Serial Upin Ipin, diputar berulang di TPI. Ceritanya kuat, 
walaupun secara teknis animasi,  visual tokoh utamanya hanyalah dua 
bocah kembar plontos, minimalis; bersekolah, bermain, berkehidupan di 
kampung. Literair  penggalan pengalaman  saya di industri animasi, 
berupaya lalu  patah di tengah jalan  mengindustrikan animasi di 
 Indonesia. Padahal kemampuan animator kita, jauh lebih baik dari 
Malaysia. Sama dengan lebih unggulnya skill anak Indonesiadi industri 
perminyakan. Setidaknya Dt. Noor M. Chalid, kartunis Kampong Boy,
 pernah ingin mengorder animasi ke saya. Pada13 Agustus lalu rasa 
keindonesiaan kita seakan ditampar  oleh ditembaknya  kapal Patroli 
Departemen Kelautan RI diwilayah RI, oleh Polisi Perairan Diraja 
Malaysia. Mereka menangkap tiga petugas kita. Saya menyebut langgam 
Malaysia ini bagaikan Orang Kaya Baru (OKB) di Indonesia . Kata orang 
kampung saya, mereka  ongeh - - setingkat di atas congkak. Tarian Randai
 Sungai Geringging, tanah kelahiran saya, pernah pula diaku Malaysia 
sebagai keseniannya. Namun Upin dan Ipin tetaplah menghibur! Mana serial
 animasi kita? TIGA anak
 saya lelaki. Mereka sepuluh, delapan dan tiga tahun. Dua anak  tertua 
kini sudah menjalankan ibadah puasa penuh.  Hiburan utama kami di saat 
makan sahur bersama keluarga di Ramadan kali ini menyimak  penggelan 
serial animasi Upin-Ipin, produksi Malaysia disiarkan oleh TPI. Di
 sebuah serialnya, Ipin membayangkan berbuka puasa melahap ayam goreng. 
Lalu kakaknya,  Ros, mengajaknya berbelanja ke pasar. Kak Ros memberikan
 lembaran ringgit, sedianya dibelikan untuk dua tiga potong ayam sahaja.
 Namun  Upin dan Ipin, justeru merasa dapat angin. Mereka membelanjakan 
semua ringgit ke aneka  ayam; ayam golek, ayam madu, ayam goreng, ayam 
bakar, ayam pandan. Di pasar mereka melihat  Mail,  teman sekelas, menjual ayam 
goreng kegemaran Ipin. "Kau belilah ayamaku ni 'Pin, emak aku buat, enaklah!" 
Mail berpromosi. Si kembar itu pun sepakat membeli. Tak tanggung-tanggung, 
semua ayam goreng dagangan Mail bersisa,mereka borong.Visual Upin dan Ipin 
menenteng beragam bungkusan serba ayam dengan riang pulang. Tinggallah Kak Ros  
manyun terperangah, segenap  ringgit   telah berganti ayam. Di meja makan 
berbuka puasa. Meja penuh dengan  hamparan piring berisi  aneka penganan serba  
ayam. "Kau habiskan itu semua," ujar Ros ke Upin dan Ipin. Wajah Ros 
dongkol. "Tak lah Kak, tak kuat lagi kami makannya." suara Upin dan Ipin 
memelas. Susana
 di ruang makan di kampung melayu, Malaysia,  itu. Opa- - nenek - - lalu
 menasehati Upin dan Ipin dengan suara khas, bijak, bahwa kalau lagi 
berpuasa, di siang hari,  memang serasa semua makanan seakan 
terlahap,namun nyatanya di saat  berbuka, sedikit sahaja  dimakan, perut
  sudah berasa kenyang. Khas duniakanak-kanak, khas Melayu. "Betul, 
betul,betul!"  ungkapan khas  Ipin. Ia  acap mengulang ucapan lema betul, 
bentuk  persetujuannya  akan sesuatu. Lalu anak Indonesia mengenallah budaya 
Malaysia melalui animasi. Berlanjut membanjirlah merchandising Upin Ipin, 
termasuk mewabah mainan tangkai es krim, diantaranya. Lantas  pertanyaannya, 
mana budaya kita, mana industrianimasi Indonesia?   PANTASKAH saya bertanya 
? Setelah
 mencoba berbisnis di jasa iklan sejak berhenti  jadi wartawan dari 
majalah SWA pada 1989, dari 1993 hingga 1995, saya  fokus 
memproduksiserial animasi. Alasan saya ketika itu sederhana saja. Bahwa 
menjadi pengusaha haruslah punya produk dan atau jasa yang masuk ke 
pasaran. Itu pengusaha! Kalimat itu terus saya 
sosialisasikan di setiap menulis mengupas kewirausahaan hingga kini. 
Konon, kemajuan Cina dahsyat kini, tiada lain karena kegigihan 
membanjiri dunia dengan manca-ragam produk. Nah setelah  
"capai" di jasa yang saya rasakan lebih banyak tangan "di bawah", saya 
memilih industri tak dilirik orang ramai. Yakni serial animasi. Pilihan 
saya kala itu animasi wayang, dengan membuat karakter anak-anak, ada 
yang plontos macam Upin Ipin, namun berbaju wayang. Saya memilih judul  
Burisrawa, berdialek Batak. Mengapa wayang? Sulit bagi 
saya kala itu membuat cerita berserial banyak. Cerita Kancil saja, untuk
 dijadikan enam episode masing-masing 24 menit  - - untuk siaran 
setengah jam - - sudah seret kisahnya. Saya memilih Wayang Carangan, 
yang tak akan habis dikembangkan kisahnya hingga beratus serial. Maka
 singkat kata, setelah sempat melihat-lihat ke Disney, AS, saya pun 
mengumpulkan animator 2D terbaik negeriini, dan membenamkan segenap uang
  yang dihimpun  seperak dua perak dari usaha selama lima tahun, lalu 
fokus membuat serial animasi. Sesungguhnya  serial animasi
 itu gampang menghitung bisnisnya. Harga penjualan paling murah serial 
itu per episode US $ 1.000, lalu jika kita sudah memproduksi 52 episode,
 untuk setahun, diputar seminggu sekali,maka perpaket US $ 52.000. Untuk
 melego ke-1.000 stasiun teve menayangkan di pasar global sesuatu yang 
dapat dijangkau. Maka jika seribu teve manca negara 
membeli, akan didapat US $ 52 juta, alias Rp 500 miliar lebih,  belum 
termasuk pendapatan penjualan karakter untuk merchandising. Anggaplah 
pesimis, 10% saja jangkauan penjualan, masih diraih US $ 5,2 juta."Untuk
 meraih seribu televisi, bukan suatuyang sulit, Karena di suatu negara 
televisi lebih dari satu, belum termasuk hak ulang siar," ujar David C. 
 Fill, Direktur Burbank, Sydney, perna hmengunjungi studio animasi  saya
 awal 1995. David pula yang melihat potensi Burisrawa 
dengan perbaikan penambahan dialog. Ia menyanggupi memasarkan ke Eropa, 
Asia, Timur Tengah. Amerika Serikat  tidak bisa tembus, karena karkter 
yang kami buat terlalu tradisional. Maka ketika satu episode serial Burisrawa 
yang kami produksi kelar, saya pun membuat sebuah event di Hotel Le Meredien
 pada awal 1994, membedah produksi kami. Hadir seratusan pakar, 
budayawan, kalangan DPR, pemerhati anak. Kritik dan pujian mengalir. Episode
 pertama itu pula yang membuat Datok Noor M. Chalid - - akrab dengan 
tokoh kartunnya: Lat - -  menerima saya di Kuala Lumpur, 11 
Februari1995. Ia menjemput saya ke bandara dengan Pajero, yang ia 
kemudikan sendiri. Ia mengajak ke sebuah klub eksekutif  tak jauh dari 
Masjid Raya, Kualalumpur. Di sana sambil makan siang dengan  nasi 
beralaskan potongan utuh daun pisang, kami saling tertawa, bagaimana 
serial Kampong Boy, dibuat di Kanada, sebagain proses dikerjakan oleh 
animator Filipina. "Batang kelapa berdau npisang, pisang 
berdaun kelapa. Pedati jadi macam kereta kuda kerajaan, " ujar "Lat". 
