Menurut saya tidak perlu mengemis atau meminta2 sampai dikriminalisasi. Toh 
Nabi dan sahabat tidak pernah menghukum orang karena mengemis/minta2. Cukuplah 
itu sekedar sanksi moral saja.

Toh kita juga tidak tahu apakah orang mengemis/minta2 itu karena butuh atau 
sebetulnya sudah kaya/profesi.

11,5 juta rakyat Indonesia kena busung lapar dan beberapa di antaranya 
meninggal:
http://infoindonesia.wordpress.com/2008/03/17/dari-sabang-sampai-merauke-rakyat-indonesia-mati-kelaparan/

6 juta rakyat harus mencari kerja di luar negeri dgn resiko disiksa karena di 
sini sulit mencari kerja.

Dan saya juga pernah membaca bahwa pejabat yang minta agar pengemis itu 
diharamkan, perusahaannya justru mendapat/mengemis dana BLBI/KLBI sampai 
trilyunan rupiah.



--- Pada Sen, 31/8/09, Tunjung Utomo <tjthelea...@gmail.com> menulis:

> Dari: Tunjung Utomo <tjthelea...@gmail.com>
> Judul: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] "Ngemis" Kok Haram, "Nyolong" Tuh yang  
> Haram...
> Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
> Tanggal: Senin, 31 Agustus, 2009, 7:04 PM
> Pertama-tama Pak Suherman yang
> budiman, mohon perhatikan bahwa saya
> menggunakan kata "mengemis" bukan kata "meminta",dalam
> artian mengemis yang
> saya sebutkan disini adalah mengemis seperti yang kita
> pahami dalam budaya
> dan masyarakat kita,atau setidaknya yang saya pahami,yaitu
> menjadikan
> kegiatan meminta-minta sebagai gantungan hidup sehari-hari.
> Dengan
> demikian,meminta bantuan pada orang lain dengan secara
> insidentil,dan tidak
> menjadikannya sebagai mata pencaharian atau gantungan hidup
> tidak termasuk
> dalam apa yg saya maksud.
>
> Baiklah ini beberapa nash yang saya maksud :
>
> *"Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang
> terikat oleh jihad
> di jalan Allah mereka tidak dapat berusaha di muka bumi.
> Orang yang tidak
> tahu menyangka mereka orang-orang kaya karena menahan diri
> dari
> meminta-minta"*  [Al-Baqarah : 273]
>
> dalam ayat ini dijelaskan,bahwa justru orang yang menahan
> diri dari
> meminta-mintalah yang kita dahulukan untuk kita bantu.
>
> Hadits Ibnu Umar dari Rasulullah, beliau bersabda.
>
> *"Artinya : Senantiasa seseorang meminta-minta hingga ia
> datang pada hari
> kiamat tanpa membawa sekerat dagingpun di wajahnya"* 
> [Muttafaqun 'Alaihi]
>
> Hadits Az-Zubeir bin Awwam dari Rasulullah beliau
> bersabda.
>
> *"Artinya : Sekiranya salah seorang dari kamu membawa tali
> lalu pergi ke
> bukit untuk mencari kayu, kemudian ia pikul ke pasar untuk
> menjualnya demi
> mejaga kehormatannya, niscaya yang demikian itu lebih baik
> dari pada
> meminta-minta kepada orang lain, baik diberi maupun di
> tolak"*  [Hadits
> Riwayat Musim]
>
> Hadits Abu Hurairah dari Rasulullah beliau bersabda.
>
> *"Artinya : Barangsiapa yang meminta-minta untuk
> memperbanyak hartanya,
> tiada lain ia  hanyalah memperbanyak bara api kemudian
> terserah kepadanya
> akan memperbanyak bara api tersebut atau
> menguranginya"  *[Hadits Riwayat
> Muslim]
>
> Hadits Habsyi bin Junadah dari Rasulullah beliau bersabda.
>
> *"Artinya : Barangsiapa yang meminta-minta bukan karena
> kefakirannya, maka
> seakan-akan ia telah memakan bara api"*  [Hadits
> Riwayat Ahmad]
>
> Dua hadits terakhir ini berhubungan dengan pengemis yang
> tidak benar-benar
> miskin seperti yang saya maksud dalam tulisan saya dan
> kemudian ditanggapai
> oleh email saudara Iwan.
>
>
> Dari Qabishah bin Al Mukhariq Al Hilaly, Rasulullah
> shalallahu alaihi
> wasalam bersabda, “*Hai Qabishah, meminta-minta tidak
> dihalalkan kecuali
> bagi tiga orang : Pertama, seorang yang memikul tanggungan
> hamalah [hutang
> yang ditanggung dalam usaha mendamaikan 2 pihak yang
> bertikai], maka ia
> boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya
> kemudian berhenti
> meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang
> meludeskan seluruh
> hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia
> memperoleh apa yang dapat
> memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seseorang yang ditimpa
> kemelaratan,
> hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian
> : “Si Fulan
> telah ditimpa kemelaratan”, maka ia boleh meminta bantuan
> hingga ia
> memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selain
> dari 3 itu hai
> Qabishah, hanyal barang haram yang dimakan oleh si
> peminta-minta sebagai
> barang haram*.” [HR Muslim 1044]
>
> hadits terakhir ini terutama di poin ke-3 *
>
> Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang
> yang berakal dari
> kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa
> kemelaratan”
>
> menjadi dasar perlunya memberikan sedekah secara
> terorganisir,bukan secara
> orang-perorangan dan secara langsung diberikan pada orang
> yang kita lihat di
> jalan-jalan.Bagaimana mungkin kita bisa mendapat persaksian
> dari 3 orang
> yang berakal (menguasai masalah,cerdik) terhadap ribuan
> orang miskin yang
> hidup di negara kita kalau tidak didahului dengan
> survei,pencatatan dan
> verifikasi,yang itu berarti perlu adanya suatu organisasi
> atau lembaga.*
>
> Mengapa perlu fatwa?sama seperti ketika beberapa waktu lalu
> MUI Jawa Timur
> mengeluarkan fatwa keharaman mencemari sunga  Kali
> Brantas. Dalam kasus
> tersebut juga sebenarnya telah jelas dalil-dalil yang
> melarang kita untuk
> berbuat kerusakan dalam hal apapun.Tapi seiring dengan
> semakin berkembangnya
> variasi teknis dari masalah yang dihadapi,nash-nash yang
> berkaitan dengan
> dasar-dasar ide untuk tidak berbuat kerusakan seolah
> tenggelam,sehingga
> fatwa MUI tersebut,menurut saya,lebih bersifat sebagai
> memperjelas dan
> mengingatkan kembali masyarakat terutama para pemeluk Islam
> bahwa masalah
> yang dihadapi ada tuntunannya dalam agama.
>
> Demikian pula dengan fatwa keharaman mengemis yang pertama
> kali dikeluarkan
> oleh MUI Sampang,Madura untuk menyikapi fenomena mengemis
> yang semakin
> mengejala menjadi profesi di daerah tersebut.MUI Madura
> merasa perlu
> menyikapinya dengan mengingatkan kembali ketentuan agama
> yang mengatur soal
> itu.
>
> Saya kurang paham dengan mekanisme pembahasan masalah di
> MUI,tapi setahu
> saya Fatwa tidaklah harus berupa ijtihad atau sesuatu yang
> harus diolah
> terlebih dahulu,bisa juga hanya berupa seruan atau ta'mim
> yang didalamnya
> disebutkan dasar-dasar nash yang mengatur seruan tersebut.
>
> Demikian.

Kirim email ke