From: jonathango...@yahoo.com [GELORA45] 
Sent: Saturday, February 11, 2017 4:48 PM


  




"Berdasarkan '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda 
pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, 
sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. 
Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau 
paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.


...

Sabtu 11 Feb 2017, 06:36 WIB
Refly Harun: Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok

Ray Jordan - detikNews






Foto: Andi Saputra/detikcom





Jakarta - Desakan agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diberhentikan sementara 
dari jabatan Gubernur DKI Jakarta setelah habis masa cuti kampanyenya, menjadi 
po lemik. Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pun mengajak agar semua pihak 
melihat permasalahan tersebut dengan jernih.

Permintaan penonaktifan tersebut dikaitkan dengan status terdakwa kasus dugaan 
penistaan agama yang disandang oleh Ahok. Bicara soal pemberhentian sementara 
kepala daerah, aturannya ada dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

"Kalau bicara tentang penonaktifian atau pemberhentian sementara, maka acuannya 
pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 t ahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata 
Refly saat berbincang dengan detikcom, Jumat (10/2/2017).

Jika berpatokan pada pasal tersebut, lanjut Refly, maka tidak ada alasan untuk 
memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur DKI.

"Karena, pasal itu mengatakan bahwa mereka yang didakwa melakukan kejahatan 
yang ancaman hukumannya paling singkat 5 tahun, lalu akan diberhentikan 
sementara. Selain it u juga mereka yang didakwa melakukan tindak pidana 
korupsi, terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara, atau 
melakukan tindakan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia 
(NKRI)," jelas Refly.

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 
Pemda) menyebutkan: "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan 
sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana 
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, 
tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap 
keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara 
Kesatuan Republik Indonesia."

Dikaitkan dengan kasus Ahok, terang Refly, mantan Bupati Belitung Timur itu 
didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun 
penjara. Selain itu, Ahok juga didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama 
yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.

"Berdasarkan '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda 
pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, 
sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masu k. 
Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau 
paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.

Meski demikian, lanjut Refly, ada juga tindak pidana yang ancaman hukumannya 
kurang dari 5 tahun, terdakwanya bisa langsung dinonaktifkan dari jabatan 
gubernur. Namun, hal itu juga tidak bisa dikenakan kepada Ahok.

"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa 
korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diber hentikan sementara. Sama juga 
dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI," kata Refly.

Untuk itu, Refly menegaskan dirinya tidak sependapat jika pasal 83 UU Pemda itu 
diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. "Yang jelas dia 
bukan (melakukan) korupsi, makar dan terorisme," katanya.

"Kalau memakai pendekatan hukum an sich, saya mengatakan tidak ada alasan untuk 
menonaktifkan atau memberhentikan sementara (Ahok,-red). Tapi, kita tahu, soal 
A hok ini adalah soal yang sangat politis dan tidak hanya soal hukum, antara 
yang pro dan kontra sama kuatnya. Tapi marilah kita melihat pasal 83 ayat 1 (UU 
Pemda) itu secara jernih. Pendapat saya tidak ada alasan kalau berpatokan pada 
pasal itu. Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, yang 
paling populer adalah menonaktifkan, karena dianggap akan netral. Kalau tidak 
menonatifkan dianggap tidak netral," tambah Refly.


(jor/erd)




Kirim email ke