ya seharusnya setiap harakah hormat menghormati, untukmu harakhmu untukku 
harakahku.

wallahu'alam

----- Original Message ----- 
From: "Daryono" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "Forum Ukhuwah Pekerja Muslim di Kawasan EJIP" 
<fupm-ejip@usahamulia.net>
Sent: Tuesday, October 02, 2007 7:32 AM
Subject: Re: [ FUPM-EJIP ] Sikap Salafus Shalih dalam 
MengelolaPerbedaanPendapat, Keragaman dan Madzhab-madzhab (Bag I)


aww.

Artikelya bagus akhi,

memang begitulah seharusnya sikap setiap harokah.

www.



Regards
Daryono

Process Engineer
Process Engineering B (Machining)
PT. Astra Honda Motor
phone : 021-89981818
ext : 8572 / 8574

________________________________

From: [EMAIL PROTECTED] on behalf of dodi mulyadi
Sent: Mon 10/1/2007 11:34 AM
To: fupm-ejip@usahamulia.net
Subject: [ FUPM-EJIP ] Sikap Salafus Shalih dalam Mengelola 
PerbedaanPendapat, Keragaman dan Madzhab-madzhab (Bag I)



AlhamduliLLAAHi wash Shalatu was Salaamu 'ala RasuliLLAAHi wa 'ala 'alihi wa 
ash-habihi waman walah.


by Abi AbduLLAAH




Sikap Salafus Shalih dalam Mengelola Perbedaan Pendapat, Keragaman dan 
Madzhab-madzhab (Bag I)


Ikhwah wa akhwat fiddin hafizhakumuLLAAH, seringkali ketika mengisi taujih 
dan menjelaskan berbagai dalil yang berbeda di kalangan salaf, ada saja ada 
orang yang bertanya kepada ana: "Ustadz, di antara pendapat-pendapat yang
dikemukakan tadi yang paling shahih yang mana?" Atau: "Ana tidak perlu tahu 
tentang berbagai pendapat tersebut, ana cuma ingin tahu satu yang benar 
yaitu yang sesuai dengan Salaf."

Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a'anakumuLLAAH, dari berbagai pengalaman tersebut 
nampaklah bagi para pencari ilmu, bahwa sebagian besar masyarakat kita belum 
mengetahui atau bahkan terlanjur dicekoki pemahaman yang keliru, bahwa 
seolah-seolah kalau sudah pendapat Salaf maka itu hanya satu, atau kalau 
kembali pada pendapat Salaf maka tidak boleh ada perbedaan pendapat.

Pemahaman seperti sama sekali amat keliru dan amat berbahaya, sehingga 
sebagian kelompok kemudian memanfaatkan jargon "kembali kepada Salaf" 
menjadi "kembali ke kelompok kami", atau "kembali kepada fatwa Syaikh Fulan 
dan Syaikh Fulan, kalau selain itu bukan mewakili Salaf". Hal ini tentu saja 
jauh sekali dari kembali kepada manhaj As-Salafus Shalih yang Syamil, Kamil 
dan Mutakamil.

Mengapa demikian? Karena jika kita jujur kembali kepada pemahaman Salaf, 
maka kita akan dapati seabreg ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan 
mereka, kitapun akan dapatkan setumpuk dalil-dalil dimana sebagian 
menguatkan
sebuah dalil dan sebagian lagi menguatkan dalil yang lainnya. Sehingga 
hendaklah kita bersikap adil, apakah kita memang mengajak kembali kepada 
Salaf, atau kembali kepada Salaf "yang sesuai dengan tarjih kita" karena 
kedua hal tersebut tentu saja maknanya dan implikasinya amat berbeda kepada 
Shahwah Islamiyyah (kebangkitan Islam) saat ini.

Ikhwah wa akhwat 'azzakumuLLAAH. Jika kita benar ingin merujuk kepada Salaf, 
maka pelajarilah dan telitilah berbagai fatwa mereka, yang kesemuanya 
menyatakan bahwa ikhtilaf sebagiannya adalah terlarang namun sebagian yang 
lainnya bahkan merupakan sebuah kemestian (hatmiyyah). Hal tersebut karena 
perbedaan pendapat adalah sunnatuLLAAH, sebagaimana firman ALLAAH SWT:

"Jikalau RABB-mu menghendaki, tentu DIA menjadikan manusia umat yang satu, 
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang 
diberi rahmat oleh RABB-mu (yaitu para rasul as), dan untuk (perbedaan 
pendapat) itulah ALLAAH menciptakan mereka, kalimat RABB-mu (keputusan-Nya) 
telah ditetapkan: Sesungguhnya AKU akan memenuhi neraka Jahannam itu dengan 
Jin dan Manusia (yang durhaka) semuanya."[1]