Kami lalu terbahak-bahak, menertawakan para desain karakter Kanada tidak
 pula tahu tahu beda kelapa dan pisang, juga pedati  hanya gerobak, 
kayu  segi empat ditarik sapi atau kerbau. "Segera tahun 
depan, saya akan berkunjung ke studiomu, kita jajaki kerjasama produksi,
 karena di Indonesia biaya produksi rendah," ujarnya. Rencana 
 Datok "Lat" itu tak pernah kesampaian. Sebab di penghujung 1995, 
seluruh dana produksi yang saya miliki dengan jumlah seria lanimasi 
kelar 6 eposide, mencapai hampir Rp 2 miliar terbenam sudah. Pre Letter of 
Intent
 dari sebuah televisi lokal yang berkenan membeli dan menayangkan, tak 
kunjung kontrak. Padahal saya berkenan mereka beli di harga berapa saja.
 Toh sudah ada komitmen pasar global.  Karena tiadanya kontrak, saya 
kesulitan mencari loan ke perbankan lokal. Produksi
 yang rampung  enam episode itu mustahil dipasarkan, karena untuk tayang
 setidaknya perlu 13 episode, dan untuk dijual ke pasar globali dealnya 
52 episode satu paket, minimum 26 episode. Maka khatam sebuah upaya membangun 
sebuah animasi dalam kerangka industri itu. Sepuluh
  tahun silam kepada Agung Sanjaya, animator di Bali,  memiliki studio 
mengerjakan bagian proses animasi untuk banyak produksi serial Jepang, 
seperti Dora Emon, Candy-Candy, bahkan untuk Film Animasi layar Lebar 
Jepang, saya sampaikan ide untuk ke depan memproduksi serial  Wayan dan 
Made.  Sebab dari Sanjaya saya mengerti bahwa Jepang tidak
 bakalan mendukung industri animasi negara lain. Karenma itu salah satu 
credential asset mereka, baik sebagai industri, maupun penetrasi budaya.
 Di Bali orang kita hanya menjadi tukang yuntuk Jepang, sebatas meraih 
gaji tak seberapa. Maka, ide tinggallah ide. Kini Indonesia, heboh Upin 
Ipin. Mencari permodalan untuk bisnis kreatif di Indonesia amatlah sulitnya. 
Apalagi yang namanya venture capital riil yang saya teriakan sejak 25 tahun 
lalu, untuk dunia industri kreatif Indonesia, hingga kini masih isapan jempol 
belaka.   DI MEJA saya
 ketika menuliskan literair ini, menggeletak buku Undang-Undang Nomor11,
 2008, tentang Informasi Transaksi Elektronika (ITE). Di bagian halaman 
awalnya ,ada tanda tangan seorang Dirjen Aplikasi Telematika, 
Depkominfo. Pada awal ia menjabat sempat saya paparkan potensi Indonesia
 di konten dan animasi. Karena, Departemen inilah salah satu yang 
sedianya mampu mengembangkan animasi menuju industri, bekerjasama dengan
 Depertemen Perindustrian dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun
 belakangan hari, sang Dirjen boro-boro mengembangkan industri animasi 
untuk konten telematika, malah membuat UU ITE yang mengakibatkan ranah 
kehidupan seakan gonjang-ganjing, bahkan seorang ibu menyusui macam 
Prita Mulyasari, harus dibuikan tanpa bisa pamit ke anaknya yang lagi 
disusui. Kala itu saya menggugat UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK), seakan 
seorang diri. Kawan-kawan media kal aitu belum ngeh.
