Saran saya sebaiknya, Seluruh Purnariawan  TNI & Polri segera bertemu Presiden 
SBY guna menyampaikan uneg2nya tentang perilaku Malaysia terhadap Indonesia 
selama ini serta sikap pemerintah Indonesia yang tidak tegas.

Begitu pula para prajurit TNI, mereka harus menyuarakan isi hatinya terhadap 
perilaku pongah dan sok jagoan Malaysia terhadap Indonesia.

Tegaskan kepada Presiden, bahwa TNI tak ingin perang dengan Malaysia, tapi 
Malaysia sesekali perlu ditampar agar dia mengerti !

Salam hangat,
Suhaimi


  ----- Original Message ----- 
  From: iwan piliang 
  To: forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com ; jurnali...@yahoogroups.com ; 
mediac...@yahoogroups.com ; presst...@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, August 16, 2010 2:44 PM
  Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Sketsa Puasa 2 : Berpuasa Berserial Animasi 
Malaysia


    
  Serial Upin Ipin, diputar berulang di TPI. Ceritanya kuat, 
  walaupun secara teknis animasi,  visual tokoh utamanya hanyalah dua 
  bocah kembar plontos, minimalis; bersekolah, bermain, berkehidupan di 
  kampung. Literair  penggalan pengalaman  saya di industri animasi, 
  berupaya lalu  patah di tengah jalan  mengindustrikan animasi di 
   Indonesia. Padahal kemampuan animator kita, jauh lebih baik dari 
  Malaysia. Sama dengan lebih unggulnya skill anak Indonesiadi industri 
perminyakan. Setidaknya Dt. Noor M. Chalid, kartunis Kampong Boy,
  pernah ingin mengorder animasi ke saya. Pada13 Agustus lalu rasa 
  keindonesiaan kita seakan ditampar  oleh ditembaknya  kapal Patroli 
  Departemen Kelautan RI diwilayah RI, oleh Polisi Perairan Diraja 
  Malaysia. Mereka menangkap tiga petugas kita. Saya menyebut langgam 
  Malaysia ini bagaikan Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia . Kata orang 
  kampung saya, mereka  ongeh - - setingkat di atas congkak. Tarian Randai
  Sungai Geringging, tanah kelahiran saya, pernah pula diaku Malaysia 
  sebagai keseniannya. Namun Upin dan Ipin tetaplah menghibur! Mana serial
  animasi kita? TIGA anak
  saya lelaki. Mereka sepuluh, delapan dan tiga tahun. Dua anak  tertua 
  kini sudah menjalankan ibadah puasa penuh.  Hiburan utama kami di saat 
  makan sahur bersama keluarga di Ramadan kali ini menyimak  penggelan 
  serial animasi Upin-Ipin, produksi Malaysia disiarkan oleh TPI. Di
  sebuah serialnya, Ipin membayangkan berbuka puasa melahap ayam goreng. 
  Lalu kakaknya,  Ros, mengajaknya berbelanja ke pasar. Kak Ros memberikan
  lembaran ringgit, sedianya dibelikan untuk dua tiga potong ayam sahaja.
  Namun  Upin dan Ipin, justeru merasa dapat angin. Mereka membelanjakan 
  semua ringgit ke aneka  ayam; ayam golek, ayam madu, ayam goreng, ayam 
  bakar, ayam pandan. Di pasar mereka melihat  Mail,  teman sekelas, menjual 
ayam goreng kegemaran Ipin. "Kau belilah ayamaku ni 'Pin, emak aku buat, 
enaklah!" Mail berpromosi. Si kembar itu pun sepakat membeli. Tak 
tanggung-tanggung, semua ayam goreng dagangan Mail bersisa,mereka borong.Visual 
Upin dan Ipin menenteng beragam bungkusan serba ayam dengan riang pulang. 
Tinggallah Kak Ros  manyun terperangah, segenap  ringgit   telah berganti ayam. 
Di meja makan berbuka puasa. Meja penuh dengan  hamparan piring berisi  aneka 
penganan serba  ayam. "Kau habiskan itu semua," ujar Ros ke Upin dan Ipin. 
Wajah Ros dongkol. "Tak lah Kak, tak kuat lagi kami makannya." suara Upin dan 
Ipin memelas. Susana
  di ruang makan di kampung melayu, Malaysia,  itu. Opa- - nenek - - lalu
