu, bukan hukum Tuhan, karena kita kan melihat juga 
bahwa suatu negara bisa miskin tapi masyarakatnya ternyata taat beragama 
(Iran, Irak, Afganistan, Indonesia, Senegal), yang berarti mereka mematuhi 
hukum Tuhan.  Hukum yang nggak mereka terapkan itu adalah 'janji' dan 
'kesepakatan' mereka sendiri terhadap satu sama lain yang mereka tuliskan 
didalam UU dan peraturan yang mereka buat itu.  Janji dan kesepakatan 
inilah yang dilanggar, sehingga suatu negara akhirnya bisa terperosok 
menjadi negara yang paling miskin didunia.

Menurut saya, satu2nya cara untuk meraih cita2 konstitusi itu adalah 
dengan melatih kita semua untuk 'taat' pada kesepakatan yang telah kita 
buat bersama itu, ya hukum itu.  Rasanya, ketaatan pada hukum itu pasti 
akan semakin tebal, kalau seseorang itu patuh pula pada ajaran2 agamanya. 
Tapi, sayangnya kenyataan menunjukkan bahwa kepatuhan kepada Tuhan, toch 
tidak meningkatkan kepatuhan seseorang pada hukum.  Apalagi kalau kita 
setuju pada pendapat anda yang mengatakan bahwa sifat kedua hukum itu 
berbeda, seperti yang anda tulis: 'UU negara kalau anda bersalah melanggar hukum, 
tertangkap, diadili dan 
kemungkinan dihukum. UU Tuhan cukup "bijaksana" dia tidak akan langsung 
menghukum anda.'  Kalau begini maka patuh pada hukum Tuhan akan memberikan efek kontra 
produktif pada patuh pada hukum negara.  Wong, Tuhan saja 'bijaksana' kok, 
tidak langsung menghukum, ini manusia kok malah berani2nya langsung 
menghukum.  Maka hukum manusia ini pasti salah, sehingga harus dicari 
lubang dan celah untuk dilanggar!

Kalau kita bisa sepakat bahwa hukum negaralah yang hanya bisa dijadikan 
obat untuk mengangkat suatu negara dari jurang kehancuran, maka barulah 
kita bisa menentukan aspek kehidupan yang mana dulu berikut hukumnya yang 
harus dibenahi.  Aspek dan Hukum pendidikankah?, aspek dan hukum 
kehakimankah?, aspek dan hukum kehidupan beragamakah?, dlsb.  Apakah hukum 
seluruh aspek kehidupan bernegara itu dapat dibenahi secara sekuensial 
atau harus secara paralel?

Kalau saya boleh melangkah maju sedikit, dan menyorot aspek kehidupan 
beragama, maka saya ingin mengusulkan, agar hukum (UU) kehidupan beragama 
disempurnakan dengan menambahkan sebuah kesepakatan yang mengatur gelar 
dan fungsi ulama, dimana seseorang boleh disebut sebagai ulama, dan/atau 
bertingkah laku sebagai ulama, kalau ia telah lulus pendidikan ulama dan 
mendapatkan sertifikat ulama dari Majelis Agamanya masing2.  Ulama yang 
memperbodoh, mengagitasi dan mengintimidasi umatnya akan terkena jerat 
hukum.  Penyempurnaan hukum ini menurut saya perlu sekali dilakukan, 
mengingat, seperti saya sebutkan sebelumnya, manusialah yang mengakibatkan 
suatu agama itu terkesan jelek dan jahat, sehingga oleh karena itu, 
penyebaran dan pengajaran agama haruslah dilakukan oleh orang2 yang telah 
memenuhi suatu persyaratan.  Dengan demikian pengajaran dan penyebaran 
keyakinan suatu agama dapat berjalan dengan murni dan tepat, mengikuti 
kaidah2 pendidikan modern, tidak melanggar HAM, yang pada akhirnya hanya 
akan mendukung tercapainya cita2 konstitusi.

Saya amat mengerti bahwa pikiran2 saya ini dapat membuat emosi pada orang2 
yang keyakinan beragamanya merasa terusik.  Untuk itu saya mohon maaf, 
karena saya tak punya niat sedikitpun untuk mengusik keyakinan2 itu, sama 
halnya pula bahwa saya tidak mau orang2 itu memaksakan keyakinan 
keagamaannya itu kepada saya.  Pun, saya sama sekali tidak berkehendak 
untuk menggusur agama seperti yang anda tulis berikut: 'Kalau ada yang tidak beres 
dengan sistem sosial masyarakat, bukan agama 
nya yang mesti digusur, agama nggak salah mas ,barangkali perlu 
ditingkatkan pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan 
konsisten.' Justru, saya sangat mendukung kalimat terakhir anda, yaitu 'perlu 
ditingkatkan pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan 
konsisten.', yang salah satu realisasinya adalah dengan mewajibkan ulama 
bersertifikat itu. 

Senang dapat berkenalan dengan anda, mas Hudaya.
Salam hangat,
HermanSyah XIV.






<[EMAIL PROTECTED]>
02/26/2004 09:11
Please respond to yonsatu

 
        To:     [EMAIL PROTECTED]
        cc: 
        Subject:        [yonsatu] Re: yonsatu Digest V4 #53 & Sorga/Neraka- tanggapan 
buat mas 
Herrmansyah



Ah Mas Herman ini.., maaf ......kalau diperhatikan, Mas Herman kok sangat
"naif"  sekali  tentang agama,dan kelihatannya  memang "cenderung" apriori
.
Mudah-mudahan anda tidak punya pengalaman "traumatik" dengan agama dimasa
kecil atau saat ini.

