"extra effort" itu termasuk penghapusan pensiun pegawai negeri?
   From: j.gedearka
 
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/08/073300526/faisal.basri.kebijakan.ekonomi.pemerintah.ugal-ugalan.
  
Faisal Basri: Kebijakan Ekonomi Pemerintah "Ugal-ugalan"
  Rabu, 8 Maret 2017 | 07:33 WIB 1470 Shares    Hilda B Alexander/KOMPAS.com 
Kondisi teraktual pembangunan LRT Jabodebek, foto diambil Kamis (9/2/2017).    
Terkait
    
   -  Sri Mulyani Tak Ingin Pertumbuhan Ekonomi Dinikmati Segelintir Orang 
   -  Belanja Pemerintah Ketat, BI Revisi ke Bawah Pertumbuhan Ekonomi  
   -  Investasi Sektor Industri Diharapkan Topang Pertumbuhan Ekonomi 2017 
   -  Ada Wajib Pajak yang Hidup Tenang Ada yang Gelisah, Anda Masuk Mana? 
   -  Jelang Akhir "Tax Amnesty", Kantor Pajak Buka Setiap Hari  
   -  Target Pertumbuhan Ekonomi 6,1 Persen Dinilai Tak Realistis 
      JAKARTA, KOMPAS.com — Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, 
menilai, dua tahun pertama pemerintah Jokowi-JK, perekonomian dijalankan secara 
"ugal-ugalan". "Dua tahun pertama, Jokowi ini 'ugal-ugalan'. Growth turun, 
tetapi (target penerimaan) pajak dinaikkan luar biasa," kata Faisal dalam 
diskusi bertajuk Indonesia's Economic Outlook 2017 di Jakarta, Selasa 
(7/3/2017) malam. Faisal mengatakan, pada tahun 2015, pemerintah mematok target 
penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.489 triliun atau 29,8 persen dari 
realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.147 triliun. Target yang hampir 
mencapai 30 persen itu, menurut Faisal, mustahil direalisasikan mengingat 
perekonomian masih melambat. Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2014 hanya 
5,02 persen, melambat dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 5,58 persen. 
Bahkan, kalaupun dilakukan extra effort, dia memperkirakan penerimaan pajak 
hanya tumbuh sekitar 11 persen. Pada tahun 2016, pemerintah kembali mematok 
target penerimaan pajak APBN-P sebesar Rp 1.539 triliun atau 24,11 persen dari 
realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.240 triliun. Target pertumbuhan 
24,11 persen ini cukup ambisius melihat realisasi pertumbuhan ekonomi 2015 
kembali melambat, hanya mencapai 4,79 persen dan menjadi pertumbuhan ekonomi 
terendah sejak 2009. "Keugal-ugalan" yang diulang ini pun menyebabkan realisasi 
penerimaan pajak 2016 hanya mencapai Rp 1.284 triliun. Itu pun, kata Faisal, 
sudah memasukkan penerimaan dari pengampunan pajak yang sebesar Rp 103,3 
triliun. "Jadi, kalau tanpa tax amnesty, penerimaan pajak 2016 hanya Rp 1.180,7 
triliun, turun 4,78 persen dibandingkan realisasi 2015," kata Faisal. Tahun 
2017, tax amnesty sudah berakhir. Pemerintah pun mencoba mengoreksi target 
penerimaan pajak dalam APBN 2017. "Seolah-olah konservatif, penerimaan dan 
belanja sama-sama turun. Tetapi, ternyata, masih agak ugal-ugalan," kata 
Faisal. Hal itu ia lihat dari sisi belanja yang tidak mempertimbangkan 
kemampuan anggaran. Misalnya, untuk proyek kereta cepat ringan atau light rapid 
transit (LRT), perusahaan pelat merah disuruh membangun terlebih dahulu, baru 
memikirkan pendanaannya kemudian. Dia pun menyarankan agar PT Kereta Api 
Indonesia, yang menjadi salah satu konsorsium, tidak terlalu berharap pada 
penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 4 triliun sebab sejauh ini belum 
dianggarkan dalam APBN 2017. Entah akan dianggarkan dalam APBN perubahan atau 
tidak. Memang, kata Faisal, utang Indonesia dibandingkan negara-negara lain di 
dunia relatif rendah. Akan tetapi, jika waktunya mepet, pasar akan memberikan 
bunga tinggi dan bisa-bisa bunga utangnya lebih besar dibandingkan dengan 
belanja modal yang dibutuhkan. "Lama-lama saya rasa Bu Sri Mulyani pening 
kepalanya karena rumusnya Pak Jokowi, 'pokoknya'," kata Faisal.   
| Penulis | : Estu Suryowati |
| Editor | : Bambang Priyo Jatmiko |

 

   

Kirim email ke