Bli,
Saya kira konklusi ini cukup memadai dan komprehensif, terima kasih untuk ini. 
Tugas kita bersama adalah memikirkan soal ini. Di tengah aneka kepentingan, 
motif, usaha, maupun tujuan, saya yakin kita sebagai warganegara Indonesia 
masih memiliki satu irisan yang menyatukan. Yang membedakan mungkin hanya 
"kadarnya", yang sangat percaya, biasa-biasa saja, maupun skeptis, semua berhak 
hidup dan masing2 memiliki alasan yg sah, karena Pancasila hidup dalam sejarah.

Kekeliruan Orde Baru - dan ini sangat fatal - adalah menjadikan Pancasila 
ahistoris. Nah, di sini saya sedikit memperkenalkan apa yang dalam Filsafat 
Politik disebut prinsip 'Metanormatif'. Etika-etika yang ada, termasuk norma 
agama, bersifat normatif, mengikat dan menjadi imperatif bagi warga/umatnya. 
Indonesia adalah Taman Etika, dan juga Kebun Nilai-nilai. Pertanyaannya adalah, 
bagaimana Taman dan Kebun ini bisa lestari, sedangkan masing2 memiliki klaim 
"paling"?

Di sini Pancasila tepat jika ditempatkan dalam bingkai 'Metanormatof'. Ia bukan 
sebuah nilai yg bersaing dengan nilai-nilai lain, melainkan prinsip dasar yang 
memungkinkan nilai2 di Taman dan Kebun ini dipraktikkan dan dihayati. Maka 
tujuan individual, komunitas, atau kebangsaan terbingkai dan dijamin prinsip 
ini. Hasil akhir tidak harus seragam, tetapi Pancasila harus memastikan bahwa 
semua memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama.

Liberalisme sebenarnya mengalami krisis seperti Pancasila juga, ketika ia 
diperlakukan secara normatif. Liberalisme bisa "diselamatkan" jika ia 
ditempatkan secara 'metanormatif', sebagai prinsip dasar yang menjamin 
kebebasan, jadi kebebasan bukan nilai intrinsik yang harus diperjuangkan untuk 
diwujudkan, melainkan sesuatu yang diandaikan sebagai dasar tindakan yang 
bebas. Kekeliruan (mungkin kelatahan ) ini akhirnya melahirkan apa yang kita 
sebut Pancasila vs Islam (teokrasi), dll, hal yg pernah saya kritik atas hasil 
penelitian sebuah lembaga survei terkenal di Indonesia krn kerancuan yg 
menyesatkan ini. Pancasila adalah prinsip dasar yg memungkinkan orang Islam, 
Kristen, Hindu, Buddha, Batak, Jawa, Bugis, Minang, Cina, dll menghayati 
keyakinan dan nilai-nilainya.

( untuk elaborasi ini saya berhutang pd pemikiran brilian Douglas B. Rasmussen 
dan Douglas den Yul, dlm bukunya 'The Norm of Liberty', 2005).

salam,


pras




________________________________
Dari: Oka Widana <oka.wid...@indosat.net.id>
Kepada: AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 6 Oktober, 2009 20:20:56
Judul: RE: [Keuangan] PANCASILA

  
Saya kok merasa sepakat dengan yg ditulis rekan Hok An (Btw, kapan Anda ke
Jakarta, lagi?). Pancasila itu, adalah konsensus para pendiri Negara, yang
merupakan visi akan menjadi apa yang namanya negara dan bangsa Indonesia
itu. Pendiri Negara, tidak memberikan petunjuk, bagaimana atau akan diapakan
pancasila dalam hal implementasi dan aplikasinya dalam berbangsa dan
bernegara. Artinya, Pancasila itu, kalau diibaratkan suatu wadah, masihlah
wadah yang kosong, yang hanya diberi merek Pancasila.

