Hiruk-pikuk Demokrasi di Iran Jumat, 19 Juni 2009 | 04:23 WIB Oleh Zuhairi Misrawi
Kemenangan Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilu presiden yang baru saja digelar tidak berlangsung mulus. Pasalnya, Mir Hossein Mousavi, calon presiden dari kalangan reformis, menggugat hasil pemilu. Ia menganggap ada kecurangan yang disengaja dilakukan oleh pihak Ahmadinejad, khususnya Kementerian Dalam Negeri yang diduga melakukan rekayasa untuk memenangkan sang presiden petahana (incumbent). Setidaknya ada dua analisis yang berkembang seputar pemilu di Iran. Pertama, mereka yang menganggap Ahmadinejad layak memenangi pemilu karena ia didukung oleh kalangan akar rumput, khususnya kalangan konservatif. Sehari setelah dinyatakan sebagai pemenang, pendukung Ahmadinejad memadati kota Teheran. Siapa pun yang melihat parade massa tersebut, maka Ahmadinejad memang mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat Iran, terutama kalangan akar rumput. Ia adalah simbolisasi pemerintahan yang bersih, yang membedakan dari kubu reformis yang dituding telah melakukan korupsi. Kedua, mereka yang menganggap adanya kecurangan sistemik yang dilakukan oleh kubu Ahmadinejad. Faktanya, sejumlah wilayah yang dipastikan merupakan pemilih kubu reformis justru dimenangi oleh kubu konservatif. Belum lagi dua jam setelah pemilu, pihak pelaksana pemilu sudah mengumumkan 40 juta suara untuk pihak Ahmadinejad. Tentu hasil tersebut mengejutkan kubu reformis dan tercium adanya aroma kecurangan yang dilakukan oleh kubu lawan. Di samping itu, pihak reformis mempunyai data tandingan yang membuktikan pihaknya memenangi pemilu. Atas dasar ini, kubu reformis melakukan protes di jalanan kota Teheran. Meskipun mereka dilarang oleh pemerintah yang sedang berkuasa, sejumlah media komunikasi seperti SMS, Facebook, situs, dan Youtube diberangus, tetapi pihak reformis tidak berdiam diri. Mereka justru melakukan demonstrasi tandingan yang bersifat masif di jantung kota Teheran. Pemandangan tersebut menunjukkan kontestasi antara mereka yang mendukung kontinuitas kepemimpinan Ahmadinejad dan mereka yang menginginkan perubahan. Dua kubu, yaitu konservatif dan reformis, sama-sama mempunyai massa pendukung yang relatif luas. Demokrasi Terlepas dari siapa yang memenangi pemilu di negeri yang dikenal dengan paham Syiah-nya itu, satu hal yang patut dicermati, demokrasi berlangsung setengah hati. Di satu sisi, demokrasi mulai akrab di tengah-tengah masyarakat Iran. Tetapi, di sisi lain, proses demokrasi tidak berlangsung secara terbuka, jujur, adil, dan rahasia. Thomas L Friedman (2009) memandang bahwa demokrasi masih belum banyak berubah di kawasan Timur Tengah dan Iran. Memang publik mulai menggunakan media komunikasi modern, seperti e-mail, telepon seluler, Facebook, Twitter, dan Youtube, untuk menggalang dukungan dan mengampanyekan visi-misi politiknya. Namun, hal tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pihak yang berkuasa. Mereka justru melakukan pemberangusan, yang menyebabkan tersumbatnya kanal-kanal dialog dan kontestasi di antara pihak-pihak yang sedang bersaing dalam pesta demokrasi. Dalam hal ini, seperti yang dikritik oleh Abdurrahman al-Kawakibi (2003), bahwa aral bagi kemajuan sebuah peradaban bangsa adalah kediktatoran, baik kediktatoran politik maupun kediktatoran agama. Keduanya merupakan masalah serius yang menyebabkan lahirnya keterpurukan dan kejatuhan sebuah peradaban. Siapa pun yang hendak menginginkan fajar kemajuan hendaklah kediktatoran dienyahkan dari muka bumi. Pandangan Al-Kawakibi tersebut masih terasa relevan untuk melihat sejauh mana demokrasi mengalami jatuh bangun. Ia hadir sebagai sebuah realitas yang tak terbendung. Namun, kepemimpinan yang diktatorial kerap kali menjadi penghambat demokrasi sebagai manifestasi kehendak rakyat untuk menuntut perubahan yang akan memihak kepentingan mereka. Pemilu di Iran secara implisit membuktikan betapa demokrasi yang tidak dilangsungkan secara transparan, jujur, dan adil akan menyebabkan petaka bagi warganya karena kontestasi akan berubah menjadi konfrontasi dan anarki. Apa yang terjadi di Iran pascapemilu membuktikan betapa aparat keamanan yang semestinya melindungi warga justru mencederai dan menangkap mereka yang tidak puas dengan hasil pemilu. Tentu sikap kubu Ahmadinejad yang represif tersebut menimbulkan tanda-tanya banyak pihak soal pemilu yang baru saja berlangsung. Sebab, jika pihaknya melakukan pemilu yang benar-benar jujur dan adil, tidak semestinya dilakukan tindakan represif terhadap lawan-lawan politiknya. Alih-alih ingin meredam pihak lawan, Ahmadinejad justru menganggap sikap kalangan reformis laksana mereka yang kecewa terhadap kekalahan dalam pertandingan sepak bola. Pada saat-saat protes berlangsung masif, sejatinya pihak Ahmadinejad dapat membuktikan kepada publik yang menentangnya perihal pemilu yang dilangsungkan sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan dalam undang-undang. Pelajaran Pemilu di Iran telah memberikan pelajaran yang amat berartitermasuk bagi kita di Indonesiabahwa jika demokrasi hanya dimaknai sebagai "pesta" dan "hiruk-pikuk" tanpa ada keterbukaan, keadilan, dan kejujuran, akan dilahirkan anarki. Demokrasi akan berubah dari esensinya sebagai konsensus menjadi ketidakpuasan yang menyebabkan instabilitas. Tentu dalam beberapa hari ke depan pihak Ahmadinejad sedang diuji oleh pengadilan tinggi perihal pemilu yang baru saja berlangsung. Jika ditemukan ada kecurangan, sebagaimana dituduhkan kalangan reformis, ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi. Sebaliknya, jika tuduhan tersebut tidak terbukti, ia akan menjadi pemimpin yang benar-benar mendapatkan mandat dari publik meskipun jalan ke depan masih sangat terjal dan suram. Zuhairi Misrawi Ketua Moderate Muslim Society http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/04230934/hiruk-pikuk.demokrasi.di.iran