terimakasih untuk komentar dan saran yang sangat menarik, Bli Gde Ambara, pertama, tulisan ini adalah tulisan saya sendiri yang didapat dari berbagai sumber. sebagai seorang seniman, saya bukannya menghindari dan tidak percaya dengan bukti-bukti ilmiah, namun seperti kita ketahui sejarah sendiri bisa sangat tricky bukan?
namun, tulisan-tulisan yang saya buat ini juga bukanlah sebuah kisah fiksi. karena menurut saya, sebuah kisah, tulisan, di era kebebasan pemikiran sekarng ini, pertama-tama harus lah mampu menggugah hinggga menggeser frame of mind dari pembacanya. taruh lah contoh karya kontemporer da vinci code-nya Dan Brown. baiklah, mengenai kisah ugrasena dan markandeya, memang saya bukanlah ahlinya lontar2, namun dari beberapa sumber, kisah Rsi markandeya sendiri adalah sebuah kisah yang cukup tricky, secara linguistik, nama markandeya berasal dari bahasa yang mirip dengan "marekan Nye" - "marekan Dia" yang dalam kamus linguistik jawa bisa berarti pendamping Beliau, jika di sambung2kan dengan kehidupan di masa kuno, seorang raja pasti memiliki penasihat spiritual, bahkan kini pun di White House sana memiliki juga departemen of spirituality... jadi menurut saya, mungkin kah Markandeya itu bisa disebut sebuah gelar? bayangkan lah di era modern ini, berapa banyak orang yang dipanggil Leonk di Bali? di Jogja? namun mereka bukan orang yang sama, cuma karena mempunyai sifat dan sikap yang sama.... nama I nyamprut karena mereka anak ke 4 (ketut nyamprut), komink (anak ke 3)? berikutnya dalam kesejarahan adalah mengukur artefak-artefak, adalah suatu yang sangat tricky sekali. saya ingat sekali kisah mengenai seorang pengerajin China yang mampu mengelabui Museum Nanjing, bayangkan sebuah museum. dengan mengatakan bahwa kendi (guci) yang dia punya berumur 5000th, padahal kendi itu kenyataannya dibuat sekitar sebulan atau 2 bulan lalu. ini terjadi karena ketidaksengajaan, dimana guci tersebut terekspos sinar X di bandara, yang kemudian merusak tatanan karbon (saya bukan ahlinya untuk menjawab ini) namun singkat cerita, teknologi dapat diakali dengan teknologi juga. oleh karena itu para antropolog, sejarawan dan ahli kebudayaan (yang saya sebenarnya bukan salah 1 dari itu, walau sewaktu kuliah dulu ke tiga bidang itu masuk dalam kurikulum), meneliti kebudayaan dan tata sosial lampau dengan memperhatikan ciri2 dari artefak itu sendiri dengan mempelajari bagaimana kehidupan sosial di suatu jaman berkembang dan bagaimana kebudayaan di masa itu menghasilkan artefak. karena sbenarnya manusia, tata sosial dan artefak adalah sebuah satu kesatuan, cuma karena manusia saja umurnya tidak sepanjang artefak, jadi yg hadir dimasa sekarang hanya artefak2 yang "bisu". berikutnya adalah mengenai kejadian-kejadian alam, mungkin kitab atau lontar yang bisa didapat mudah unutk ini adalah babad gumi. namun yang tercatat dalam lontar2 ini pun kadang sangat2 tricky. seprti misalnya, dalam babad gumi, disebut gunung agung meletus pada tahun naga besuki ngelilit gungung bla..bla (bukan ahlinya juga hehehe) yang kemudian dapat disetarakan dengan tahun masehi sebagai kira2 sebagai dalam abad 1 masehi. jika menurut peneliti barat, tidak mungkin gunung agung yang ada di bali itu meletus di tahun sekian, yang meletus adalah gunung yang mereka sebut krakatoa kuno. mungkin jika sempat mengingat film "passion of Christ", tentu akan ingat penggambaran (yg juga ada dalam alkitab) bahwa disaat Jesus di salib, langit tiba2 gelap untk 2-3hari, disertai suara gemuruh. tentu spiritualis yakin bahwa itu bagian dari Ketuhanan dan spiritual, saya tidak menentangnya, sebab memang itu bagian dari rencana Tuhan juga. coba kita bayangkan, tahun masehi dimulai sejak Jesus lahir, dan kemudian di abad 1 masehi, krakatoa kuno meletus, dimana saking hebatnya letusan, seluruh bagian bumi tertutup oleh abu vulkanik (demikian penjelasan yg saya liat di National geography channel)... lalu dalam legenda, ternyata sering disebut bahwa gunung agung yg sekarang di