Sebagian orang yang tidak mengerti menganggap bahwa makna: "Kecuali 
orang-orang yang diberi rahmat" dalam ayat itu adalah dalil wajibnya kita 
keluar dari berbeda pendapat, pemahaman ini adalah keliru, karena makna yang 
benar bahwa yang dikecualikan tersebut hanyalah para Nabi dan Rasul AS, 
adapun selain mereka pastilah senantiasa berbeda pendapat, demikianlah 
menurut tafsir ulama Salafus Shalih;

Berkata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya: "Perbedaan dan kemajemukan dalam 
syariat merupakan keadaan yang tidak bisa tidak dalam penciptaan makhluk, 
sehingga makna: Dan untuk itulah ALLAH menciptakan mereka, maka ikhtilaf 
merupakan 'illat (alasan) keberadaan wujud makhluk ini."[2]

Kemajemukan dan perbedaan pendapat tersebut adalah motivator untuk 
menghadapi ujian serta untuk berkompetisi dan berkarya di antara 
masing-masing pihak yang berbeda pendapat tersebut, karena jika hanya satu 
ummat saja maka tidak akan ada lagi motivasi untuk berlomba, yang merupakan 
tujuan dari penciptaan manusia. Hal ini sesuai dengan firman ALLAH SWT yang 
lainnya: "Untuk tiap-tiap ummat di antara kalian KAMI berikan aturan dan 
jalan yang terang, sekiranya ALLAH menghendaki niscaya kalian dijadikan-NYA 
satu ummat saja, tetapi ALLAH hendak menguji kalian terhadap pemberian-NYA 
kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..."[3]

Bahkan di kalangan non muslimpun ALLAH SWT tidak menyamaratakan mereka, 
sebagai semua mereka adalah jahat dan semua memusuhi kaum muslimin semua, 
bahkan sebaliknya ALLAH SWT Sang Maha Adil menyatakan dengan keadilan-NYA 
bahwa di antara mereka (non muslim) terjadi juga perbedaan dan ada di antara 
mereka yang masih memiliki nilai-nilai kebaikan, sebagaimana firman-NYA: 
"Mereka itu tidak sama, di antara ahli-kitab-kitab itu ada golongan yang 
berlaku lurus..."[4], dalam firman-NYA yang lain: "...dan apabila mereka 
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul, kalian lihat mata-mata mereka 
mencucurkan airmata disebabkan kebenaran al-Qur'an..."[5]

Mengapa Bisa Terjadi Perbedaan Dalam Penetapan Hukum?

Jika kita mempelajari fiqh maka kita akan dapatkan bahwa tentang kehujjahan 
dalil syar'iyyah itu sendiri ada 2 jenis:

1. DALIL YANG DISEPAKATI KEHUJJAHANNYA: Al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma' dan 
al-Qiyas, yang didasarkan dari QS an-Nisa', 4/59. Dalam ayat tersebut taat 
pada ALLAH bermakna taat pada Al-Qur'an dan taat pada Ar-Rasul diartikan 
taat pada As-Sunnah, dan taat pada 'Ulil-Amri (bersifat muqayyad/terbatas) 
adalah taat pada pemerintah atau ulama atau pada kesepakatan mereka (ijma'). 
Hal ini diperkuat dengan dalil hadits tentang af'al Abubakar RA, dimana jika 
ia tidak mendapat hukum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah maka beliau 
mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah[6]. Sementara Qiyas 
ditetapkan berdasarkan hadits Mu'adz ra ketika diutus ke Yaman[7].

2. DALIL YANG DIPERSELISIHKAN KEHUJJHANNYA: Istihsan (mengembalikan yang 
khusus ke yang umum), mashalih-mursalah (menetapkan hukum demi 
kemaslahatan), istishab (memilih yang lebih disukai), 'urf (adat-istiadat), 
madzhab-shahabiy (ittiba' pada sebagian sahabat ra), syar'un man qablana 
(syariat ALLAH SWT sebelum nabi Muhammad SAW)[8].

Ikhtilaf Dalam Hal yang Qath'iy dan Zhanniy

Langkah pertama mensikapi ikhtilaf adalah membedakan apakah masalah tersebut 
bersifat ushuliyyah atau furu'iyyah? Apakah muhkamat atau mutasyabihat? 
Apakah masalah diniyyah atau dunyawiyyah? Jika masalah yang diperselisihkan 
merupakan masalah ushuliyyah seperti wajibnya rukun iman, atau masalah 
furu'iyyah yang qath'iy (pasti) seperti wajibnya shalat, zakat, puasa, 
hajji, jihad, atau haramnya zina, liwath, mencuri, khamr, riba maka berbeda 
pendapat dalam hal yang sudah jelas dan qath'iy ini mutlak diharamkan.

ALLAAH SWT mencela berbeda pendapat dalam masalah seperti ini dalam 
firman-NYA: "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai 
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, mereka 
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." [9] Nabi SAW bersabda: 
"Sungguh kehancuran suatu bangsa sebelum kalian disebabkan perbedaan mreka 
terhadap KitabuLLAAH."[10] Ibnu Mas'ud berkata: "Berbeda pendapat itu 
buruk."[11] Berkata Asy-Syafi'i: "Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah 
yang berkaitan pada masalah yang ada dalilnya secara sharih (jelas) dalam 
KitabuLLAAH dan Sunnah rasuluLLAAH SAW."[12]

Maka sikap kita dalam masalah ini adalah harus jelas dan tegas (kecuali 
dalam hal-hal yang dikhawatirkan akan mengakibatkan bahaya yang lebih 
besar), dan sikap tegas dalam hal ini dihitung sebagai jihad 
fisabiliLLAAH[13], dan tugas para nabilah menjelaskan kata akhir dan 
keputusan mana yang benar dan mana yang salah dalam perbedaan pendapat 
seperti ini, sebagaimana dalam firman-NYA: "Dan KAMI tidak menurunkan 
kitab-kitab ini kepadamu kecuali agar kamu menjelaskan kepada mereka tentang 
apa yang mereka perselisihkan itu, juga agar menjadi petunjuk dan rahmat 
bagi kaum yang beriman."[14]

Adapun perbedaan pendapat dalam masalah yang zhanniy (masih bersifat dugaan 
kuat, tidak pasti) maka sepanjang perbedaan tersebut tidak syadz (nyleneh) 
dan memiliki dalil yang kuat maka yang demikian dibenarkan sekalipun dalam 
masalah aqidah[15], apalagi dalam masalah mu'amalah karena tidak ada dalil 
yang qath'iy[16].

Berkenaan dengan yang perbedaan furu'iyyah ini, berkata Imam Asy-Syafi'i: 
"Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang tidak, 
yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan hujjah-NYA baik 
dalam kitab-kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas 
maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang mengetahuinya. Maka 
ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara 
tegas dalam nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah."[17]

Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sbb: "Perpecahan yang dilarang 
adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159) dan (QS 3/7) dan bukan perbedaan 
dalam hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra 
setelah wafatnya nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. 
Pendapat mereka berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka 
telah berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu. 
Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling mencintai satu 
sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam."[18]

Imam al-Qurthubi menambahkan: "Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT 
menciptakan mereka manusia."[19] Lebih jauh Imam Ghazali menambahkan: 
"Bagaimana mungkin ummat akan bersatu mendengarkan satu pendapat saja, 
padahal mereka telah ditetapkan sejak di alam azali bahwa mereka akan terus 
berbeda pendapat kecuali orang-orang yang dirahmati ALLAH (para Rasul as), 
dan karena hikmah perbedaan itulah mereka diciptakan."[20]

Imam Abu Hayyan at-Tauhidi menyatakan: "Tidak mungkin manusia berbeda pada 
bentuk lahir mereka lalu tidak berbeda dalam hal batin mereka, dan tidak 
sesuai pula dengan hikmah penciptaan mereka, jika sesuatu yang terus menerus 
membanyak sementara tidak berbeda-berbeda."[21] Imam Syihabuddin al-Qarafi 
mengatakan: "Telah ditetapkan dalam ushul-fiqh bahwa hukum-hukum syariat 
seluruhnya dapat diketahui disebabkan oleh adanya ijma' bahwa seluruh 
mujtahid, jika zhan (kecendrungan terkuat menurutnya) mencapai suatu hukum 
tertentu maka itulah hukum ALLAH SWT bagi dirinya dan bagi para 
pengikutnya."[22]

Perbedaan pendapat ini dinamakan sebagai perbedaan pendapat yang 
disyari'atkan (al-ikhtilaf al-masyru'), tafadhal para pencari ilmu membuka 
dan merujuk langsung pada kitab-kitab yang ana sebutkan, di antaranya sbb:

1. Al-Ikhtilaf Al-Ulama', yang disusun oleh Imam Abi AbduLLAAH, Muhammad bin 
Nashr Al-Mirwazi (wafat th. 294-H).

2. Al-Ikhtilaf Al-Fuqaha', karangan Imam Abi Ja'far, Muhammad bin Jarir bin 
Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amaliy, digelari Imam At-Thabari (wafat th. 
310-H).