Jika persepsinya seperti itu, maka tak heran jika pak Harto dan
pemerintahannya pada saat itu berusaha menciptakan wadah yg dinamakan P4.
Kalopun saat ini banyak yang bilang bahwa pendekatan itu salah, karena
bersifat indoktrinatif dan mengikis sikap kritis Warga Negara, saya kira itu
adalah tahapan belajar yang harus kita lalui. Setelah era P4, seolah-olah
Pancasila seperti tertelan bumi, antara ada dan tiada. Apakah P4,
menghasilkan efek traumatis terhadap Pancasila? Saya kira, walau belum ada
penelitiannya, kok ngak sampai kesitu ya...

Bung Poltak benar mempertanyakan Pancasila itu seperti apa? Wong dia baru
melihat wadahnya doang.. mas Pras juga benar, karena beliau melihat, didalam
wadah itu sudah ada isinya, yaitu kebijakan hasil pengalaman bangsa ini
selama 64 tahun merdeka, bahkan sebelumnya. Bung Enda, dan rekena2 lain saya
kira benar juga karena melihat angle yang berbeda, pada wadah ini.

Pancasila seperti halnya Merah Putih adalah kartu mati bagi Negara
Indonesia. Dulu Merah Putih, kita artikan berani (merah) karena suci
(putih), mungkin sekarang Merah Putih harus diintepretasikan lain.. (wong
Nurdin Top dkk, aja bisa mengklaim semua aktivitas gilanya adalah berani
karena suci, apa bedanya dg Merah Putih Indonesia?) ditengah kapitalisme
modern, globalisasi, nasionalisme baru. Pancasila saya kira harus
diperlakukan sama, Pancasila adalah wadah yang dinamis, yang tak akan pernah
penuh. 

Siapa yang harus mengisi, bukan Pemerintah tapi seluruh Warga Negara. Jangan
Pemerintah yang bertugas mengisi, apalagi memonopoli intepretasi, entar
balik lagi jaman Orba dong. Suatu Badan atau lembaga yang diatas Pemerintah,
yang merupakan representasi seluruh rakyat..apalagi kalo bukan MPR, disitu
ada wakil Parpol dan Daerah, bukan? UUD 45 yang dulu dianggap sakral saja
bisa diamend, walau kesakralannya ingin tetap dipertahankan dengan cara
tetap menamakannya UUD 45...artinya MPR bisa merumuskan guidance yg lebih
jelas bagaimana mengaktualisasikan (saya tak ingin menggunakan kata
mengamalkan) Pancasila. Dari sanalah barulah bangsa ini bisa melangkah lebih
jauh...

Sebagai Moderator, saya tak ingin menutup diskusi mengenai Pancasila ini,
tapi memang kesimpulannya ngak akan jauh dari yang saya tuliskan diatas.
Kalo mau dilanjutkan silahkan sajalah...untuk membedakan dengan topik yang
terkait ekonomi, maka dibawah thread Pancasila, kita hanya akan membahas
hal2 diluar ekonomi. Hal-hal mengenai Ekonomi Pancasila, saya sarankan
dibawah traead Ekonomi Pancasila.

Salam,

From: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
[mailto:AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com] On Behalf Of Hok An
Sent: Wednesday, October 07, 2009 12:38 AM
To: AhliKeuangan- Indonesia@ yahoogroups. com
Subject: Re: [Keuangan] PANCASILA

Bung Poltak,

bagi saya Pancasila tadinya adalah janji bentuk dari negara (waktu itu 
cuma RI).
Isinya adalah kompromi dari kelompok2 yang mendukung lingkaran kecil 
sekitar BPKNIP.
Pada awalnya cuma ada 4 sila. Akhirnya jadi 5 sebab kelompok2 minoritas 
menuntut masuknya perikemanusian.
Azas perikemanusian diaktualisasi sesudah UUD 45 diganti dengan 
UUDSementara dimana seluruh konvensi PBB yaitu apa yang namanya Hak2 
Azasi Manusia (HAM) diadopsi dalam UUD ini.
Jadi Indonesia adalah satu negara yang pertama mengakui HAM.
Tetapi mengakui kita sekarang tahu semua ternyata bukan melaksanakan.

