http://kompas.com/kompas-cetak/0012/04/NASIONAL/buka28.htm
>Senin, 4 Desember 2000

Bukan Sekadar Nama 

FENOMENA kemunculan sekelompok anggota masyarakat yang mengikatkan diri dalam
sebuah komitmen ketika berhadapan dengan pemerintah tidak hanya menarik ditinjau dalam
dialektika kemunculannya belaka. Dalam penamaan ataupun penggunaan istilah
kelembagaan, bagi keberadaan lembaga ini menarik ditelaah. 

Betapa tidak. Untuk menyebut organisasi semacam ini tidak ada
kata sepakat untuk menyebut sebuah istilah baku. Maka, tidak
heran, muncul istilah organisasi nonpemerintah (Ornop) dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Di samping itu, muncul pula variannya
seperti organisasi sukarela (voluntary organization), kontraktor
pelayanan umum (public service contractor), LSM "pelat merah", dan
beberapa istilah lain. 

Semula, kehadiran organisasi ini dikenal dengan nama Ornop. Istilah
ini muncul sebagaimana terjemahan dari nongovernment organization
(NGO). Dalam perkembangannya, istilah ini memang masih tetap
digunakan oleh sebagian kalangan. Oleh mereka, istilah ini sengaja
dipergunakan merujuk pada dikotomi ideologis maupun politis antara
pemerintah (government) dan nonpemerintah (non government).
Dalam salah satu makalahnya, MM Billah, salah seorang tokoh
dalam kehidupan Ornop memandang pemisahan seperti itu, secara
tegas menggambarkan posisi konfliktual antara pemerintah dan
organisasi tersebut. Sementara, dalam pemahaman lain,
penggunaan istilah Ornop juga menggambarkan hubungan antara
pemerintah dengan organisasi bagai dua entitas sejajar, mandiri, dan
tidak terhegomoni oleh satu terhadap yang lainnya.

Dalam perkembangannya, muncul nama LSM dan Lembaga
Pengembangan Swadaya masyarakat (LPSM) yang mencoba untuk
menggantikan istilah Ornop. Semula, istilah ini pertama kali
dikenalkan oleh Sarino Mangunpranoto, mantan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang juga dikenal sebagai salah seorang tokoh
berpengaruh dalam gerakan Taman Siswa (Rahardjo, 1990). Namun,
oleh sebagian kalangan penggunaan nama tersebut dianggap justru
semakin mengaburkan makna sesungguhnya. 

Mereka yang kurang menyetujui penggunaan istilah LSM sedikitnya
memiliki dua pertimbangan. 
Pertama, penggunaan nama LSM dianggap sebagai upaya
mendepolitisasi rakyat. Seperti yang dipaparkan sebelumnya,
penggunaan istilah seperti itu dianggap menghilangkan posisi
konfliktual kedua entitas, yakni masyarakat sipil dan pemerintah.
Pandangan seperti ini menjadi semakin beralasan lagi mengingat
sepanjang rezim Orde Baru berkuasa dikenal tidak mengenal bahkan
mengharamkan adanya oposisi. Saat itu, setiap organisasi di luar
pemerintah dianggap sebagai mitra pemerintah-jika tidak merupakan
bagian dari pemerintah-dalam tugas-tugas menyukseskan
pembangunan. 

Kedua, mereka menganggap penggunaan kata swadaya pun
dianggap terlalu berlebihan. Swadaya mencerminkan sebuah upaya
yang dilakukan dengan segenap kekuatan yang dimiliki. Merujuk
pengertian ini, sebuah LSM sepantasnya berkiprah dengan segenap
kekuatan yang dimilikinya tanpa adanya campur tangan pihak lain,
baik dari segi pendanaan, maupun teknis operasional. 
Melihat kondisi saat ini, tentu semua itu dinilai terlalu mengada-ada,
jauh panggang dari api. Dalam pendanaan, misalnya, hampir
sebagian besar LSM bergantung pada sumber-sumber dana yang
berasal dari pihak ketiga (funding agency).

***

BAGAIMANAPUN, penamaan dapat mencerminkan kiprah sebuah
organisasi. Secara konseptual, sebenarnya organisasi
nonpemerintah sering didefinisikan sebagai segala macam organisasi
yang bukan milik pemerintah dan bertujuan tidak mencari
keuntungan (nonprofit oriented). Pengertian seperti ini memang
tergolong sederhana. Paling tidak, dari sisi kelembagaan, pengertian
ini berguna untuk memisahkan LSM yang sebenarnya merupakan
bentukan atau milik pemerintah (Government NGO, atau GONGO),
atau sering disebutkan LSM "pelat merah", dan yang sama sekali
tidak berkaitan dengan pemerintah. Mengandalkan pengertian seperti
itu, tentu belum banyak membantu. Persoalannya, meskipun
sama-sama tidak berorientasi pada keuntungan dan sama-sama
bukan milik pemerintah bagaimana membedakan LSM satu dengan
lainnya?

Sumber kekuatan dan sumber dana dapat menjawab persoalan ini.
Di antara berbagai pandangannya, David Korten (1993) memisahkan
antara organisasi sukarela dan organisasi yang berperan sebagai
kontraktor pelayanan umum. Dari segi sumber kekuatan maupun
dana, organisasi sukarela dibentuk oleh masyarakat, dari
masyarakat, dan untuk masyarakat.

Sementara, organisasi kontraktor pelayanan umum, sebagaimana
sebuah kontraktor, ia berkiprah untuk masyarakat namun kekuatan
dan pendanaan tidak langsung berasal dari masyarakat. Untuk yang
terakhir, bisa saja komitmen pada masyarakat tertanam, namun
tetap saja ia bukan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Tidak
berlebihan, bila dikatakan itulah wajah kebanyakan organisasi non
pemerintah di negeri ini. (bes/Litbang Kompas ) 

-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mo ndaftar :    [EMAIL PROTECTED]
Arsip lengkap Berita-berita Lingkungan Hidup di Indonesia, silahkan klik:
        http://www.egroups.com/group/berita-lingkungan/messages
--------------------------------------------------------------------------------------------------------

---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke