Nimbrung : Teori tentang perlunya diadakan pertumbuhan ekonomi dewasa ini telah 
diikuti oleh pakar-pakar enonomi dan politik rezim neoliberal Jokowi - JK, dan 
bahkan telah dijadikan sebagai dogma. Dalam hal ini teori itu mengatakan :  
Bahwa tentang adanya pertumbuhan yang terus menerus dalam waktu yang panjang 
sekali adalah satu-satunya cara untuk  menutupi adanya celah-celah kemiskinan.  
Ini berarti pertumbuhan itu  harus disertai dengan pembagian lapangan pekerjaan 
dan kesejahteraan secara global didalam beraneka ragam, sesuai dengan 
keanekaragaan bakat dan sumber-sumber daya alam, tanpa menimbulkan erosi 
pemusnahan dari sumber-sumber daya alam, dan pelanggaran Amdal, demi 
pembangunan yang berekelanjutan. 

 

Jadi Pertumbuhan enonomi yang tinggi misalnya, tanpa mempertimbangkan masalah 
pemerataan dan perluasan kesempatan kerja, bukan berarti baik dipandang dari 
sudut pandang makro. Peningkatan ekspor dan pendapatan tanpa melihat lajunya 
inflasi yang tinggi juga bukan perkembangan yang baik ditinjau dari sudut 
pandang makro. Jadi pertumbuhan harus diarahkan kearah kemakmuran, yang dituju 
adalah kemakmuran semua pihak dengan melibatkan lebih dari satu indikator 
ekonomi sebagai pandangan kajian.

 

Apa yang terjadi di NKRI? Pertumbhan selalu dipropagandakan, tepi pengangguran 
dan proses terjadinya kemiskinan semakin bertumbuh, rezim neoliberal Jokowi-JK 
terus mengejar dogma pertumbuhan secara membabi-buta, melakukan perampasan 
tanah-tanah hunian dan tanah pertanian petani di daerah-daerah, sehingga proses 
kemiskinan dan pemiskinan didesa–desa terus berlanjut.

 

Roeslan.

 

Von: GELORA45@yahoogroups.com [mailto:GELORA45@yahoogroups.com] 
Gesendet: Dienstag, 24. Januar 2017 06:56
An: GELORA45@yahoogroups.com
Betreff: Re: [GELORA45] Pertumbuhan tidak Kurangi Kemiskinan

 

  

Mengurangi kemiskinan itu ya dengan pemerataan. Pertumbuhan setinggi langit 
pun, apalagi cuma mengembangbiakkan kelas menengah, tidak menjamin berkurangnya 
ketimpangan / kesenjangan kaya-miskin.

 

Kira-kira Jokowi ngerti nggak kenapa menterinya sampai nulis di koran?

 

--- ambon@... wrote:





res :  Pertumbuhan ekonomi  bukan berarti distribusi pendapatan kepada penduduk 
dan oleh sebab itu kemiskinan tidak bekurang. Jadi jangan salah paham kalau 
pentolan-pentolan rezim pengusaha berbicara tentang pertumbuhan ekonomi 6 atau 
7% per tahun, lantas bertepuk tangan sambil bersorak-sorak gembira ria seperti 
kambing mengembik  mengikuti suara gembala di padang tandus.

 

http://mediaindonesia.com/news/read/88433/pertumbuhan-tidak-kurangi-kemiskinan/2017-01-20

 

 

Pertumbuhan tidak Kurangi Kemiskinan

Jum'at, 20 January 2017 00:20 WIB Penulis: Sri Mulyani Indrawati Menteri 
Keuangan 

 

Das Bild wurde vom Absender entfernt.

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

 

SAYA melihat di seluruh dunia banyak negara yang mengalami ketimpangan pesat 
dari mulai 0,35% sampai mendekati 0,5%. Bahkan di Amerika Latin sampai 0,7%. 
Artinya betul-betul cuma segelintir orang yang merasakan kesejahteraan. Brasil 
dikatakan sukses karena Presiden Lula mengoreksi dari 0,7% jadi 0,6%. Itu dalam 
satu dekade menjadi presiden. Satu upaya yang luar biasa keras. Indonesia saat 
mencapai 0,4% alarm berbunyi. Ini berbahaya. Komentar datang dari mana-mana, 
media massa, masyarakat, partai politik, hingga stakeholder, dan ini 
disuarakan. Presiden Jokowi merespons dengan berbagai kebijakan karena kita 
tidak ingin naik lagi.

 

Ini tidak mudah karena harus berlanjut dalam jangka menengah. Kalau kita lihat 
angka kemiskinan, yang harus diwaspadai adalah pertumbuhan kita tidak bisa 
mengurangi kemiskinan secara lebih cepat. Intervensinya bukan hanya melalui 
cash transfer, tapi juga memotong tali kemiskinan antargenerasi. Kalau keluarga 
miskin tidak bisa memberikan nutrisi anak mereka sejak di dalam perut sehingga 
anak tidak sehat, tidak punya akses kesehatan, tidak punya akses pendidikan, 
pasti anak mereka akan miskin dan cucu mereka juga demikian. Inilah kemiskinan 
antargenerasi.

 

Inilah yang dipotong dan akhirnya diciptakan kartu pintar, kartu kesehatan. 
Mungkin ini sifatnya terlihat populis, tapi ini kebijakan yang harus dilakukan. 
Dari sisi stabilitas, inflasi dan nilai tukar bisa mengalami stabilitas dengan 
komparasinya di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri secara historis dan di 
luar dengan negara-negara setara kita. Inflasi 2016 ialah yang terendah dalam 
satu dekade terakhir dan nilai tukar kita bisa bertahan atau bahkan mengalami 
apresiasi cukup sedikit di 2016, ketika seluruh dunia mengalami pelemahan di 
saat dolar AS mengalami penguatan luar biasa.

 

Daya saing

Eksternal ekspor dan impor serta cadangan devisa kita relatif comfortable. 
Kalau kita lihat, cadangan devisa di atas US$100 miliar dengan ekspor dan impor 
yang selalu kita buat imbang. Yang paling penting adalah capital inflow atau 
arus modal karena mereka percaya terhadap prospek dan stabilitas ekonomi 
Indonesia. Bagaimana kita melihat tantangan mewujudkan masyarakat yang adil dan 
makmur. Kita lihat dalam konteks hari ini berarti berbicara mengenai konteks 
tentang bagaimana memberantas kemiskinan, bagaimana mengurangi ketimpangan, 
bagaimana membuat masyarakat kita produktif memiliki daya saing.

 

Dari sisi institusi karena orang sering lupa bahwa keberhasilan suatu negara 
maju dia tidak hanya berdasarkan hanya dari pembangunan fisik, dia juga 
membutuhkan pembangunan institusi. Institusi harus memiliki tata kelola yang 
baik, bersih, dan efektif. Ada institusi yang bersih, tetapi dia tidak efektif 
maka tidak banyak berguna juga. Dia bagus untuk inspirasi, tetapi tidak mampu 
untuk melayani masyarakat. Jadi, kita perlu institusi yang tata kelolanya baik, 
bersih, tetapi efektif. Ini adalah tantangan pembangunan bagi banyak negara di 
dunia.

 

Saya dalam kapasitas pekerjaan saya sebelumnya melihat banyak negara di dunia 
mengalami apa yang disebut middle income trap. Dia biasanya mampu dari negara 
miskin, yaitu pendapatannya di bawah US$1.000 per kapita menjadi sekitar 
US$3.000-US$3.500. Kemudian dia stuck saja di sana. Lama-lama sampai mendekati 
US$10 ribu-US$11 ribu per kapita, tetapi dia tidak pernah naik menjadi high 
income country. Biasanya ciri-cirinya ialah tata kelola dan institusi yang 
bersih dan efektif sangat tertinggal dari kemajuan ekonominya sehingga waktu 
muncul kelas menengah masyarakat yang menginginkan aspirasi pemerintahan yang 
bersih yang berfungsi dan akuntabel, selalu dikecewakan.

