Keliru besar! Pembantaian terjadi khususnya dalam kurun waktu 1966-1968. Jadi 
jelas sesudah supersemar dan sesudah kekuasaan secara de facto ada di tangan 
Suharto.
 
Sarwo Edhie itu awalnya tak tahu apa yang sebetulnya terjadi pada peristiwa 30 
september. Dia lalu dijemput oleh Jendral Kavaleri Herman Sarens Sudiro yang 
datang ke Cijantung naik panser (dengan topi koboinya yang khas itu). Tadinya 
Sarwo curiga Herman Sarens di pihak mana, tapi lalu Herman Sarens mengatakan 
dia datang atas perintah Suharto. RPKAD diminta untuk bantu menangani kudeta, 
yang konon dilakukan PKI, atas pemerintahan yang sah (Sukarno).
 
Tampaknya yang terjadi sesudah itu adalah RPKAD menyusun strategi perang 
rahasia (sandi yudha) yang intinya menggalang kekuatan-kekuatan sipil untuk 
dijadikan perpanjangan tangan militer dalam melakukan pembantaian terhadap 
mereka yang dituduh atau dicurigai sebagai anggota/simpatisan PKI.
 
Simpulan: Sarwo Edhie terlibat langsung, tapi bukan atas inisiatif sendiri, 
melainkan ada instruksi dari Suharto sebagai panglima kostrad yang punya 
wewenang mengambil alih pimpinan angkatan bersenjata ketika para petingginya 
vakum.
 
manneke

--- On Mon, 1/4/10, Adyanto Aditomo <adyantoadit...@yahoo.co.id> wrote:


From: Adyanto Aditomo <adyantoadit...@yahoo.co.id>
Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: BPK Bohong! KK dan KSSK Ada Dalam UU & 
PERPPU
To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Received: Monday, January 4, 2010, 4:26 AM


 



Kalau gak salah, sebagian besar proses pembantaian tersebut terjadi sebelum 
keluarnya Supersemar yang keluar pada tanggal 11 maret 1966, yaitu antara 1 
Oktober 1965 sampai 10 Maret 1966, sehingga tidak jelas, siapa sebetulnya yang 
memerintahkan Sarwo Edhi melakukan pembantaian tersebut.
Banyak yang menduga itu merupakan inisiatif pribadi dari Sarwo Edhi yang sangat 
haus darah.
Hanya saja belakangan Suharto mengambil alih tanggung jawab pembantaian 
tersebut, walaupun sebagian besar dilakukan sebelum keluarnya Supersemar, 
dengan tujuan untuk mengambil hati Kelompok Militer yang Sangat Anti Komunis, 
Kejam, Haus Darah dan Berdarah Dingin.
Saat keluarnya Supersemar, Suharto belum sepenuhnya menguasai negri ini, karena 
sebagian Militer masih dibawah Komando para jendral yang setia pada Sukarno dan 
sebagian lagi oleh Jendral yang menentang Sukarno tetapi tidak mendukung 
Suharto.
Akibatnya, kebenaran menjadi sulit terungkap.
 
Salam,
 
Adyanto Aditomo

Kirim email ke