Yth Rekan milis, Semuanya harus dilihat apa-apa saja yang terjadi mulai dari suasana sebelum, saat kejadian dan setelahnya.Pokoknya konteks sosial ekonomi pada saat itu dan peran internasional yang mungkin saja terlibat.
Saya pernah mengalami pertempuran Permesta di Gorontalo,pertempuran lebih dari 10 jam,kedua belah pihak adalah TNI dan mantan TNI/Tentara Permesta yang melawan tentara pusat. Namun saya tidak melihat kekejaman dari kedua belah pihak.Begitu kalah bertempur pergi dan kami rakyat tidak diapa-apakan,begitu pula TNI yang masuk kota tidak ada yang semena-mena. Biasanya hukum sejarah adalah aksi dan reaksi yang timbul karena kepanikan dan chaos, dimana masyarakat turut terlibat,maka tentara normal sudah tidak bisa menguasai sepenuhnya keadaan.Seperti apa yang tejadi dalam Revolusi Prancis dimana masyarakat yang penuh dendam,ikut memakan tuannya sendiri,Robespierre. Mungkin pak Anhar Gonggong atau mantan ketua LIPI ,Bp Taufik Abdullah yang ahli sejarah,bisa memberikan pencerahan pada apa yang terjadi. Saya sendiri waktu itu mahasiswa di Bandung yang ikut protes kepada istilah Presiden seumur hidup Bung Karno,waktu itu. Salam Hormat, Bakri Arbie. --- On Sat, 10/3/09, Adyanto Aditomo <adyantoadit...@yahoo.co.id> wrote: From: Adyanto Aditomo <adyantoadit...@yahoo.co.id> Subject: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] 30 September 1965 - 2009 To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Date: Saturday, October 3, 2009, 5:53 PM Bung Verdi Adhanta, Pertanyaan mendasar atas peristiwa tersebut masih belum terjawab, yaitu: mengapa Militer bisa tiba - tiba menjadi begitu bengis, tidak punya perikemanusiaan, sehingga dengan senang hati memprovokasi masyarakat untuk melakukan pembantaian? ?? Celakanya peristiwa tersebut dinyatakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, dimana silanya antara lain berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sebagainya. Tuhan dan Kemanusiaan dijadikan alasan pembenar untuk melakukan pembantaian keji. Padahal kan selama ini selalu dikumandangkan bahwa TNI itu berasal dari rakyat dan berjuang juga untuk rakyat. Tetapi mengapa tiba - tiba bisa begitu bengis??? Apakah ini memang merupakan ciri khas TNI atau ciri khas Tentara pada umumnya, bila punya kesempatan untuk membantai masyarakat tak berdaya, akan dilakukan dengan segala suka cita, kegembiraan dan senang hati??? Kalau saya melihat film perang, baik Perang Dunia ke II, Perang Vietnam, Perang Irak dan perang - perang lainnya yang ada di dunia, selalu digambarkan bahwa Tentara itu, walaupun dalam keadaan terjepit sekalipun, walaupun nyawanya terancam, sisi kemanusiaannya tetap menonjol. Mereka selalu berupaya untuk tidak menjadi jagal kemanusiaan. Bila ada rekannya atau komandannya cenderung bertindak sebagai jagal, mereka akan menuntut yang bersangkutan ke Pengadilan Militer. Ini saya baca banyak terjadi di Perang Vietnam, sehingga banyak dari para pelanggar kemanusiaan tersebut yang dihukum penjara sampai belasan tahun. Bahkan dalam kasus pembantaian penduduk di desa Maelay (sory, saya lupa nama persisnya), diberitakan seluruh pasukan AS saat kembali ke pangkalan dalam keadaan setengah gila dan stres. Rasa kemanusiaan yang ada didalam diri para Tentara Amerika, menolak keras tindakan pembantaian tersebut. Padahal korbannya cuma puluhan orang. Lha di Indonesia korbannya sampai ratusan ribu, bahkan jutaan orang, tidak terdengar ada aparat TNI yang menjadi gila akibat peristiwa pembantaian tersebut. Kasus ini kan mirip kasus pembantaian masyarakat Kamboja oleh pasukan Khmer Merah. Masyarakat Kamboja yang pada dasarnya sopan, ramah dan rendah hati, bisa berubah menjadi sangat bengis ketika diberi kewenangan untuk menentukan nasib masyarakat lain yang tidak berdaya. Kata para psikolog sih, itu akibat sikap masyarakat Kamboja yang sopan, ramah dan rendah hati bukan keluar dari jiwanya yang bersih dan ikhlas, tetapi akibat keterpaksaan belaka karena tekanan dari masyarakat adat mereka. Kalau memang tindak pembantaian tersebut merupakan watak dasar dari TNI, maka kasus pembantaian tersebut setiap saat bisa saja terulang kembali, bila TNI memiliki kesempatan untuk melakukannya. Untuk mencegah agar kasus pembantaian tersebut tidak terulang lagi, maka para ahli sejarah Indonesia harus bisa meluruskan peristiwa tersebut dan seluruh masyarakat sipil harus berupaya sekuat tenaga agar TNI tidak memiliki peluang sama sekali untuk melakukan pembantaian terhadap warganya, apapun alasannya. Salam, Adyanto Aditomo