 Sang Dirjen, di persidangan sempat membawa artis Azhari bersaudara, 
sehingga  konten pasal 27 ayat 3 yang saya gugat, soal beratnya hukuman 
ihwal pencemaran nama baik, seakan beralih ke sisi privat artis yang 
harus dilindungi. Dan kuat dugaan saya sang artis datang ke MK dibayar 
dengan  uang Departemen, uang rakyat. Kini mantan  Dirjen 
itu sudah pula menjadi Komisaris sebuah bank BUMN papan atas. Dilihat 
dari iportofolio karirnya,  mampu melompat-lompat dalam hitungan pendek;
 Sebelumnya Kepala PT Pos Sumut, lalu  tak sampai setahun  jadi salah 
satu jajaran pimpinan Percetakan Uang Negara RI (Peruri). Maka pahamlah 
saya, bahwa bicara dengan pejabat  negara, menjadi seakan menghadapi 
tembok. Di Departemen Perindustrian, saya pernah merintis 
pengadaan motion capture. Alat untuk meng-capture gerak,sehingga 
mempercepat proses produksi. Depertemen manganggarkan untuk dua tahun 
uang negara Rp 3,7 miliar sesuai dengan alat asal Inggris yang saya 
rekomendasikan: 18 kamera infra red, real time. Ketika 
 turun anggaran tahun pertama Rp 1,7 miliar,eh, kawan di AINAKI 
(Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia),  dimana organisasi ini
 saya salah satu pendiri - -  bahkan logonya pun goresan tangan saya 
sendiri - -  bersama sang Depertemen, malah membeli kamera 
berkualifikasi sangat rendah dengan spesifikasi kualitas VGA,yang tak 
sampai Rp 200 juta didapat di p-asaran. Hal ini harusnya diverifikasi 
KPK. Dengan membeli peralatan  dari Inggris, padahal tetap
 ada profit 5%,  industri tertolong peralatan terpakai untuk kepentingan
 industri secara riil. Dan di tahun berikutnya saya tak 
tahu lagi. Konon alat yang telah  dibeli berkriteria VGA itu 
 menganggur. Padahal setelah motion capture, saya mengharapkan negara 
mendukung pembelian jaringan komputer untuk merender: Rendering farm. Apa 
dinyana, wong motion capture gagal, apatah pula rendering farm. Saya
 kemudian lebih memilih menulis untuk publik. Dari jauh saya amati 
banyak sekali sosok  mengaku begawan di dunia animasi di 
Indonesia,tetapi belum ada yang mampu menjadi sebuah industri 
memproduksi 52 episode. Maka ketika di event Indonesia  ICT Award  (INAICTA) 
2010 
 ini ada animasi 3D Larjo,  masuk sebagai pemenang, Riza 
Endartama,animator, lalu menjawab ucapan selamat saya di facebook-nya, 
"Iya kan berkat upaya  abang juga dulu." Ketika masih aktif di AINAKI 
dulu, kami memang sempat meminta usulan kawan-kawan animator membuat 
rencana  serial. Larjo (singaktan Lalar Ijo) salah satu yang terpilih 
untuk dicarikan solusi menjadi serial, minimum hingga 26 episode, pada 
2004 lalu. Kini dalam hati terkadang ada rasa bekecil hati; apalah kita 
dibandingkan Malaysia kini dengan Upin Ipin saja kita telap. Toh  Larjo saja 
barulah berdurasi 5 menit, untuk 13 episode. Saya
 terkadang senyum dikulum. Menertawakan diri sendiri: tahu jalan menuju 
roma, apa daya tangan tak sampai. Jadi ingat sosok Jarjit Singh,  acap 
berpantun di serial Upin Ipin, "Satu dua buah manggis, gagal tak usahlah
 menangis." He he he Begitulah 
kawan-kawan,sebuah narasi tentang animasi yang tak kunjung menjadi 
industri di negeri ini. Rindu akan pemimpin negeri ini paham akan 
potensi dan peluang credential asset anak bangsanya. Selamat merayakan Har i 
Ulang tahun Kemerdekaan!*** Iwan Piliang, Literary Citizen 
Reporter,blog-presstalk.com



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke