~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Layanan Informasi
Aktual [EMAIL PROTECTED] ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Selasa, 18 Nov 2003 KUHP, Santet, dan Zina
Oleh J.E. Sahetapy * The important thing is not thinking
correctly, but acting rightly - David K. Clark and Norman L. Geisler
-
Belakangan, media massa sering menyiarkan berita bertalian dengan
esensi judul tersebut di atas yang dilansir oleh pejabat dari Kuningan.
Tanggapan melalui media massa dari pelbagai pakar hukum, politisi, dan kaum awam
bermacam-macam.
Maklumlah, motivasi berita dari Kuningan itu tidak jelas,
kecuali mungkin bertalian dengan mencari popularitas murah menjelang Pemilu
2004. Sebab, bagaimanapun DPR terlalu sibuk dengan pelbagai perundangan dan
waktu. Menjelang Pemilu 2004 tidak memungkinkan untuk membahas RUU KUHP. Lagi
pula, kalau akan dibahas, jelas dibutuhkan waktu yang panjang atau lama, mungkin
setelah Pemilu 2004.
Tulisan ini bermaksud meluruskan berita dari
Kuningan dan hendak mengklarifikasi berita yang tidak jelas ujung pangkal,
apalagi pejabat dari Kuningan menyangkutpautkan nama saya. Padahal, kata orang
Belanda, hij heeft geen kaas der van gegeten.
Dengan perkataan lain,
pejabat itu -meminjam ungkapan anak muda sekarang- adalah asbun (asal bunyi).
Mengapa demikian? Ibarat pepatah Belanda, sekali lagi, hij heeft wel de klok
horen luiden, maar weet niet waar de klepel hangt. Dengan kata lain, ia diberi
penjelasan oleh pembantunya yang ternyata juga asbun.
Beberapa waktu lalu
seorang kiai politisi berseloroh sambil bergurau demikian: Seorang politisi
selalu berbohong, asal tidak diketahui. Selanjutnya ditambahkannya, seorang
ilmuwan bisa saja salah, tetapi tidak mau berbohong. Hal itu berlaku secara
mutatis mutandis juga untuk tulisan ini.
Di kandang serigala di Senayan
saya tidak pernah mau meninggalkan pola pikir kampus. Fakta berbicara untuk
dirinya sendiri dalam konteks tersebut. Bahkan, seorang dosen yang kini
berkiprah di dunia politik berbisik bahwa seorang pejabat diejek para
mahasiswanya karena pejabat tersebut berpretensi pakar spesialis.
Spesialisasinya apa, kendati dia berpretensi tujuh matakuliah diajarkannya.
Pusing juga tujuh keliling mendengar obrolannya.
Sebetulnya dia patut
diberi kualifikasi spesialimum kata para mahasiswa dari dosen politisi tadi. Apa
artinya itu? Dia sebetulnya, kata dosen politisi tadi, bukan spesialis, tetapi
cuma pakar umum.
Ketika para pejabat di Kuningan belum berkuasa, para
pakar dan saya sudah lama sekali terlibat dalam penyiapan penyusunan kembali RUU
KUHP. Terakhir kali saya dilibatkan sepuluh -sekali lagi sepuluh- tahun yang
lampau, ketika konsep RUU KUHP diserahkan kepada Menkeh (waktu itu) Ismail
Saleh.
Sejak itu, baik saat Menkeh Muladi maupun menkeh-menkeh
berikutnya, saya sama sekali tidak disangkutpautkan lagi. Jadi, dari mana
insinuasi bahwa saya yang menyusun RUU KUHP? Lagi pula, ada tim penyusun dan
bukan satu orang seperti yang sengaja difitnahkan. Juga saya bukan ketua
timnya.
Ketika almarhum Prof Sudarto menjadi ketua Tim RUU KUHP, saya
mendapat tugas ke Belanda untuk mengkaji usul saya agar RUU KUHP cukup terdiri
atas dua buku saja, yaitu yang umum Buku I, dan Buku II yang hanya memuat
kejahatan. Buku III yang memuat pelanggaran digabung beberapa pasal yang relevan
ke dalam Buku II.
Di Belanda saya disambut sinis. Mengapa harus dibikin
cuma dua buku! Dengan santai saya jawab: mengapa Code Penal dari Prancis yang
empat buku dijadikan cuma tiga) buku oleh Belanda. Kemudian, saya beri
penjelasan panjang lebar dari segi kriminologi, viktimologi, dan tentu dari segi
keilmuan dan secara yuridis.
Akhirnya Prof Schffmeister dan Prof Keyzer
yang diperbantukan oleh Badan Kerja Sama Indonesia-Belanda pada waktu itu
setuju. Demikian pula usul saya agar tidak lagi dibedakan antara doodslag (pasal
339) dan moord (pasal 340) juga dapat dipahami. Tetapi, mitra kerja di Indonesia
dengan susah payah dapat diyakinkan.
Sebagai promotor dari Lokollo yang
menulis tentang pidana denda, oleh Prof Mardjono Reksodiputro pada waktu itu
diusulkan agar dipertimbangkan gagasan W.v.S Nederland untuk diikuti. Juga
sekaligus gagasan pidana minimum agar bisa diterapkan.
Perdebatan seru
terjadi ketika membahas gagasan santet. Kebetulan ketika itu terjadi banyak
pembunuhan bertalian dengan santet di Jawa Timur. Saya termasuk orang yang
menentang gagasan santet sebagai suatu delik. Selain berupa kemunduran berpikir
ke abad pertengahan di Eropa dan sulit pembuktian, gagasan santet dari Prof
Barda Nawawi yang didukung Prof Muladi akhirnya dimasukkan juga dalam bentuk
delik formal.
Saya masih ingat betul agar dicantumkan pro memorie
bertalian dengan sikap penolakan saya terhadap santet. Lagi pula, kalau santet
itu ampuh, mengapa para koruptor tidak disantet saja?
Saya agak heran dan
bertanya-tanya, apa sesungguhnya maksud Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza
Mahendra dalam majalah Forum yang mengatakan, "lho, yang menyusun KUHP Prof Dr
J.E. Sahetapy, yang beragama Kristen... dan sekali lagi yang menyusun KUHP ini
dalah Prof Dr J.E. Sahetapy yang orang Kristen. Dia orang Kristen, bukan orang
Islam. Kenapa dia susun seperti itu, saya pikir, Sahetapy benar."
(ForumKeadilan, No 25, 26 Oktober 2003).
Betapa dangkal sikap dan
pemikiran Yusril. Saya orang Indonesia dan bukan orang Kristen. Agama yang saya
imani memang Kristiani. Tetapi, apa relevansinya? Sebagai guru besar yang
profesional pada waktu itu dan hingga sekarang, sikap dan pemikiran saya adalah
yuridis profesional yang didukung pola pikir kriminologis dan viktimologis.
Tidak ada sangkut paut dengan agama dan keyakinan iman saya. BASTA!
Saya
sama sekali tidak habis pikir bahwa orang dengan gelar profesor yang notabene
menteri, memiliki pola pikir rancu. Jangan-jangan dengan merujuk pada seloroh
kiai politisi itu Yusril adalah "Dr Jekyll and Mr Hyde."
Saya berpikir,
apakah dalam alam globalisasi dan modern ini masih ada raison d’etre untuk
santet. Kalau memang santet ampuh, kenapa para elite politik dan para pejabat
yang korup tidak disantet saja, daripada susah-susah membentuk TPTPK (Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Secara kriminologis dan viktimologis,
percaya pada santet adalah absurd. Demikian pula dengan zina secara mutatis
mutandis. Kalau zina dijadikan delik, saya khawatir banyak orang, termasuk
pejabat, akan dijerat sehingga penjara dari Sabang sampai Merauke tidak cukup
untuk menampung mereka semua. Secara kriminologis masih harus dikaji apakah zina
inklusif adultery, fornication, atau prostitution.
Dari segi iman
Kristiani, jangankan berzina, melihat perempuan dan terangsang hawa nafsu, itu
pun berzina. Padahal, orang tidak bisa dihukum hanya karena berpikir jahat.
Untuk itu masih perlu actus reus. Bukankah adagium hukum pidana secara jelas
menyatakan: actus non facit reum, misi mens sit rea alias an act does not make a
person guilty, unless his mind is guilty. Doktrin ini kini dikalahkan dengan
dapat dipidananya korporasi.
Sejak Ismail Saleh, kemudian Muladi, Lopa,
dan Yusril, saya tidak pernah dilibatkan lagi dalam RUU KUHP. Jika saya masih
dipakai dan terpilih lagi sebagai anggota DPR 2004, hendaknya agama siapa pun
jangan disangkutpautkan. Kalau mengkaji RUU KUHP, yang perlu dicermati adalah
scale of social values dalam arti luas. Perdebatan dengan rujukan religiusitas
boleh-boleh saja, tetapi bukan secara substantif, sebab negara RI bukan negara
agama.
*. Pro Dr J.E. Sahetapy, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan
(PDIP) http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=73489
|