Kompas, Senin, 12 Maret 2007 Keadilan, Ziarah Artikulatif BUDIARTO DANUJAYA Semakin gamblang, ke mana sandiwara prosedural tuntutan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terkait kasus Trisakti, Semanggi I, II, dan kerusuhan Mei 1998 akan dimuarakan. Dalam rapat tertutup Bamus DPR, Selasa (6/3), 6 fraksi menolak pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengungkap dugaan pelanggaran HAM berat, dan hanya 2 fraksi yang menyetujuinya. Peristiwa ini melengkapi kekhawatiran, upaya pencarian keadilan para korban HAM akan kandas lewat impunitas politis terselubung, yakni pembebasan dari tuntutan pelanggaran hukum lewat permainan prosedur politik, persis seperti terjadi pada DPR periode sebelumnya. Kekhawatiran ini berangkat dari kesadaran, tersangka sementaranya adalah para tokoh yang bukan hanya masih kokoh dalam percaturan politik nasional, tetapi juga berasal dari anasir yang pascapemilu justru ditengarai telah pulih dari cedera politik masa lampaunya. Gamblangnya, konstelasi politik pasca-Pemilu 2004 kian tak sanggup mengubah tarik-menarik kepentingan politik yang cenderung melalaikan bahwa hukum pertama dan terutama merupakan sarana menjejaki keadilan. Betapa pun hukum menyangkut prosedur, tetapi bukan semata-mata perkara prosedural seperti wujud banal politik pada tafsir sewenang-wenang atas model demokrasi formalistis. Tidakkah proses politik seharusnya berhenti saat proses hukum dimulai? Banyak kata "prosedur" Sandiwara prosedural itu harus kita prasangkai sejak Komisi III DPR dan Kejaksaan Agung saling lempar tanggung jawab ihwal siapa yang harus mendahului berinisiatif menindaklanjuti penemuan Komnas HAM. Sejak itu, kata "prosedur" bertaburan sebagai kiat mengelit dari beban politis mengambil inisiatif. Bagi Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, secara prosedural DPR seharusnya berinisiatif lebih dulu dengan mengirim surat permintaan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kepada Presiden. Alasannya, jika sudah melakukan penyidikan, apalagi mengajukan tuntutan, dan DPR menganggap peristiwa ini bukan pelanggaran HAM berat, Pengadilan HAM Ad Hoc pun tak terbentuk, tentu jadi konyol. Sementara Komisi III DPR beranggapan, secara prosedural, penyidikan sebaiknya dimulai, karena jika sebaliknya sudah disetujui pembentukan pengadilannya dan ternyata penyidikan tak berkembang menjadi tuntutan, juga menjadi konyol. Ketika Komisi III DPR berkirim surat kepada pimpinan DPR, Ketua DPR Agung Laksono melempar keputusan mengambil inisiatif ini ke Bamus DPR. Alasannya, ini bukan kewenangan alat kelengkapan, badan, atau pimpinan DPR. "Ini prosedur saja," ujarnya (28/2). Ketika Bamus DPR "menolak" pengagendaan masalah ini dalam rapat paripurna, Ketua Fraksi Golkar Andi Mattalatta mengatakan seharusnya Komisi III melaporkan dulu kajiannya ke pimpinan DPR, bukan ke Bamus. Lagi-lagi, "ada masalah prosedur" (7/3). Memang, hukum juga sebentuk prosedur, sebuah tata cara sehingga pelaksanaan hukum yang baik tak boleh grasah-grusuh menabrak prosedur. Namun, bagi yang pernah menyenggol bemper birokrasi di negeri ini tentu maklum, entah mulai kapan "atas nama prosedur" menjadi cara paling lazim untuk menyesatkan perkara ke rimba raya sehingga membuat mereka yang berkepentingan putus asa dan mundur teratur. Menilik bilangan waktu berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang mendekati satu dasawarsa, tentu tak butuh penalaran genius untuk menangkap kesejajaran strateginya. Ruang