Wah asyik juga membaca diskusi antara Hudaya (Ekek XIII) dan Hermansyah 
(Ekek XIV) , mengenai pandangan agama dalam kehidupan "nyata" ,khususnya
di Indonesia.

Saya samapai sekarang memang masih bertanya - tanya : Ada apa gerangan
atau apakah ada hubungan(ndak tahu apa linier , hyperbol,kwardat
terbalik . logorithmic atau apapun) antara banyaknya mesjid , gereja ,
wihara , majlis ta'lim , pengajian ibu ibu ,bertambahnya wanita
berjilbab ,  perayaan keagamaan , jumlah jemaah haji yang membludak dst 
dengan tingkat kehancuran republik , tingkat korupsi yang masih tinggi ,
tingkat ketidak percayaan antar warga , tingkat perkelahian antar
kelompok  , tingkat perkelahian antar RT ,tingkat pengangguran dsb.

Apakah ada ?

Nah Mas Hudaya , berangkali bisa memberikan pencerahan kepada saya (Ekek
- III) , bagaimana ????

Mas Hermansyah : Anda merupakan orang yang sangat berfikiran sekuler ,
dan saya senang bahwa Anda berani mengemukakan hal ini secara  terbuka .

Saya setuju sekali bahwa banyak yang "beramal" kemudian "mencuri" atau
bahkan mungkin kebanyakan "mencuri" dulu , sambil beramal "malu-malu" ,
kemudian setelah banyak hasilnya baru kemudian  "beramal - saja".
Ya macam macam lah, pergi haji berkali - kali , buat pengajian , sedekah
, dan lain lain yang memperlihatkan 'kesolehan" nya.

Banyak tuh yang begitu disekeliling kita !!!

Jadi Mas Hudaya :
Jangan salahkan siapapun kalau orang kayak Mas Hermansyah itu bertambah
banyak ?
Sebagai orang "beragama' ya harus takut juga doong sama hukum dunia
(atau istilahnya Mas Hermansyah hukum yang telah disepakati oleh kita
semua) , jangan takut sama hukum Akhirat saja.

Anda mengambil contoh Singapura dimana hukum dilaksanakn secara
konsisten !
Untuk informasi Anda Mas Hudaya  : Orang Singpura itu tidak begitu
peduli koq sama agama !!!!

Sekali lagi mohon pencerahan atas pertanyaan saya diatas.