Tindakan pelanggaran hukum dan pelaksanaan amal ibadah jangan dicampur 
aduk
mas Herman, mungkin mas Herman berpikir tentang konsep pahala dalam amal
ibadah, konsep "impas" dengan adanya pahala dalam amal ibadah dan 
perbuatan
tercela.
 Amal ibadah  dalam agama bukan seperti  transaksi  mas Herman, setelah
melanggar hukum-kemudian melakukan ibadah, terus..... impas? Ulang lagi,
impas lagi? Ah... Mas Herman ini naif sekali.
Pelanggaran hukum dan amal ibadah seseorang dihadapan Tuhan punya
hitungannya sendiri, punya hakim sendiri, bukan disini.

Mas Herman  mengatakan karena mereka mengerti semua itu, mereka
melakukannya dan menjadi pemeluk agama yang saleh.
Dalam islam kita tidak bisa menjustifikasi diri kita sendiri, menjadi 
hakim
yang bisa menilai posisi diri dihadapan Tuhan.
 Seseorang yang beragama islam selama dia masih hidup dia tidak bisa
mengklaim dirinya lebih baik atau shaleh dari yang lain.
Seseorang  yang sejak  usia 5 tahun sudah melakukan amal ibadah secara
rutin, dihadapan Tuhan belum tentu lebih baik dari teman Mas Herman yang
barangkali baru dua tahun melaksanakan ibadah.

Salah satu   konsep pelaksanaan amal ibadah   dalam agama islam,   adalah
karena "cinta",  you do it because you love to do it, and you don't expect
anything  by doing it.
Gampangnya gini, di dunia yang kita cintai siapa, anak/istri/orang
tua/teman, kalau mereka meminta sesuatu, kita akan dengan senang hati
melakukannya  dan tidak  mengharapkan imbalan dari  mereka.
Kalau amal ibadah kita karena cinta, kita tidak akan "berhitung" mas 
Herman
( mudah-mudah ini tidak terlalu absurd buat mas Herman).

Mas Herman pernah lihat ayat-ayat Tuhan dalam  kitab suci, nggak? 
Al-Qur'an
misalnya,
Di Al-Qur'an, dijelaskan, bahwa Mas Herman terbentuk dari setetes mani,
bagaimana bumi terjadi dan berputar dalam orbitnya, dlsb.
Di dalam Al-Qur'an diberikan pengetahuan yang sangat luas kepada manusia
(yang sudah dirangkum 14 abad yang lalu), kalau mas Herman punya Al-Qur'an
coba  jangan hanya dilihat isinya, coba dibaca anggap saja dulu sebagai
pengetahuan umum bagi mas Herman.
Kalau Mas Herman gak punya Al-Qur'an, beli dulu atau pinjam sama teman.
Kalau  tertarik yang sedikit ilmiah, cari "The Bible, Science and Al
Qur'an" oleh Dr. Maurice Bacall

Ayat-ayat Tuhan memang tujuannya bukan untuk membuat manusia jera kok, dia
hanya memberi bimbingan hal baik dan buruk dalam kehidupan dunia dan bukan
untuk di akhirat , anggap sama aja deh dengan UU negara .
Kalau tidak diikuti? ya nggak apa-apa
 And...as a person, you are free to choose ,to be good or bad people.
UU negara kalau anda bersalah melanggar hukum, tertangkap, diadili dan
kemungkinan dihukum. UU Tuhan cukup "bijaksana" dia tidak akan langsung
menghukum anda.
Saya kutip kata Mas Herman dibawah : "Yang akan membuat manusia jera
didunia adalah peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri (dengan 
inspirasi
dari Tuhan(masih butuh , nih?)) yang diterapkan  dengan sungguh dan
konsisten".
Peraturan dibuat oleh siapapun tentu tujuannya pasti baik, tapi seberapa
besar sih kemampuan manusia menerapkan secara konsisten?

Peraturan bukan satu-satunya mas Herman, coba mas Herman perhatikan,
kondisi pelanggaran hukum banyak terjadi di negara  yang penduduknya 
miskin
dan tingkat pendidikannya masyarakatnya rendah.
Yang kaya dan pintar akan mengexploitir yang miskin dan bodoh, si kaya dan
si pintar akan mengendalikan sistem dan hukum sesuai kebutuhannya.
Perhatikan tetangga kita Singapura, Malaysia, atau negara maju,kalau basic
needs masyarakat sudah tercapai, penegakan hukum secara konsisten
sebagaimana harapan mas Herman akan menjadi suatu kebutuhan.
Sabar ya dulu mas.....,

Dan satu lagi mas Herman,  jangan under estimate terhadap agama mas.
Kalau ada yang tidak beres dengan sistem sosial masyarakat, bukan agama 
nya
yang mesti digusur, agama nggak salah mas ,barangkali perlu ditingkatkan
pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan konsisten.

Percaya deh mas Herman, sooner or later agama itu akan menjadi kebutuhan
personal seseorang, kalau mas Herman belum, mungkin nanti..
Pemahaman agama secara mendalam harus mulai  dari diri sendiri, itupun
kalau kita mau.


Salam Kenal
Hudaya
Ekek XIII



 




--[YONSATU - ITB]---------------------------------------------      
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau   
                  <http://news.mahawarman.net>   
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman     
Other Info      : <http://www.mahawarman.net> 
   

Kirim email ke