Bung Verdi Adhanta,
 
Pertanyaan mendasar atas peristiwa tersebut masih belum terjawab, yaitu: 
mengapa Militer bisa tiba - tiba menjadi begitu bengis, tidak punya 
perikemanusiaan, sehingga dengan senang hati memprovokasi masyarakat untuk 
melakukan pembantaian???
Celakanya peristiwa tersebut dinyatakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, 
dimana silanya antara lain berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang 
adil dan beradab, dan sebagainya.
Tuhan dan Kemanusiaan dijadikan alasan pembenar untuk melakukan pembantaian 
keji.
Padahal kan selama ini selalu dikumandangkan bahwa TNI itu berasal dari rakyat 
dan berjuang juga untuk rakyat.
Tetapi mengapa tiba - tiba bisa begitu bengis???
Apakah ini memang merupakan ciri khas TNI atau ciri khas Tentara pada umumnya, 
bila punya kesempatan untuk membantai masyarakat tak berdaya, akan dilakukan 
dengan segala suka cita, kegembiraan dan senang hati???
Kalau saya melihat film perang, baik Perang Dunia ke II, Perang Vietnam, Perang 
Irak dan perang - perang lainnya yang ada di dunia, selalu digambarkan bahwa 
Tentara itu, walaupun dalam keadaan terjepit sekalipun, walaupun nyawanya 
terancam, sisi kemanusiaannya tetap menonjol.
Mereka selalu berupaya untuk tidak menjadi jagal kemanusiaan.
Bila ada rekannya atau komandannya cenderung bertindak sebagai jagal, mereka 
akan menuntut yang bersangkutan ke Pengadilan Militer.
Ini saya baca banyak terjadi di Perang Vietnam, sehingga banyak dari para 
pelanggar kemanusiaan tersebut yang dihukum penjara sampai belasan tahun.
Bahkan dalam kasus pembantaian penduduk di desa Maelay (sory, saya lupa nama 
persisnya), diberitakan seluruh pasukan AS saat kembali ke pangkalan dalam 
keadaan setengah gila dan stres. Rasa kemanusiaan yang ada didalam diri para 
Tentara Amerika, menolak keras tindakan pembantaian tersebut.
Padahal korbannya cuma puluhan orang.
Lha di Indonesia korbannya sampai ratusan ribu, bahkan jutaan orang, tidak 
terdengar ada aparat TNI yang menjadi gila akibat peristiwa pembantaian 
tersebut.
 
Kasus ini kan mirip kasus pembantaian masyarakat Kamboja oleh pasukan Khmer 
Merah.
Masyarakat Kamboja yang pada dasarnya sopan, ramah dan rendah hati, bisa 
berubah menjadi sangat bengis ketika diberi kewenangan untuk menentukan nasib 
masyarakat lain yang tidak berdaya.
Kata para psikolog sih, itu akibat sikap masyarakat Kamboja yang sopan, ramah 
dan rendah hati bukan keluar dari jiwanya yang bersih dan ikhlas, tetapi akibat 
keterpaksaan belaka karena tekanan dari masyarakat adat mereka.
 
Kalau memang tindak pembantaian tersebut merupakan watak dasar dari TNI, maka 
kasus pembantaian tersebut setiap saat bisa saja terulang kembali, bila TNI 
memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Untuk mencegah agar kasus pembantaian tersebut tidak terulang lagi, maka para 
ahli sejarah Indonesia harus bisa meluruskan peristiwa tersebut dan seluruh 
masyarakat sipil harus berupaya sekuat tenaga agar TNI tidak memiliki peluang 
sama sekali untuk melakukan pembantaian terhadap warganya, apapun alasannya.
 
Salam,
 
Adyanto Aditomo 

--- Pada Sab, 3/10/09, verdi adhanta <verdiadha...@yahoo.com> menulis:


Dari: verdi adhanta <verdiadha...@yahoo.com>
Judul: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] 30 September 1965 - 2009
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Sabtu, 3 Oktober, 2009, 12:10 PM


 



Dalam film 40 years of silence yang baru sy tonton, tidak demikian.
Masyarakat -->tidak secara alamiah<-- membantai rekan atau tetangganya sendiri.
Ada pengorganisasian sistematik, melalui mobilisasi yang dikelola army.
Pembantaian di suatu lokasi, hanya berlangsung ketika gerakan army tiba di 
lokasi tersebut.
Pembantaian di Bali, yang menjadi argumen dasar film ini, mulai berlangsung 2 
bulan setelah peristiwa, tepatnya ketika army hadir di sana.
Masyarakat dibuat ketakutan dengan cara penguasaan media massa, yang boleh 
siaran hanya corong-corong Army saja.
Army membentuk focal-focal point (seseorang yang ditunjuk/kepala desa/kepala 
RT, dsb) di tiap-tiap desa.
Masyarakat yang ketakutan datang pada focal-focal point tersebut, dan minta 
tolong agar jangan dimasukan dalam daftar bunuh. \
Focal-focal point itu memberi petunjuk pada mereka, kalau kamu tidak mau 
dibunuh, bunuhlah si ini dan si itu, maka kamu akan selamat.
Jadi bagi masyarakat situasinya adalah: Membunuh -- atau -- dibunuh.
Pembunuhan dilakukan oleh masyarakat untuk keselamatan dirinya dan keluarganya 
sendiri.
Setiap raid pun ditemani Army, seperti yang disaksikan oleh saksi dalam 
dokumenter ini:
Sejumlah anggota masyarakat mengiringi tank/kendaraan Army menyatroni perumahan 
sambil menjadi guide.

Juga secara nasional, ada isu yang disebar:
Selama itu obyektif PKI adalah mengubah kepemilikan tanah dari tuan-tuan tanah 
menjadi milik masyarakat.
Hanya saja, kebanyakan tuan-tuan tanah itu adalah pemimpin-pemimpin / tokoh 
agama dan/atau masyarakat.
Sehingga gampang saja untuk menyiarkan propaganda bahwa yang diserang PKI 
adalah agama-nya.

Thx.

Kirim email ke