  menasehati Upin dan Ipin dengan suara khas, bijak, bahwa kalau lagi 
  berpuasa, di siang hari,  memang serasa semua makanan seakan 
  terlahap,namun nyatanya di saat  berbuka, sedikit sahaja  dimakan, perut
   sudah berasa kenyang. Khas duniakanak-kanak, khas Melayu. "Betul, 
betul,betul!"  ungkapan khas  Ipin. Ia  acap mengulang ucapan lema betul, 
bentuk  persetujuannya  akan sesuatu. Lalu anak Indonesia mengenallah budaya 
Malaysia melalui animasi. Berlanjut membanjirlah merchandising Upin Ipin, 
termasuk mewabah mainan tangkai es krim, diantaranya. Lantas  pertanyaannya, 
mana budaya kita, mana industrianimasi Indonesia?   PANTASKAH saya bertanya ? 
Setelah
  mencoba berbisnis di jasa iklan sejak berhenti  jadi wartawan dari 
  majalah SWA pada 1989, dari 1993 hingga 1995, saya  fokus 
  memproduksiserial animasi. Alasan saya ketika itu sederhana saja. Bahwa 
  menjadi pengusaha haruslah punya produk dan atau jasa yang masuk ke 
  pasaran. Itu pengusaha! Kalimat itu terus saya 
  sosialisasikan di setiap menulis mengupas kewirausahaan hingga kini. 
  Konon, kemajuan Cina dahsyat kini, tiada lain karena kegigihan 
  membanjiri dunia dengan manca-ragam produk. Nah setelah  
  "capai" di jasa yang saya rasakan lebih banyak tangan "di bawah", saya 
  memilih industri tak dilirik orang ramai. Yakni serial animasi. Pilihan 
  saya kala itu animasi wayang, dengan membuat karakter anak-anak, ada 
  yang plontos macam Upin Ipin, namun berbaju wayang. Saya memilih judul  
  Burisrawa, berdialek Batak. Mengapa wayang? Sulit bagi 
  saya kala itu membuat cerita berserial banyak. Cerita Kancil saja, untuk
  dijadikan enam episode masing-masing 24 menit  - - untuk siaran 
  setengah jam - - sudah seret kisahnya. Saya memilih Wayang Carangan, 
  yang tak akan habis dikembangkan kisahnya hingga beratus serial. Maka
  singkat kata, setelah sempat melihat-lihat ke Disney, AS, saya pun 
  mengumpulkan animator 2D terbaik negeriini, dan membenamkan segenap uang
   yang dihimpun  seperak dua perak dari usaha selama lima tahun, lalu 
  fokus membuat serial animasi. Sesungguhnya  serial animasi
  itu gampang menghitung bisnisnya. Harga penjualan paling murah serial 
  itu per episode US $ 1.000, lalu jika kita sudah memproduksi 52 episode,
  untuk setahun, diputar seminggu sekali,maka perpaket US $ 52.000. Untuk
  melego ke-1.000 stasiun teve menayangkan di pasar global sesuatu yang 
  dapat dijangkau. Maka jika seribu teve manca negara 
  membeli, akan didapat US $ 52 juta, alias Rp 500 miliar lebih,  belum 
  termasuk pendapatan penjualan karakter untuk merchandising. Anggaplah 
pesimis, 10% saja jangkauan penjualan, masih diraih US $ 5,2 juta."Untuk
  meraih seribu televisi, bukan suatuyang sulit, Karena di suatu negara 
  televisi lebih dari satu, belum termasuk hak ulang siar," ujar David C. 
  Fill, Direktur Burbank, Sydney, perna hmengunjungi studio animasi  saya
  awal 1995. David pula yang melihat potensi Burisrawa 
  dengan perbaikan penambahan dialog. Ia menyanggupi memasarkan ke Eropa, 
  Asia, Timur Tengah. Amerika Serikat  tidak bisa tembus, karena karkter 
  yang kami buat terlalu tradisional. Maka ketika satu episode serial Burisrawa 
yang kami produksi kelar, saya pun membuat sebuah event di Hotel Le Meredien
  pada awal 1994, membedah produksi kami. Hadir seratusan pakar, 
  budayawan, kalangan DPR, pemerhati anak. Kritik dan pujian mengalir. Episode
  pertama itu pula yang membuat Datok Noor M. Chalid - - akrab dengan 
  tokoh kartunnya: Lat - -  menerima saya di Kuala Lumpur, 11 
  Februari1995. Ia menjemput saya ke bandara dengan Pajero, yang ia 
  kemudikan sendiri. Ia mengajak ke sebuah klub eksekutif  tak jauh dari 
  Masjid Raya, Kualalumpur. Di sana sambil makan siang dengan  nasi 
  beralaskan potongan utuh daun pisang, kami saling tertawa, bagaimana 
  serial Kampong Boy, dibuat di Kanada, sebagain proses dikerjakan oleh 
  animator Filipina. "Batang kelapa berdau npisang, pisang 
  berdaun kelapa. Pedati jadi macam kereta kuda kerajaan, " ujar "Lat". 
  Kami lalu terbahak-bahak, menertawakan para desain karakter Kanada tidak
  pula tahu tahu beda kelapa dan pisang, juga pedati  hanya gerobak, 
  kayu  segi empat ditarik sapi atau kerbau. "Segera tahun 
  depan, saya akan berkunjung ke studiomu, kita jajaki kerjasama produksi,
  karena di Indonesia biaya produksi rendah," ujarnya. Rencana 
  Datok "Lat" itu tak pernah kesampaian. Sebab di penghujung 1995, 
  seluruh dana produksi yang saya miliki dengan jumlah seria lanimasi 
  kelar 6 eposide, mencapai hampir Rp 2 miliar terbenam sudah. Pre Letter of 
Intent
  dari sebuah televisi lokal yang berkenan membeli dan menayangkan, tak 
  kunjung kontrak. Padahal saya berkenan mereka beli di harga berapa saja.
  Toh sudah ada komitmen pasar global.  Karena tiadanya kontrak, saya 
  kesulitan mencari loan ke perbankan lokal. Produksi
  yang rampung  enam episode itu mustahil dipasarkan, karena untuk tayang
  setidaknya perlu 13 episode, dan untuk dijual ke pasar globali dealnya 
  52 episode satu paket, minimum 26 episode. Maka khatam sebuah upaya membangun 
sebuah animasi dalam kerangka industri itu. Sepuluh
   tahun silam kepada Agung Sanjaya, animator di Bali,  memiliki studio 
  mengerjakan bagian proses animasi untuk banyak produksi serial Jepang, 
  seperti Dora Emon, Candy-Candy, bahkan untuk Film Animasi layar Lebar 
  Jepang, saya sampaikan ide untuk ke depan memproduksi serial  Wayan dan 
  Made.  Sebab dari Sanjaya saya mengerti bahwa Jepang tidak
  bakalan mendukung industri animasi negara lain. Karenma itu salah satu 
  credential asset mereka, baik sebagai industri, maupun penetrasi budaya.
  Di Bali orang kita hanya menjadi tukang yuntuk Jepang, sebatas meraih 
  gaji tak seberapa. Maka, ide tinggallah ide. Kini Indonesia, heboh Upin Ipin. 
Mencari permodalan untuk bisnis kreatif di Indonesia amatlah sulitnya. Apalagi 
yang namanya venture capital riil yang saya teriakan sejak 25 tahun lalu, untuk 
dunia industri kreatif Indonesia, hingga kini masih isapan jempol belaka.   DI 
MEJA saya
  ketika menuliskan literair ini, menggeletak buku Undang-Undang Nomor11,
  2008, tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE). Di bagian halaman 
  awalnya ,ada tanda tangan seorang Dirjen Aplikasi Telematika, 
  Depkominfo. Pada awal ia menjabat sempat saya paparkan potensi Indonesia
  di konten dan animasi. Karena, Departemen inilah salah satu yang 
  sedianya mampu mengembangkan animasi menuju industri, bekerjasama dengan
  Depertemen Perindustrian dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun
  belakangan hari, sang Dirjen boro-boro mengembangkan industri animasi 
  untuk konten telematika, malah membuat UU ITE yang mengakibatkan ranah 
  kehidupan seakan gonjang-ganjing, bahkan seorang ibu menyusui macam 
  Prita Mulyasari, harus dibuikan tanpa bisa pamit ke anaknya yang lagi 
  disusui. Kala itu saya menggugat UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK), seakan 
seorang diri. Kawan-kawan media kal aitu belum ngeh.