Yanto R.Sumantri
(Ekek - III)
[EMAIL PROTECTED] wrote:
> 
> Hallo lagi mas Hudaya,
> Senang mendapat tanggapan anda.  Disamping itu, sayapun jadi mengenal
> anda, nggak tahu kalau anda ternyata Ekek XIII, berarti kakak angkatan
> saya.
> 
> Melihat subject email anda adalah tanggapan buat saya, tadinya saya mau
> balas langsung ke japri anda, .  Tapi, karena anda menanggapi saya secara
> terbuka, maka saya pikir, saya akan menanggapi juga dulu deh secara
> terbuka.  Nanti kalau ada kebutuhan untuk diskusi lanjut, barangkali dapat
> kita lakukan diantara kita saja, kecuali kalau rekan2 yang lain ingin
> saling bertukar pikiran juga.
> 
> Saya coba menanggapi pernyataan2 anda ya mas Hudaya.
> 
> >Ah Mas Herman ini.., maaf ......kalau diperhatikan, Mas Herman kok sangat
> >"naif"  sekali  tentang agama,dan kelihatannya  memang "cenderung"
> apriori
> 
> Oo saya terkesan naif ya.  Yah, barangkali karena saya terlalu
> menyederhanakan masalah ya, dengan mengatakan bahwa kalau sehabis
> melanggar hukum lalu beramal ibadah, maka segala dosa dihapuskan, dst.,
> dst.  Saya tahu ini pernyataan yang tidak benar, karena bukan yang begini
> yang diajarkan oleh agama bukan?  Tapi, yang banyak terjadi di negeri kita
> ini kan ya seperti itu?  Kita nggak bisa lagi membedakan mana amal ibadah
> yg murni dan mana yang kotor.  Dan ini sudah berpuluh2 tahun terjadi.
> Melanggar hukum iya, melakukan amal ibadah dan saling nasihat menasihati
> dalam hal keimanan juga iya.  Secara umum kelihatannya kan begitu, persis
> seperti contoh yang rekan Rizal Ahmad tulis:  "...Bagaimana mungkin mereka mencoba 
> menulis tentang hukum dan norma
> tetapi sekaligus melanggarnya."
> 
> Lantas, apa yang musti kita semua lakukan untuk menyembuhkan penyakit
> 'berkepribadian ganda' itu?  Karena Indonesia adalah negara republik yg
> berdasarkan konstitusi, maka saya berkesimpulan bahwa hanya hukumlah yang
> dapat dijadikan sebagai obatnya, disamping karena hukum Tuhan toch
> ternyata nggak mempan juga, padahal gereja, mesjid, candi, kelenteng,
> vihara ada dimana-mana.  Tapi karena sistem hukum kita ternyata
> 'carut-marut', segala lubang dan celah dicari-cari agar hukum itu dapat
> terus menerus dilanggar, maka alih alih dapat dijadikan sebagai obat
> mujarab, malah kita membutuhkan orang2 yang punya nyali untuk dapat
> meluruskan pelaksanaan hukum itu.  Ditengah carut marutnya sistem hukum
> itu, kita pada sisi lain, dari hari kehari, semakin dibanjiri oleh
> pelbagai macam siraman rohani.  'Berjalanlah di jalan yang benar,
> sucikanlah hati dan pikiranmu, berbicaralah yang baik2 saja,
> berperilakulah yang baik2 saja, maafkanlah mereka , doakanlah mereka,
> takutlah hanya kepada Tuhan saja, dst., dst".
> 
> Yaa, tentu bagus siraman rohani itu.  Tapi, apakah ini dapat memecahkan
> persoalan yang kita hadapi saat ini sebagai bangsa?   Apakah ia dapat
> memecahkan masalah sistem hukum yang carut marut itu?
> 
> Karena saya mengeluarkan kata sindirian yang seolah2 memojokkan agama dan
> terkesan naif itu, maka andapun menduga saya apriori terhadap agama. Kalau
> boleh saya jawab, saya nggak pernah apriori terhadap agama, mas Hudaya.
> Tapi, saya memang tidak mudah percaya sama orang2 yang dengan dalih agama
> mencoba mempengaruhi dan/atau mengintimidasi orang lain.  Kita sudah lihat
> sendiri, nggak sedikit orang2 yang berkedok 'ulama' itu ternyata menjilat
> ludahnya sendiri.  Saya bependapat, bahwa agama tidak jelek dan jahat,
> akan tetapi, manusia yang menginterpretasikan dan menyebar luaskan agama
> itulah yang berpotensi membuat agama itu terkesan jelek dan jahat.