 

Kekecewaan terus-menerus, apalagi menjadi penyakit yang sangat sering terjadi, 
adalah munculnya apa yang disebut elite capture. Ada sekelompok elite atau 
biasanya elite di dekat mereka yang sudah menguasai negara tersebut, yang hanya 
terus-menerus memfokuskan policy-nya untuk kebaikan elite itu sendiri, dan itu 
terjadi di banyak negara. Apakah itu namanya menjadi oligarki, atau menjadi 
kronisme, namanya bisa macam-macam. Tetapi Anda bisa lihat dari Afrika hingga 
Timur Tengah, Rusia, Amerika Latin, Asia, banyak negara yang tidak pernah bisa 
lepas dari elite capture itu, biasanya mereka mengalami trap di tengah. Ini 
adalah salah satu pekerjaan rumah yang sangat luar biasa di dalam institusi. 
Makanya kami di Kementerian Keuangan dari 10 tahun lalu hingga sekarang 
berbicara tentang reform. Itu karena saya percaya Indonesia berhak dan harus 
memiliki institusi yang kuat dan bersih serta akuntabel.

 

Tanggung jawab kemenkeu

Karena berbicara tentang Kementerian Keuangan, menjadikan APBN sebagai 
instrumen yang menjadi tanggung jawab kami. APBN merupakan instrumen 
pembangunan yang luar biasa penting. Di dalam menciptakan tidak hanya 
pertumbuhan, tetapi mendekatkan kita kepada tujuan menyejahterakan masyarakat 
yang adil dan makmur. Seperti sebuah APBN banyak negara, dia terdiri dari 
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dari sisi pendapatan negara, kalau kita 
lihat, tren 10 tahun terakhir peningkatan dari sisi revenue atau penerimaan. 
Namun, kalau tadi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang 
terutama didorong komoditas, Indonesia dalam hal ini, kami belum mampu untuk 
meng-capture-nya dalam bentuk penerimaan pajak yang cukup besar.

 

Ini adalah PR yang cukup besar kalau kita lihat dari rasio penerimaan kita 
mengalami penurunan. Ini yang kemudian muncul indikator bahwa Indonesia 
dianggap sebagai negara yang inequality dan bahkan sudah masuk kepada 
sektor-sektor yang dianggap di-capture dan tidak mampu kita pajaki sehingga 
benefit dari sektor tersebut, terutama pertambangan, infrastruktur besar hanya 
dianggap menguntungkan untuk kelompok yang di atas daripada kelompok yang di 
bawah.

 

Kegiatan pertambangan di Indonesia ketika economic boom pada saat komoditas 
tinggi, dia tidak membayar pajak sehingga negara tidak mampu melakukan 
redistribusi. Ini pekerjaan rumah yang luar biasa besar. Kalau sekarang kita 
melakukan tax amnesty karena kita yakin bahwa kita perlu melakukan deklarasi 
dan melihat, melakukan pemetaan terhadap potensi penerimaan negara. Belanja 
negara telah mencapai Rp2.080 triliun dan ini peningkatan yang cukup besar. 
Namun, kalau dilihat dari GDP kita, sebetulnya juga tidak terlalu besar. Jadi, 
kalau kita lihat APBN Indonesia, kita mampu untuk lari atau belanja lebih 
banyak apabila kita mampu mengumpulkan penerimaan yang lebih banyak. - 

 

See more at: 
http://mediaindonesia.com/news/read/88433/pertumbuhan-tidak-kurangi-kemiskinan/2017-01-20#sthash.FMloo7ek.dpuf

 

 



Kirim email ke