bali itu adalah separonya dari sumeru, dan sumeru sendiri separohnya dari gunung mahameru.... dan ternyata di jawa barat, terdapat kawah bekas gunung berapi yg besar, yang sering disebut oleh masyarakat asli sebagai gunung Ageng.... tentunya, jika melihat peta vulkanik yng kerap disebut "the Ring of Fire" ternyata memang dapur magma gunung2 dahsyat yg pernah meletus dan yang masih ada ternyata saling berhubungan. bayangkan sebuah pizza yg keluar dari dapur yang sama, namun dimakan oleh orang2 yang berasal dari daerah yg linguistiknya sangat berbeda, tentu ada yg menyebut sebagai taco, roti bulat.. etc. namun, yang pasti adalah, dalam legenda manapun mengatakan bahwa selat sunda yg memisahkan pulau Jawa dan Sumatra lebih dahulu terjadi dibandingkan dengan selat Bali yang memotong pulau Jawa untuk kesekian kalinya. mungkin tinggal para ahli yang memang ahli membongkar kebenaran ini yang harus bekerja sehingga terjawab, dan saya yakin dibagian lain bumi sana, yang konon lebih maju, data2 ini semua sudah ada. Memang betul bahwa penelitian yg lebih rigid perlu dilakukan demi kebenaran. namun seperti yang Bli jabarkan, siapa yng hendak membuatnya menjadi kenyataan?, dana sebesar itu didapat darimana? demi apa itu dibuat? tentu saja alasan2nya haruslah sangat kuat. namun sebelum itu terjadi, ada baiknya kita ikuti apa yang telah dibuat oleh leluhur2 kita, membuat legenda, kisah2 yang mampu menggeser dan merubah frame of mind seseorang bahkan masyarakat luas, sebab pikiran, keyakinan dan tradisi adalah tempat penyimpanan data yang tak akan hancur, karena hal ini tidak berbentuk material, lebih pada ingatan komunal. mungkin dalam teknologi kini, sama dengan program Cloud-nya orang barat. mengenai pemerintah? tentunya adalah sebuah sistem yang lain, sebagaimana program Matrix di film the matrix, pertanyaannya adalah, mampukah kita menjadi karakter Neo, Morpheus dll yang mampu terbang dan menyetop peluru? terimakasih telah menyimak tulisan ini, semoga diskusi ini dapat berlanjut ke arah yang sangat baik dan menyenangkan salam willy --- On Mon, 10/4/10, Ambara, Gede Ngurah (KPC) <gede.amb...@kpc.co.id> wrote: From: Ambara, Gede Ngurah (KPC) <gede.amb...@kpc.co.id> Subject: [bali] Re: The Lost Bali To: bali@lp3b.or.id Date: Monday, October 4, 2010, 8:23 AM Sepertinya cerita dibawah agak tercampur..mungkin perlu disertakan Referensi-nya dari mana (lontar-lontar yang digunakan).. Misalnya Raja Ugrasena memerintah sekitar abad ke 9, sementara kok bisa disambungkan ceritanya dengan Reshi Markendya yang masuk ke Bali sekitar 5 abad sebelumnya yaitu abad ke 4….. Cara-cara modern untuk meneliti suatu artefak tentu akan membantu mencari benang merah sejarah perkembangan Hindu di Nusantara, tapi sepertinya sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang melakukannya khususnya dari umat Hindu sendiri..cara-cara penelitian modern terhadap umur artifak contohnya melalui test-radiasi isotop carbon atau bahan radioaktif lainnya..dengan cara ini bisa ditentukan umur artifak dengan lebih teliti.. Dengan penelitian umur batuan dan kondisi geologis di dasar laut selat Bali dihubungkan dengan penelitian batuan di Gilimanuk dan bagian timur Jawa Timur mungkin juga bisa menyimpulkan kapan Jawa terpisah dari Bali…tapi pertanyaannya siapa yang akan melakukan?? Atau adakah yang tertarik melakukan penelitian ini? Kalau ada dana-nya dari mana dsb….pemerintah tentu tidak akan melakukan penelitian seperti ini (dianggap tidak penting..) Rgds Gede Ambara -----Original Message----- From: bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of d M Sent: Thursday, September 30, 2010 10:29 AM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: The Lost Bali suksma bli, sangat berguna bagi saya sekeluarga dudik www.dotpis.com The real freedome is free from dome --- On Thu, 9/30/10, willy himawan <willy_hima...@yahoo.com> wrote: From: willy himawan <willy_hima...