> Terhadap segala kesengsaraan yang kita derita itu, manusialah yang
> seringkali menjadi penyebab utamanya, diluar bencana alam.  Manusialah
> yang berpotensi memperbodoh, memperbudak, menipu daya, menyengsarakan dan
> menginjak-injak hak azasi manusia, bukan agama!
> 
> Ini ternyata cocok dengan temuan pak ABS yang berbunyi: 'Soal korupsi dan tindakan 
> melanggar hukum lainnya, menurut statistik
> tidak ada hubungannya dengan agama. Secara relatif proportional, tingkat
> korupsi makin parah terjadi di negara-negara miskin. Makin miskin sebuah
> negara, relatif makin tinggi tingkat korupsi nya dan tentunya proporsional
> dengan tingkat pelanggaran hukum lainnya'.
> 
> Jadi, tingkat kesengsaraan itu tenyata makin tinggi kalau suatu masyarakat
> makin bodoh.  Dan, bodohnya masyarakat itu, menurut saya, karena kebodohan
> masyarakat itu sendiri.  Salah satu kebodohan itu adalah misalnya, mencoba
> memecahkan masalah2 duniawi dengan hanya ayat2 suci.  Dengan mengingatkan
> orang untuk selalu berbuat baik, tidak berbuat kejahatan, selalu bertakwa
> kepada Tuhan, dlsb.  Hanya mengingatkan lho ya, tanpa sangsi.  Tapi,
> dilain pihak anda sendiri mengatakan bahwa: 'Ayat-ayat Tuhan memang tujuannya bukan 
> untuk membuat manusia jera kok,
> dia hanya memberi bimbingan hal baik dan buruk dalam kehidupan dunia dan
> bukan untuk di akhirat , anggap sama aja deh dengan UU negara . Kalau
> tidak diikuti? ya nggak apa-apa'. Jadi, memang bukan ayat2 suci yang bisa memecahkan 
> masalah kan?  Akan
> tetapi, kita dari hari kehari kita selalu diingatkan dengan ayat2 suci.
> Tanpa konsekuensi hukum negara sedikitpun, sementara kita semua hidup
> sengsara akibat perilaku orang2 yang 'berkepribadian ganda' itu.  Ini kan
> aneh?
> 
> Oleh karena itu, saya mengusulkan, nggak usah dulu deh bicara soal agama.
> Sudah cukup.  Ini sudah berabad2 terjadi.  Keyakinan terhadap Tuhan sudah
> menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.  Nggak usah khawatir bangsa
> Indonesia tidak bertuhan dan tidak bisa membedakan mana yang baik mana
> yang buruk.  Lagi pula, masyarakat kita sudah jenuh dengan segala macam
> siraman rohani.  Yang mereka inginkan adalah hidup aman, damai,  sejahtera
> dan berkeadilan.  Itu hanya bisa dicapai, menurut saya, hanya melalui
> langkah2 kongkrit, yang salah satunya adalah terus menerus mengencourage
> kita semua untuk sebanyak mungkin dan dalam tempo yang sesingkat2nya
> menjadi orang2 yang punya nyali untuk melaksanakan hukum secara konsisten
> dan tidak pandang bulu.
> 
> Bahwasanya orang2 yang punya nyali itu adalah 'manusia amanah' seperti
> yang rekan Sodik katakan seperti berikut ini: "Menurut saya, Indonesia bukan hanya 
> butuh pemimpin yang bernyali tetapi
> yang utama adalah Indonesia butuh "manusia amanah" apapun tingkat sosial
> dan kedudukannya serta tidak "alergi" atau mengingkari ayat-ayat Allah
> swt...", siapa yang tidak mau.  Idealnya tentu demikian.
> 
> Anda selanjutnya mengatakan:  'Peraturan bukan satu-satunya mas Herman, coba mas 
> Herman perhatikan,
> kondisi pelanggaran hukum banyak terjadi di negara  yang penduduknya
> miskin dan tingkat pendidikannya masyarakatnya rendah. Yang kaya dan
> pintar akan mengexploitir yang miskin dan bodoh, si kaya dan si pintar
> akan mengendalikan sistem dan hukum sesuai kebutuhannya.'.  Saya setuju peraturan 
> bukan satu2nya penyebab.  Pendidikan yang buruk,
> kemiskinan yang dimana-mana, korupsi yang merajalela, dlsb., juga turut
> menjadi penyebab.  Tapi, kalau kita coba telusuri lagi kenapa semua
> kesengsaraan itu dapat terjadi, maka kita akan menemukan jawaban, bahwa
