Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret saya tergerak memperkenalkan Dialita, paduan suara yang terdiri dari ibu2 diatas limapuluh tahun, dengan cara menulis ulang Kata Pengantar dari salah satu album mereka:
Kata pengantar album: "Kisah Kasih Dialita" Menyanyi adalah pesan dari jiwa merdeka untuk menyampaikan kehidupan lewat nada dan suara. Itulah pesan yang ingin digetarkan oleh ibu2 paduan suara Dialita tentang sejarah yang digelapkan dan dibungkam lewat nyanyian. Ibu2 Dialita ingin menyampaikan pengalaman tentang sejarah hidup yang mereka alami sesudah tragedi kekerasan secara struktural yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1965. Bagaimana pada saat itu, ibu, bapak, kakak, paman, bibi, nenek dan kakek mereka hilang, dibunuh, ditahan ber-tahun2 bahkan tidak pernah kembali. Bagaimana mereka harus berlindung dan bertahan dari diskriminasi dan kebencian yang dilekatkan kepada setiap keluarga yang dituduh tersangkut peristiwa G30S/65 di masyarakat. Mereka dikucilkan secara sosial dan politik di Indonesia, karena dituduh terlibat dalam peristiwa tragedi tersebut. Ini adalah bencana kehidupan. Siapa yang peduli pada kehidupan dan trauma yang muncul akibat diskriminasi? Tragedi 1965 dan tragedi2 kekerasan lainnya yang terjadi di bumi pertiwi telah mengubah perjalanan hidup keluarga Indonesia sebagai manusia, bangsa dan warga Indonesia. Bernyanyi, berkumpul, bercerita dan berbagi pengalaman dalam bertahan hidup, adalah cara mereka, para keluarga penyintas/survivor untuk merawat harapan. Lewat bernyanyi, mereka berbagi kisah hidup, trauma sekaligus semangat untuk hidup. Dari saling menguatkan untuk bertahan, mereka memutuskan untuk membentuk sebuah paduan suara, yang kemudian diberi nama Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, seperti umur kebanyakan anggotanya. Dialita ingin mengumandangkan suara kehidupan lewat lagu2 dari sebuah jaman yang dihilangkan dari perjalanan hidup bangsa kita. Musik sebagai pesan dan salam persahabatan, perdamaian, dan rekonsiliasi untuk keadilan. Pada awalnya para biduanita Dialita adalah bagian dari "Keluarga Dalam Sejarah 65" (KDS 65), para keluarga penyintas tragedi peristiwa 1965, terdiri dari anak2 yang ketika tragedi 1965 terjadi harus berpisah dengan orang tua dan keluarga. Orang tua mereka ditahan di kamp2 kerja paksa di Pulau Buru dan Plantungan, serta rumah2 tahanan yang tersebar di Jawa dan di pulau2 Indonesia lainnya. Termasuk dalam kelompok tahanan ini adalah ibu2 yang pada tahun 1965 masih remaja putri dan ikut aktif bekerja sebagai guru pemberantasan buta huruf. Mereka pun turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, menyuarakan anti-poligami, anti perkawinan usia dini, anti diskriminasi, dan anti kolonialisme. Lalu tiba2 mereka diambil dari rumah dan keluarga kemudian ditahan di kamp kerja paksa untuk perempuan di Plantungan. Dalam perjalanannya banyak kaum muda yang bergabung di kelompok paduan suara ini, karena bersimpati pada perjuangan dan semangat Dialita dalam merajut hidup. Proses kreatif Dialita didampingi oleh pelatih vokal, arranger dan conductor, Bapak Martin Lampanguli dan Bapak Harry Ashari serta diiringi musik oleh pianis,Guantara K. Atmodjo. Pilihan lagu yang dinyanyikan Dialita adalah lagu2 bersejarah. Getaran syair kehidupan dari lagu yang dinyanyikan, berisi pujaan kepada tanahair Indonesia, kerinduan seorang Ibu di dalam kamp pada anak2 yang mereka tinggalkan. Seperti lagu "Taman Bunga Plantungan" karya Ibu Nungtjik ketika dipenjara di kamp Plantungan, lagu "Salam Harapan" karya Ibu Murtiningrum dan Nungtjik, lagu "Untuk Anakku" karya Ibu Heryani Busono, dan lagu "Ujian" yang ditulis oleh Ibu Jus Djubariah. Dua komponis besar Indonesia yang dilupakan oleh sejarah, Sudharnoto dan Subronto K. Atmodjo, mencipta dan menggubah lagu2 dari kamp kerja paksa di Pulau Buru. Dari penjara Salemba, Koesalah Subagia Toer, Bachtiar Siagian, dan Putu Oka Sukanta menulis nyanyian kehidupan. Lagu2 ini adalah simbol perjuangan merawat dan menjaga harapan untuk hidup, meskipun dalam situasi yang sangat sulit. Ada jiwa dan semangat yang terkandung dalam lagu2 ini, yang membangkitkan daya untuk tetap berkarya bagi kemanusiaan. Lagu2 tersebut digubah dan direkam oleh musisi2 muda untuk mengingatkan kita atas sejarah kekerasan yang hilang sehingga peristiwa tersebut tak akan terulang kembali di kehidupan siapapun di muka bumi.