@yahoo.com> Subject: [bali] The Lost Bali To: bali@lp3b.or.id Date: Thursday, September 30, 2010, 9:00 AM semoga berguna :), Bungkulan-Kubutambahan, Gambaran Bali (Dunia) yang Hilang Bungkulan-Kubutambahan sebagai “Bekas” Kota Bungkulan adalah sebuah desa yang terletak di titik paling utara Pulau Bali. Sekilas, memang tidak banyak tampak hal-hal yang istimewa di desa ini, Bungkulan terlihat sebagaimana desa-desa di bali pada umumnya dan bahkan cenderung terlihat sebagai sebuah desa yang jauh dari kesan kota ataupun maju. Namun, jika berkunjung ke desa-desa yang dekat dengannya, seperti Bila, Tamblang, Sawan, Tajun dll, sesepuh desa ataupun tradisi desa pasti akan menyebut Bungkulan sebagai kota. Tidak begitu aneh, jika mengingat peta kuno orang Belanda mengenai Pulau Jawa dan Bali, sebab di bagian Pulau Bali, hanya terdapat satu titik yang dinamai Boengkoelan yang terletak di bagian ter-utara Pulau Bali. Hal itu dikarenakan pintu masuk menuju Bali di masa lampau adalah Bungkulan, mengingat bentuknya yang bak semenanjung dan mengingat transportasi di masa lampau menggunakan perlayaran. Mungkin jika dibayangkan di masa lampau, bungkulan bak Denpasar dengan bandara Ngurah Rai-nya. Jika mengunjungi wilayah ter-utara Bungkulan, sering disebut sebagai Kubu Kelod, berada dekat pantai, maka akan terdengar legenda-legenda (jika ditanyakan) mengenai tempat yang dikenal cukup angker yaitu tempat “labuh”nya kapal, yang berisikan kapal-kapal karam yang diperkirakan kapal-kapal Belanda. Dan keadaan pantai sepanjang Bungkulan terkenal memiliki kedalaman yang cukup dalam, tentu saja mendukung untuk terjadinya pendaratan kapal-kapal laut. Di bagian selatan jalan raya dan sungai, jika jauh memasuki wilayah desa Abian kelod, menerobos “tumpukan/jajaran” bangunan-bangunan perumahan dan bangunan modern lainnya, maka dapat dilihat sesuatu yang sangat istimewa, yaitu “jajaran” pura-pura, mulai dari pura umum hingga pura keluarga yang sangat jarang dilihat di daerah lain di Pulau Bali, dan jika ditotal, jumlahnya pun tidak sedikit. “Jajaran” pura-pura ini sekilas terkesan seperti sebuah kota dari masa lampau, skilas seperti “jajaran” Pedharman di Besakih. Memang, konon, telah banyak juga pura yang hilang, yang sebagian besar, konon, diakibatkan oleh meletusnya Gunung Agung dan beberapa kebakaran hutan. Hal yang menarik dari pura-pura yang hampir semua sekilas terlihat sederhana ini adalah, jika mencoba untuk masuk dan mengamati artefak-artefak berupa ukiran dan patung-patung, maka terlihat bahwa artefak-artefak itu spertinya sangat kuno dan berbeda dengan umumnya. Semua tentu “diperbandingkan” dengan artefak-artefak “umum” daerah Bali, berupa patung dan ukiran-ukiran yang banyak berkembang sekarang ini seperti terlihat di wilayah Kapal, Badung, atau di bagian Jalan. Prof. Mantra di daerah Sanur. Tidak jarang beberapa dari “artefak-artefak Bungkulan” ini bahkan terkesan sangat berbeda, kuno, menyeramkan dan sepertinya memiliki daya magis tertentu. Memang, Bungkulan jika ditelusuri dengan cermat, secara “penelitian” atau pun secara “spiritual”, masih memliki banyak hal yang menakjubkan sekaligus misterius. Bungkulan-Kubutambahan dan Sekitarnya, Sebagai Asal Mula Bali Melihat bungkulan, tentu saja tidak bisa terlepas dengan daerah-daerah sekitarnya. Desa-desa seperti Kubutambahan, Sawan, Bila, Tajun, Menyali dll. Tentu saja tempat yang menarik untuk dikunjungi adalah tempat yang memiliki wisata alam, salah satunya adalah Kubutambahan. Di sana terdapat pemandian umum yang disebut Air Sanih. Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di masa lampau, daerah ini adalah istana. Gambaran kasarnya mungkin mirip dengan Summer Palace (Istana Musim Panas) nya Emperium China yang terletak di Beijing. Tempat pemandian Air Sanih yang kita kenal sekarang ini, menurut para ahli, di masa lampau adalah Laguna yang cukup besar dengan dukungan dari 118 mata air. Dan tengok lah posisi Pura Penegil di sebelah selatan jalan raya. Menurut para ahli, Jajaran Pura di seberang pemandian Air Sanih ini dulunya adalah istana kerajaan. Dimulai sejak Gunung Merapi meletus hebat pada 910 Masehi (± 150 tahun). Letusannya menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang berpusat di Candi Boko, Jawa Tengah. Raja Mataram Kuno I Sri Sanjaya meninggal karena bencana itu. Kemudian masyarakat setempat yang selamat dipimpin Mpu Sindok mencari tempat baru. Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai itu, Mpu Sindok yang begelar Rakai Hino membangun kerajaan yang diberi nama Kahuripan. Sementara Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I tidak ingin turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali (nama Bali sebelum terpisah dengan Jawa) bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun kerajaan baru di tempat Beliau “melihat” pralingga tersebut di Prawali. Dibantu oleh Maha Rsi Markania (Markandea) akhirnya ditemukanlah lokasi pralingga tersebut berada di Gigir Manuk (Punuk Burung-ayam-tulang belakang, jika dilihat bentuk pulau Bali, memang daerah Bungkulan-Kubutambahan inilah yang tepat berada pada punuk manuk). Lalu beserta sebagian rakyat Mataram Kuno membangun kerajaan bernama Kawista, dan Ugrasena pun dinobatkan menjadi Raja bergelar Kesari Warmadewa. Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya). Generasi dinasti Warmadewa ini terus berkembang hingga kemudian tidak menghasilkan keturunan pada generasi Anak Wungsu yang mengakibatkan Kawista mulai hancur dan kemudian ditempati oleh kaum bajak laut. Kisah berikutnya berlanjut pada 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga Negara dengan lambang singa bersayap. Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata “muloyo iki pusering jagat prawali”. I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pemimpin di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Kawista juga sudah ditempati para bajak laut yang merampok pedagang yang melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para penjahat itu. Mungkin dari sini lah hikayat mengenai Singaraja itu bermula. Dan demikian lah kisah besar mengenai Bali yang di awali oleh kerajaan Kawista, walaupun mungkin masih banyak perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama mengenai rangka tahun dan kejadian-kejadian, dan bagaimana kisah hidup mereka di Kawista ini. Namun bagaimana pun juga, gambaran akan Bali versi ini adalah gambaran Bali awal yang berbeda, sebelum masuknya pengaruh Majapahit pada tahun 1400-1500an yang menjadikan Bali sebagaimana Bali pada hari ini. Mungkin kah Menjadi “Kota” kembali? Tentunya, pertanyaan ini adalah pertanyaan retorik, yang tidak harus mendapat jawaban. Namun, sebuah pemikiran dapat dibalikkan pada masih banyaknya artefak-artefak, peninggalan, pura-pura yang patut untuk dilestarikan di daerah Bungkulan-Kubutambahan ini, mungkin dari sana akan dapat dijadikan sesuatu, seperti misalnya sebagai wahana atau kawasan napak-tilas bagi kaum spiritualis yang semakin hari semakin banyak komunitasnya akibat pencarian jati diri kemanusiaan di tengah gerusan modernisasi. Berikutnya, sebagai wacana geo-politis, meliputi pembelajaran geologi, antropologi, seni dan budaya, dan yang mungkin paling diharapkan, adalah dapat menjadi wacana pariwisata, mungkin yang bertemakan Kota Tua atau Istana Terlupakan, disisi lain mungkin sekedar wisata agro mengingat masih banyaknya sawah di daerah ini dan perkebunan di daerah yang lebih atas seperti Tamblang, serta wisata jurang dan lembah yang sangat indah seperti yang terdapat di Tajun. Namun sedikit-tidaknya, dapat dimulai “tengok-tengok” di wilayah ini, mulai dari menengok artefak-artefak, legenda, kehidupan tradisional, geografis dan lain-lain, sebelum akhirnya alam dan manusia modern-nya mulai menggerus dan kembali mengganti kisah sejarah, tanpa tahu kisah yang ada sebelumnya. Dan tentu saja, jika itu terjadi, akan sangat membingungkan bagi generasi berikutnya, sebagaimana disebutkan dalam hikayat keagamaan, “Moha” atau kebingungan adalah salah satu musuh terbesar manusia.