> itu diakibatkan oleh pelaksanaan hukum yang tidak konsisten.
> 
> Hukum yang berinduk ke konstitusi negara itu, kalau kita lihat secara
> lebih umum kan berarti 'kesepakatan'.  Kalau konstitusi adalah kesepakatan
> umum dari rakyat yang mendirikan negara itu, maka hukum adalah
> kesepakatan2 rakyat yang lebih spesifik yang mengatur kehidupan sehari2
> kehidupan bernegara.  Maka kita kenal hukum (UU) mengenai pendidikan,
> kesehatan, kehakiman, kerukunan beragama, ketertiban umum, dlsb., dlsb.
> Lalu, kita sekarang bertanya, buat apa sih hukum itu dibuat?  Ya kan untuk
> mencapai cita2 negara itu seperti yang tertuang didalam Konstitusinya.
> Setahu saya, nggak ada konstitusi yang bertujuan membuat suatu negara
> menjadi negara paling miskin dan paling korup di dunia.  Maka, kalau semua
> kesepakatan yang telah dibuat dipelbagai bidang kehidupan itu kita
> laksanakan dengan konsisten, maka menurut teorinya cita2 konstitusi akan
> tercapai.
> 
> Nah, kalau mayoritas masyarakat suatu negara bodoh, hidup miskin,
> sementara korupsi meraja lela, ini mengindikasikan bahwa di negara itu,
> hukum dipelbagai bidang nggak diterapkan dengan konsisten.  Dan hukum yang
> nggak diterapkan itu, bukan hukum Tuhan, karena kita kan melihat juga
> bahwa suatu negara bisa miskin tapi masyarakatnya ternyata taat beragama
> (Iran, Irak, Afganistan, Indonesia, Senegal), yang berarti mereka mematuhi
> hukum Tuhan.  Hukum yang nggak mereka terapkan itu adalah 'janji' dan
> 'kesepakatan' mereka sendiri terhadap satu sama lain yang mereka tuliskan
> didalam UU dan peraturan yang mereka buat itu.  Janji dan kesepakatan
> inilah yang dilanggar, sehingga suatu negara akhirnya bisa terperosok
> menjadi negara yang paling miskin didunia.
> 
> Menurut saya, satu2nya cara untuk meraih cita2 konstitusi itu adalah
> dengan melatih kita semua untuk 'taat' pada kesepakatan yang telah kita
> buat bersama itu, ya hukum itu.  Rasanya, ketaatan pada hukum itu pasti
> akan semakin tebal, kalau seseorang itu patuh pula pada ajaran2 agamanya.
> Tapi, sayangnya kenyataan menunjukkan bahwa kepatuhan kepada Tuhan, toch
> tidak meningkatkan kepatuhan seseorang pada hukum.  Apalagi kalau kita
> setuju pada pendapat anda yang mengatakan bahwa sifat kedua hukum itu
> berbeda, seperti yang anda tulis: 'UU negara kalau anda bersalah melanggar hukum, 
> tertangkap, diadili dan
> kemungkinan dihukum. UU Tuhan cukup "bijaksana" dia tidak akan langsung
> menghukum anda.'  Kalau begini maka patuh pada hukum Tuhan akan memberikan efek 
> kontra
> produktif pada patuh pada hukum negara.  Wong, Tuhan saja 'bijaksana' kok,
> tidak langsung menghukum, ini manusia kok malah berani2nya langsung
> menghukum.  Maka hukum manusia ini pasti salah, sehingga harus dicari
> lubang dan celah untuk dilanggar!
> 
> Kalau kita bisa sepakat bahwa hukum negaralah yang hanya bisa dijadikan
> obat untuk mengangkat suatu negara dari jurang kehancuran, maka barulah
> kita bisa menentukan aspek kehidupan yang mana dulu berikut hukumnya yang
> harus dibenahi.  Aspek dan Hukum pendidikankah?, aspek dan hukum
> kehakimankah?, aspek dan hukum kehidupan beragamakah?, dlsb.  Apakah hukum
> seluruh aspek kehidupan bernegara itu dapat dibenahi secara sekuensial
> atau harus secara paralel?
> 
> Kalau saya boleh melangkah maju sedikit, dan menyorot aspek kehidupan
> beragama, maka saya ingin mengusulkan, agar hukum (UU) kehidupan beragama
> disempurnakan dengan menambahkan sebuah kesepakatan yang mengatur gelar
> dan fungsi ulama, dimana seseorang boleh disebut sebagai ulama, dan/atau
