Saya rasa kalimat terakhir itu "Kalau tidak menonatifkan dianggap tidak netral" 
lebih merupakan sindiran thd kelompok yg menuding tidak netral. 

 Selesai Cuti Ahok Tak Dicopot, Gerindra: Pemerintah Tak Netral! 
http://news.okezone.com/read/2017/02/10/337/1615315/selesai-cuti-ahok-tak-dicopot-gerindra-pemerintah-tak-netral
---In GELORA45@yahoogroups.com, <ajegilelu@...> wrote :

 Perbedaannya pada cara penyampaiannya saja. 

 Yang satu langsung ke pokok persoalan, satunya lagi 

 menclok dulu di ranting dan cabang. Toh dengan 

 memakai logika akhirnya Refly berpendapat Jokowi 

 memang perlu menonaktifkan Ahok.

 
"Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, 

 yang paling populer adalah menonaktifkan, karena dianggap akan 

 netral. Kalau tidak menonatifkan dianggap tidak netral," 

 tambah Refly.
 

 Lumrah saja orang terjebak judul berita. Mendagri.
 

 --- jonathangoeij@... wrote:
   
Antara 2 orang doktor hukum tata negara mempunyai pendapat yang berbeda, 
menarik juga. Apakah ini menunjukkan perbedaan pemikiran 2 generasi ataukah 
pemikiran pandangan politik yg berbeda dengan keuntungan pada pihak masing2? 
Dan mendagri menggunakan alasan yg lain lagi ha ha ha. Tak tahulah.
 
--- ajegilelu@... wrote :

 Anggap saja Refly ini lupa bahwa Pasal 83 UU Pemda 

 ditujukan khusus untuk kepala daerah, pejabat publik. 

 Tidak seharusnya pejabat publik terlibat masalah hukum. 

 Jadi, seringan apa pun kejahatan yang dilakukan pejabat, 

 beban tanggungjawabnya tentu lebih berat. Kalau Ahok 

 bukan gubernur ya tidak ada urusannya dengan UU Pemda, 

 tidak harus diberhentikan sementara dari pekerjaannya.

 

 "Kalau memakai pendekatan hukum an sich, saya mengatakan 

 tidak ada alasan untuk menonaktifkan atau memberhentikan 

 sementara (Ahok,-red). Tapi, kita tahu, ...." tambah Refly.
 

 Seperti saya katakan, hukum perlu dicermati dengan logika, 

 sukur-sukur yang jernih dang sehat, bukan cuma menjalani 

 prosedur semata. Lihat saja, dengan memakai logikanya 

 toh akhirnya Refly mengusulkan Jokowi untuk 'menonaktifkan' 

 Ahok.



 --- jonathangoeij@... wrote:
 

 "Berdasarkan '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda 
pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, 
sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. 
Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau 
paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.







 ...
 Sabtu 11 Feb 2017, 06:36 WIB
 Refly Harun: Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok 
https://news.detik.com/berita/3419686/refly-harun-tak-ada-alasan-untuk-menonaktifkan-ahok
 
 Ray Jordan - detikNews
 

 

 Foto: Andi Saputra/detikcom

 

 Jakarta - Desakan agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diberhentikan sementara 
dari jabatan Gubernur DKI Jakarta setelah habis masa cuti kampanyenya, menjadi 
polemik. Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pun mengajak agar semua pihak 
melihat permasalahan tersebut dengan jernih.

Permintaan penonaktifan tersebut dikaitkan dengan status terdakwa kasus dugaan 
penistaan agama yang disandang oleh Ahok. Bicara soal pemberhentian sementara 
kepala daerah, aturannya ada dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

"Kalau bicara tentang penonaktifian atau pemberhentian sementara, maka acuannya 
pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata Refly 
saat berbincang dengan detikcom, Jumat (10/2/2017).

Jika berpatokan pada pasal tersebut, lanjut Refly, maka tidak ada alasan untuk 
memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur DKI.

"Karena, pasal itu mengatakan bahwa mereka yang didakwa melakukan kejahatan 
yang ancaman hukumannya paling singkat 5 tahun, lalu akan diberhentikan 
sementara. Selain itu juga mereka yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, 
terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara, atau melakukan 
tindakan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," 
jelas Refly.

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 
Pemda) menyebutkan: "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan 
sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana 
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, 
tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap 
keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara 
Kesatuan Republik Indonesia."

Dikaitkan dengan kasus Ahok, terang Refly, mantan Bupati Belitung Timur itu 
didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun 
penjara. Selain itu, Ahok juga didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama 
yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.

"Berdasarkan '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda 
pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, 
sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. 
Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau 
paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.

Meski demikian, lanjut Refly, ada juga tindak pidana yang ancaman hukumannya 
kurang dari 5 tahun, terdakwanya bisa langsung dinonaktifkan dari jabatan 
gubernur. Namun, hal itu juga tidak bisa dikenakan kepada Ahok.

"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa 
korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diberhentikan sementara. Sama juga 
dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI," kata Refly.

Untuk itu, Refly menegaskan dirinya tidak sependapat jika pasal 83 UU Pemda itu 
diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI. "Yang jelas dia 
bukan (melakukan) korupsi, makar dan terorisme," katanya.

"Kalau memakai pendekatan hukum an sich, saya mengatakan tidak ada alasan untuk 
menonaktifkan atau memberhentikan sementara (Ahok,-red). Tapi, kita tahu, soal 
Ahok ini adalah soal yang sangat politis dan tidak hanya soal hukum, antara 
yang pro dan kontra sama kuatnya. Tapi marilah kita melihat pasal 83 ayat 1 (UU 
Pemda) itu secara jernih. Pendapat saya tidak ada alasan kalau berpatokan pada 
pasal itu. Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, yang 
paling populer adalah menonaktifkan, karena dianggap akan netral. Kalau tidak 
menonatifkan dianggap tidak netral," tambah Refly.

(jor/erd)






























 
 
 



  

Kirim email ke