kesadaran demokratis Kekhawatiran ini menuntut kita saksama, sebagai sebentuk prosedur, hukum seharusnya sekadar tata cara dalam proses menjejaki "keadilan". Jadi, jadi bukan bahkan tak pernahmenjadi bentuk nyata dan final apalagi bisa menggantikan keadilan itu sendiri. Dengan demikian, bukan prosedur sebagai derivasi hukum yang harus didewa-dewakansehingga membuat berpuas diri seolah mengikuti prosedur sudah sama dengan melaksanakan fitrah keadilantetapi keadilan itulah yang seharusnya menjadi muara nilai, menjadi sasaran utama dan akhir proses hukum. Secara harfiah artinya, hentikan proses politik yang memalukan itu dan mulailah mengagendakan kehadiran sebuah pengadilan yang memadai untuk mewadahi rasa keadilan para korban. Dalam hubungan antara hukum dan keadilan, senantiasa terkandung makna penangguhan (suspended relation), karena perwujudan keadilan dalam sebuah praksis hukum adalah rangkaian proses utopis yang tak pernah tuntas, menilik perwujudan keadilan tak akan pernah sepenuhnya dilandasi oleh alasan-alasan legal yang memadai (Derrida: 1992 & 1997). Dengan demikian, dalam proseduralnya, keadilan harus selalu menjadi titik tuju ziarah artikulatif dari hukum sebagai sebentuk prosedur menjejaki "keadilan" sehingga hubungan keduanya ditandai proses ulang-alik pencocokan-penyempurnaan yang tak berkesudahan. Jika keadilan hendak dijadikan salah satu tujuan praksis politik, jarak teoretis antara hukum dan keadilan harus disadari dan dijaga, seperti halnya sebaliknya jarak praksis antarkeduanya harus didekatkan. Dengan demikian, terbuka rongga teoretis yang menjamin semua pihak di masyarakat untuk ikut memberi artikulasi dalam pembentukan hukum sebagai pemampatan penafsiran yang hidup dalam masyarakat mengenai "K"eadilan yang ideal itu. Kiranya, rongga inilah yang disebut ruang kesadaran demokratis karena jarak teoretis antara hukum dan keadilan lalu menjadi landasan konstitutifjadi yang membuat ada dan menjamin kehadiranruang publik. Dalam arti, rongga ini menyediakan ajang terbuka bagi segenap pihak untuk berpartisipasi dalam saling kritik, kontrol, sisip dan susup dalam menafsir perwujudan keadilan yang paling memadai bagi masyarakat pendukungnya. Jelas, mengagul-agulkan prosedur mengatasi rasa keadilan para korban justru semacam penutupan ruang politik (political closure) karena mengidap miopia. Rabun jauh mengakibatkan kegagalan melihat jarak utopis idealitas keadilan dalam sebuah praksis hukum yang penting bagi politik demokrasi sehingga malah mengira prosedur dan keadilan adalah dua perkara yang berimpit belaka. Kecenderungan ini merupakan kepura-puraan politis yang berbahaya karena secara tak langsung merupakan kekerasan politik atas hukum, atas rasa keadilan para korban. Perlu diingat, dari kacamata korban, kejahatan HAM mempunyai perbedaan hakiki dibandingkan korupsi. Korban kejahatan HAM selalu beridentitas. Karena itu selalu berwajah dan berkerabat, sehingga mengandaikan mulut takkan pernah berhenti menguarkan kegusaran akan rasa ketidakadilan. Sebuah bom waktu bagi kesejahteraan politik kita. Sebuah proses hukum sebagai penjejakan keadilan sejatinya tak membutuhkan legitimasi politik, sehingga izin politik dari siapa pun, termasuk DPR maupun Presiden, bagi penyidikan atas bentuk kejahatan apa pun, seyogianya tak perlu. BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat UI
--------------------------------- Sucker-punch spam with award-winning protection. Try the free Yahoo! Mail Beta.