> bertingkah laku sebagai ulama, kalau ia telah lulus pendidikan ulama dan
> mendapatkan sertifikat ulama dari Majelis Agamanya masing2.  Ulama yang
> memperbodoh, mengagitasi dan mengintimidasi umatnya akan terkena jerat
> hukum.  Penyempurnaan hukum ini menurut saya perlu sekali dilakukan,
> mengingat, seperti saya sebutkan sebelumnya, manusialah yang mengakibatkan
> suatu agama itu terkesan jelek dan jahat, sehingga oleh karena itu,
> penyebaran dan pengajaran agama haruslah dilakukan oleh orang2 yang telah
> memenuhi suatu persyaratan.  Dengan demikian pengajaran dan penyebaran
> keyakinan suatu agama dapat berjalan dengan murni dan tepat, mengikuti
> kaidah2 pendidikan modern, tidak melanggar HAM, yang pada akhirnya hanya
> akan mendukung tercapainya cita2 konstitusi.
> 
> Saya amat mengerti bahwa pikiran2 saya ini dapat membuat emosi pada orang2
> yang keyakinan beragamanya merasa terusik.  Untuk itu saya mohon maaf,
> karena saya tak punya niat sedikitpun untuk mengusik keyakinan2 itu, sama
> halnya pula bahwa saya tidak mau orang2 itu memaksakan keyakinan
> keagamaannya itu kepada saya.  Pun, saya sama sekali tidak berkehendak
> untuk menggusur agama seperti yang anda tulis berikut: 'Kalau ada yang tidak beres 
> dengan sistem sosial masyarakat, bukan agama
> nya yang mesti digusur, agama nggak salah mas ,barangkali perlu
> ditingkatkan pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan
> konsisten.' Justru, saya sangat mendukung kalimat terakhir anda, yaitu 'perlu 
> ditingkatkan pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan
> konsisten.', yang salah satu realisasinya adalah dengan mewajibkan ulama
> bersertifikat itu.
> 
> Senang dapat berkenalan dengan anda, mas Hudaya.
> Salam hangat,
> HermanSyah XIV.
> 
> <[EMAIL PROTECTED]>
> 02/26/2004 09:11
> Please respond to yonsatu
> 
> 
>         To:     [EMAIL PROTECTED]
>         cc:
>         Subject:        [yonsatu] Re: yonsatu Digest V4 #53 & Sorga/Neraka- 
> tanggapan buat mas
> Herrmansyah
> 
> Ah Mas Herman ini.., maaf ......kalau diperhatikan, Mas Herman kok sangat
> "naif"  sekali  tentang agama,dan kelihatannya  memang "cenderung" apriori
> .
> Mudah-mudahan anda tidak punya pengalaman "traumatik" dengan agama dimasa
> kecil atau saat ini.
> 
> Tindakan pelanggaran hukum dan pelaksanaan amal ibadah jangan dicampur
> aduk
> mas Herman, mungkin mas Herman berpikir tentang konsep pahala dalam amal
> ibadah, konsep "impas" dengan adanya pahala dalam amal ibadah dan
> perbuatan
> tercela.
>  Amal ibadah  dalam agama bukan seperti  transaksi  mas Herman, setelah
> melanggar hukum-kemudian melakukan ibadah, terus..... impas? Ulang lagi,
> impas lagi? Ah... Mas Herman ini naif sekali.
> Pelanggaran hukum dan amal ibadah seseorang dihadapan Tuhan punya
> hitungannya sendiri, punya hakim sendiri, bukan disini.
> 
> Mas Herman  mengatakan karena mereka mengerti semua itu, mereka
> melakukannya dan menjadi pemeluk agama yang saleh.
> Dalam islam kita tidak bisa menjustifikasi diri kita sendiri, menjadi
> hakim
> yang bisa menilai posisi diri dihadapan Tuhan.
>  Seseorang yang beragama islam selama dia masih hidup dia tidak bisa
> mengklaim dirinya lebih baik atau shaleh dari yang lain.
> Seseorang  yang sejak  usia 5 tahun sudah melakukan amal ibadah secara
> rutin, dihadapan Tuhan belum tentu lebih baik dari teman Mas Herman yang
> barangkali baru dua tahun melaksanakan ibadah.
> 
> Salah satu   konsep pelaksanaan amal ibadah   dalam agama islam,   adalah
> karena "cinta",  you do it because you love to do it, and you don't expect
> anything  by doing it.
> Gampangnya gini, di dunia yang kita cintai siapa, anak/istri/orang