Yang terjadi malah degradasi sistem negara hukum sampai nyaris hilang.
Yang hilang bukan hanya sistem hukum, tetapi juga norma dan etika.
Singkat kata sesungguhnya konsensus nasional tentang baik dan buruk, 
benar dan salah sudah dalam keadaan lumpuh.

Perlu dikaji ada atau tidak lembaga negara yang bertugas mengawasi dan 
menerapkan sistem hukum, norma dan etika dalam negara kita.
Sesungguhnya badan tertinggi adalah MPR. Tetapi badan ini sudah maya, 
sebab fungsi yang nyata tidak jelas lagi. Sebetulnya MPR adalah badan 
yang bertugas menyusun sistem nilai apakah UU yang ada sesuai dengan 
Pancasila atau tidak. Berdasarkan sistem nilai ini harusnya setiap 
undang2 bisa dinilai oleh Makamah konstitusi apakah masih berlaku.

Dalam praktek se-hari2 harusnya ada menteri UUD yang bertugas mendidik 
dan mengawasi semua unit2 kenegaraan supaya bekerja dalam kerangka UUD. 
Di Indonesia fungsi ini tidak jelas ada di departemen apa. Harusnya 
jabatan ini dipegang oleh Menteri Dalam Negeri yang 10 tahun terakhir 
ini se-olah2 kehilangan perannya sebagai juru pimpin tata negara kita.

Jadi Pancasila dan aparatnya yaitu seluruh sistem perundangan kita ini 
belum bisa atau tidak selalu bisa ditagih, mirip obat placebo. Merek 
sudah ada tapi isinya masih kosong.
Mengatasi masalah ini tidak mudah, sebab visi politik untuk itu belum ada.
Sebab itu perlu ditanamkan idealisme supaya visi negara modern dengan 
tata negara yang jelas bisa jadi infrastruktur politik kita dikemudian hari.

Salam

Hok An

Poltak Hotradero schrieb:
> 
>
> At 11:40 AM 10/6/2009, you wrote:
> >Aku jd tertarik jg comment. Menurutku semua pemikiran/konsep selalu
> >merupakan respond terhadap tantangan jaman dan waktu. Jd, ada
> >assumsi yg melandasi konsep tsb.
> >
> >Asumsi2 dasar ekonomi kapitalis, sosialis rasanya sudah jelas. Yg
> >rasanya belum jelas ialah ekebenarnya apa sih asumsi2 ekonomi Pancasila?
>
> Bung Enda,
>
> Itu dia bagian dari pertanyaan saya sejak berhari-hari yang lewat.
> Pancasila itu konkritnya apa? (dan sama dengan itu - ekonomi
> Pancasila itu konkritnya apa?)
>
> Kayaknya masih belum terjawab.
> Dan kalau memang belum terjawab -- bagaimana kita bisa tahu ekonomi
> pancasila (apapun itu) adalah penyelesaian atas masalah ekonomi kita?
>
> Bila ternyata Pancasila tidak mendorong penegakan hukum atau
> meritocracy -- maka semakin berkuranglah poin untuk menyatakan bahwa
> ekonomi pancasila adalah resep yang tepat...
>
> Sekadar jadi gerakan moral ya silahkan saja -- tetapi sebagai "agama"
> atau doktrin ekonomi -- Pancasila rasanya sudah terlalu jauh.
>
> >Pertanyaan berikutnya tentu, seberapa penting sebenarnya asumsi tsb
> >dibawa dalam tahap operasional. [Aku sendiri pernah schock baca
> >paper lama dari Milton Friedman "The Methodology of Positive
> >Economics", yg kurang lebih bilang bhw unrealistics assumsi dalam
> >teori ekonomi tidaklah penting, selama teori tsb menghasilkan

.

Image removed by sender.

[Non-text portions of this message have been removed]





      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke