https://koransulindo.com/di-luar-perkiraan-cina-justru-alami-defisit-neraca-perdagangan/
 
https://koransulindo.com/di-luar-perkiraan-cina-justru-alami-defisit-neraca-perdagangan/

 Di Luar Perkiraan, Cina Justru Alami Defisit Neraca Perdagangan 13 April 2018
 



 Koran Sulindo – Tahun 2017 lalu, kinerja perdagangan Cina mengalami 
reboundkarena permintaan yang berkelanjutan di dalam dan luar negeri. Tak 
mengherankan jika ada yang menilai kinerja perdagangan negara itu dalam posisi 
kuat pada awal tahun 2018. Bahkan, untuk kuartal pertama 2018, ekspor Cina 
masih mencatat pertumbuhan 14,1%, meski impor juga naik 18,9%.
 Namun, tingkat ekspor Cina pada Maret 2018 cukup mengejutkan banyak pihak 
lantaran melorot sampai 2,7% bila dibanding tahun sebelumnya. Ini merupakan 
penurunan ekspor pertama dari negara negara eksportir terbesar di dunia sejak 
Februari 2017.
 Diberitakan Reuters pada Jumat ini (13/4), data bea cukai Cina menunjukkan 
impor tumbuh melebihi harapan, di level 14,4%. Namun, untuk pertama kalinya 
sejak Februari tahun 2017, Cina mengalami defisit perdagangan dengan nilai US$ 
4,98 miliar per Maret 2018.
 Sebelumnya, hasil survei Reuters terhadap sejumlah analis memperkirakan Cina 
akan mengalami surplus perdagangan sebesar US$ 27,21 miliar pada Maret 2018. 
Walaupun, memang, analis memprediksi pertumbuhan ekspor Cina pada Maret itu 
hanya akan naik 10%. Pertumbuhan tersebut bisa dikatakan sangat melambat dari 
pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 44,5%, karena ditopang faktor 
musiman.
 Impor justru naik ke level 10%. Padahal, pada Februari 2018, sempat melambat 
menjadi 6,3%.
 Kinerja perdagangan Cina yang melorot itu tentu tak bisa dilepaskan dari 
situasi Perang Dagang dengan Amerika Serikat (AS), yang langsung atau tak 
langsung mengganggu pengiriman Cina dan rantai pasokannya. Perang Dagang antara 
Cina dan ASdipicu oleh adanya perintah Presiden AS Donald Trump pada Agustus 
2017 lalu agar diadakan penyelidikan atas kebijakan Cina, yang dikenal dengan 
istilah “Penyelidikan 301”.
 Dari penyelidikan  tersebut ditemukan sejumlah praktik yang “tidak adil” yang 
dilakukan Cina terhadap AS, termasuk pembatasan kepemilikan asing di Cina yang 
memaksa perusahaan-perusahaan melakukan transfer teknologi. Menurut Juru 
Runding Senior AS, Robert Lighthizer, sebagaimana dikutip BBC, melindungi 
teknologi amat penting bagi masa depan ekonomi AS. “Ini merupakan aksi yang 
amat penting, amat berarti, dan amat, amat penting bagi masa depan negara ini,” 
kata Lighthizer. Selain itu, AS juga menemukan bukti bahwa Cina menerapkan 
kondisi yang tidak sehat untuk perusahaan-perusahaan AS, mengarahkan investasi 
atas industri strategis AS, dan melakukan serta mendukung serangan siber.
 AS kemudian membuat penerapan baru untuk tarif impor baja dan aluminium dari 
Cina. Juga akan merencanakan tarif sekitar US$ 60 miliar atas produk Cina dan 
membatasi kegiatan investasinya di AS sebagai sanksi terhadap dugaan 
pelanggaran hak kekayaan intelektual selama bertahun-tahun.
 Cina membalas, dengan memberlakukan tarif bea masuk hingga 25% terhadap 128 
produk impor dari AS, antara lain daging babi dan minuman anggur. Cina 
mengatakan, langkah tersebut ditempuh untuk “menjaga keseimbangan kepentingan 
dan neraca Cina” yang dirugikan oleh cukai baru AS. [RAF]
  Pembaca : 139

 

Kirim email ke