> tua/teman, kalau mereka meminta sesuatu, kita akan dengan senang hati
> melakukannya  dan tidak  mengharapkan imbalan dari  mereka.
> Kalau amal ibadah kita karena cinta, kita tidak akan "berhitung" mas
> Herman
> ( mudah-mudah ini tidak terlalu absurd buat mas Herman).
> 
> Mas Herman pernah lihat ayat-ayat Tuhan dalam  kitab suci, nggak?
> Al-Qur'an
> misalnya,
> Di Al-Qur'an, dijelaskan, bahwa Mas Herman terbentuk dari setetes mani,
> bagaimana bumi terjadi dan berputar dalam orbitnya, dlsb.
> Di dalam Al-Qur'an diberikan pengetahuan yang sangat luas kepada manusia
> (yang sudah dirangkum 14 abad yang lalu), kalau mas Herman punya Al-Qur'an
> coba  jangan hanya dilihat isinya, coba dibaca anggap saja dulu sebagai
> pengetahuan umum bagi mas Herman.
> Kalau Mas Herman gak punya Al-Qur'an, beli dulu atau pinjam sama teman.
> Kalau  tertarik yang sedikit ilmiah, cari "The Bible, Science and Al
> Qur'an" oleh Dr. Maurice Bacall
> 
> Ayat-ayat Tuhan memang tujuannya bukan untuk membuat manusia jera kok, dia
> hanya memberi bimbingan hal baik dan buruk dalam kehidupan dunia dan bukan
> untuk di akhirat , anggap sama aja deh dengan UU negara .
> Kalau tidak diikuti? ya nggak apa-apa
>  And...as a person, you are free to choose ,to be good or bad people.
> UU negara kalau anda bersalah melanggar hukum, tertangkap, diadili dan
> kemungkinan dihukum. UU Tuhan cukup "bijaksana" dia tidak akan langsung
> menghukum anda.
> Saya kutip kata Mas Herman dibawah : "Yang akan membuat manusia jera
> didunia adalah peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri (dengan
> inspirasi
> dari Tuhan(masih butuh , nih?)) yang diterapkan  dengan sungguh dan
> konsisten".
> Peraturan dibuat oleh siapapun tentu tujuannya pasti baik, tapi seberapa
> besar sih kemampuan manusia menerapkan secara konsisten?
> 
> Peraturan bukan satu-satunya mas Herman, coba mas Herman perhatikan,
> kondisi pelanggaran hukum banyak terjadi di negara  yang penduduknya
> miskin
> dan tingkat pendidikannya masyarakatnya rendah.
> Yang kaya dan pintar akan mengexploitir yang miskin dan bodoh, si kaya dan
> si pintar akan mengendalikan sistem dan hukum sesuai kebutuhannya.
> Perhatikan tetangga kita Singapura, Malaysia, atau negara maju,kalau basic
> needs masyarakat sudah tercapai, penegakan hukum secara konsisten
> sebagaimana harapan mas Herman akan menjadi suatu kebutuhan.
> Sabar ya dulu mas.....,
> 
> Dan satu lagi mas Herman,  jangan under estimate terhadap agama mas.
> Kalau ada yang tidak beres dengan sistem sosial masyarakat, bukan agama
> nya
> yang mesti digusur, agama nggak salah mas ,barangkali perlu ditingkatkan
> pemahaman agama pemeluknya supaya  tidak dangkal dan konsisten.
> 
> Percaya deh mas Herman, sooner or later agama itu akan menjadi kebutuhan
> personal seseorang, kalau mas Herman belum, mungkin nanti..
> Pemahaman agama secara mendalam harus mulai  dari diri sendiri, itupun
> kalau kita mau.
> 
> Salam Kenal
> Hudaya
> Ekek XIII
> 
> 
> 
> --[YONSATU - ITB]---------------------------------------------
> Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau
>                   <http://news.mahawarman.net>
> News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman
> Other Info      : <http://www.mahawarman.net>
>


--[YONSATU - ITB]---------------------------------------------      
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau   
                  <http://news.mahawarman.net>   
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman     
Other Info      : <http://www.mahawarman.net> 
   

Kirim email ke