3. Al-Awsath fi As-Sunan wa Al-Ijma' wa Al-Ikhtilaf, karya Imam Muhammad bin 
Ibrahim bin Mundzir An-Naisaburiy, digelari Ibnul Mundzir (wafat th. 318-H)

4. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Abil Walid, Imam Muhammad bin 
Ahmad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusiy, digelari Ibnu Rusyd (wafat th. 
595-H).

5. Al-Mughniy Fi Fiqhil Imam Ahmad Ibni Hanbal Asy-Syaibaniy, oleh Abil 
Faraj, Imam AbdiRRAHMAN bin Muhammad bin Ahmad bin Qudamah Al-Maqdisiy 
Al-Hanbaliy, digelari Syamsuddin (wafat th. 682-H).

6. I'lam Al-Muwaqqi'in an RABBil 'Alamin, Imam Muhammad bin Abubakr bin 
Ayyub bin Sa'd bin Qayyim, digelari Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 
751-H).

7. Irsyadul Fuhul ila tahqiq Al-Haqq min 'Ilmil Ushul, Imam Abi 'Ali, 
Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin AbduLLAAH Asy-Syaukani Ash-Shan'ani, 
digelari Imam Asy-Syaukaniy (wafat th. 1255-H).

8. Dll.

(Bersambung Insya ALLAAH...)

___
Catatan Kaki:

[1] QS Hud, 11/118-119

[2] Lih. Al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, Darul Kutub 
al-Mishriyyah, juz-IX, hal 114-115)

[3] QS Al-Maidah, 5/48

[4] QS Ali Imran, 3/113-115

[5] QS Al-Maidah, 5/82-83

[6] HR Al-Baihaqi, dalam Al-Kubra', X/114 juga dalam Sunan-nya, II/425 
no.20838; Jam'ul Ahadits Lis-Suyuthi, XXV/146;

[7] HR Bukhari, VI/12 no. 1496; Muslim, I/151 no. 131

[8] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh

[9] QS Ali Imran, 3/105

[10] HR Muslim, Kitabul 'Ilmi, no.2

[11] Adh-Dha'ifah Lil Albani, IV/75

[12] Ar-Risalah Lisy Syafi'i, hal. 560

[13] Ar-Raddu 'alal Mukhalif, hal.39

[14] QS An-Nahl, 16/64

[15] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebut masalah ini sebagai masalah2 
ilmiyyah atau khabariyyah, lih. Majmu' Al-Fatawa, XIX/204

[16] Bahrul Muhith, VI/240 dan Al-Ihkam, IV/162 [17] Ar-Risalah lisy 
Syafi'i, hal-560, Maktabah Ilmiyyah, Kairo, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir

[18] Al-Muwafaqaat lisy-Syatibi, juz-4, hal-121, 1

[19] Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz 9, hal 114-115

[20] Al-Qisthas al-Mustaqim, hal.61. Bagian dari kumpulan kitab-kitab 
Al-Qushur Al-Alawi min Rasa'il Al-Imam al-Ghazali, Maktabah Al-Jundi, Kairo

[21] Al-Imtina' wa Al-Mu'assanah, juz 3, hal 99, Kairo (tahqiq Ahmad Amin 
dan Ahmad az-Zain)

[22] Al-Umniyyah fi Idrak Anniyyah, hal 515, dalam kumpulan kitab-kitab 
Al-Qarafi wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami (tahqiq AbduLLAH Ibrahim Shalah)




--------------------------------------------------------------------------------


> IMPORTANT -
> The contents of this email and its attachments are confidential and 
> intended only for the individual or entity named above.
> Any unauthorized use of the contents is expressly prohibited. If you 
> receive this email in error, please contact us, then delete the email.
> Please note that any views or opinions presented in this email are solely 
> those of the author and do not necessarily represent those of the company 
> and should not be seen as forming a legally binding contract without 
> express written confirmation.
> Finally, the recipient should check this email and any attachments for the 
> presence of viruses. PT Astra Honda Motor accepts no liability for any 
> damage caused by any virus transmitted by this email.
>


--------------------------------------------------------------------------------


> ********************************************************
> Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
> ********************************************************
> Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
> http://www.usahamulia.net
>
> Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
> [EMAIL PROTECTED]
>
> Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
> [EMAIL PROTECTED]
> ******************************************************** 


********************************************************
Mailing List FUPM-EJIP ~ Milistnya Pekerja Muslim dan DKM Di kawasan EJIP
********************************************************
Ingin berpartisipasi dalam da'wah Islam ? Kunjungi situs SAMARADA :
http://www.usahamulia.net

Untuk bergabung dalam Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]

Untuk keluar dari Milist ini kirim e-mail ke :
[EMAIL PROTECTED]
********************************************************

Kirim email ke