  Sang Dirjen, di persidangan sempat membawa artis Azhari bersaudara, 
  sehingga  konten pasal 27 ayat 3 yang saya gugat, soal beratnya hukuman 
  ihwal pencemaran nama baik, seakan beralih ke sisi privat artis yang 
  harus dilindungi. Dan kuat dugaan saya sang artis datang ke MK dibayar 
  dengan  uang Departemen, uang rakyat. Kini mantan  Dirjen 
  itu sudah pula menjadi Komisaris sebuah bank BUMN papan atas. Dilihat 
  dari iportofolio karirnya,  mampu melompat-lompat dalam hitungan pendek;
  Sebelumnya Kepala PT Pos Sumut, lalu  tak sampai setahun  jadi salah 
  satu jajaran pimpinan Percetakan Uang Negara RI (Peruri). Maka pahamlah 
  saya, bahwa bicara dengan pejabat  negara, menjadi seakan menghadapi 
  tembok. Di Departemen Perindustrian, saya pernah merintis 
  pengadaan motion capture. Alat untuk meng-capture gerak,sehingga 
  mempercepat proses produksi. Depertemen manganggarkan untuk dua tahun 
  uang negara Rp 3,7 miliar sesuai dengan alat asal Inggris yang saya 
  rekomendasikan: 18 kamera infra red, real time. Ketika 
  turun anggaran tahun pertama Rp 1,7 miliar,eh, kawan di AINAKI 
  (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia),  dimana organisasi ini
  saya salah satu pendiri - -  bahkan logonya pun goresan tangan saya 
  sendiri - -  bersama sang Depertemen, malah membeli kamera 
  berkualifikasi sangat rendah dengan spesifikasi kualitas VGA,yang tak 
  sampai Rp 200 juta didapat di p-asaran. Hal ini harusnya diverifikasi 
  KPK. Dengan membeli peralatan  dari Inggris, padahal tetap
  ada profit 5%,  industri tertolong peralatan terpakai untuk kepentingan
  industri secara riil. Dan di tahun berikutnya saya tak 
  tahu lagi. Konon alat yang telah  dibeli berkriteria VGA itu 
   menganggur. Padahal setelah motion capture, saya mengharapkan negara 
  mendukung pembelian jaringan komputer untuk merender: Rendering farm. Apa 
dinyana, wong motion capture gagal, apatah pula rendering farm. Saya
  kemudian lebih memilih menulis untuk publik. Dari jauh saya amati 
  banyak sekali sosok  mengaku begawan di dunia animasi di 
  Indonesia,tetapi belum ada yang mampu menjadi sebuah industri 
  memproduksi 52 episode. Maka ketika di event Indonesia  ICT Award  (INAICTA) 
2010 
  ini ada animasi 3D Larjo,  masuk sebagai pemenang, Riza 
  Endartama,animator, lalu menjawab ucapan selamat saya di facebook-nya, 
  "Iya kan berkat upaya  abang juga dulu." Ketika masih aktif di AINAKI 
  dulu, kami memang sempat meminta usulan kawan-kawan animator membuat 
  rencana  serial. Larjo (singaktan Lalar Ijo) salah satu yang terpilih 
  untuk dicarikan solusi menjadi serial, minimum hingga 26 episode, pada 
  2004 lalu. Kini dalam hati terkadang ada rasa bekecil hati; apalah kita 
dibandingkan Malaysia kini dengan Upin Ipin saja kita telap. Toh  Larjo saja 
barulah berdurasi 5 menit, untuk 13 episode. Saya
  terkadang senyum dikulum. Menertawakan diri sendiri: tahu jalan menuju 
  roma, apa daya tangan tak sampai. Jadi ingat sosok Jarjit Singh,  acap 
  berpantun di serial Upin Ipin, "Satu dua buah manggis, gagal tak usahlah
  menangis." He he he Begitulah 
  kawan-kawan,sebuah narasi tentang animasi yang tak kunjung menjadi 
  industri di negeri ini. Rindu akan pemimpin negeri ini paham akan 
  potensi dan peluang credential asset anak bangsanya. Selamat merayakan Har i 
Ulang tahun Kemerdekaan!*** Iwan Piliang, Literary Citizen 
Reporter,blog-presstalk.com

  [Non-text portions of this message have been removed]



  

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to