Klarifikasi soal sistem anggaran era Ahok 
Anies angkat bicara terkait polemik dokumen Kebijakan Umum APBD Plafon 
Prioritas Anggaran Sementara (KUAPPAS) 2020. Termasuk soal adanya kegiatan yang 
janggal yang ditemukan oleh Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DKI 
Jakarta, misalnya rencana pembelian lem aibon senilai Rp82,8 miliar dan pulpen 
sebesar Rp123,8 miliar yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta.. 
Singkatnya Anies menyalahkan sistem anggaran sebagai warisan dari Ahok. 
Dianggap sistem ebudgeting era Ahok tidak smart, yang masih membutuhkan input 
secara manual. Benarkah ?
Seperti diketahui, e-budgeting direncanakan sejak zaman Jokowi menjadi Gubernur 
DKI Jakarta pada 2013, lewat Peraturan Gubernur (Pergub) No 145 tahun 2013. 
Sistem dijalankan ketika Ahok menjadi Gubernur DKI dan melakukan pembahasan 
APBD DKI 2015. Pergub tersebut mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 58 
Tahun 2005. Karena penerapan sistem ebudgeting itu, Ahok bisa membongkar 
anggaran siluman. Masalahnya, muncul  dua versi APBD-P DKI 2014 sehingga 
memunculkan kasus korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS) senilai 
Rp120 miliar. Karena itu Ahok ribut dengan anggota DPRD. 
Tapi sistem ebudgeting era Ahok tidak mudah dijebol. Mengapa ? karena DKI di 
era Ahok sudah menerapkan e-planning. Jadi Rencana kerja Jangka Menengah dan 
Panjang telah di masukan kedalan e-Planning. Ini tidak mungkin diubah. Mengapa 
? karena sudah ada PERDA nya dan persetjuan dari Menteri Dalam negeri. Tentu 
dasarnya sangat kuat karena telah melewati kajian akademis yang menyeluruh dan 
lagi penyusunan itu melibatkan uang negara. Jadi kalau Anies mengajukan 
anggaran diluar e-planning maka otomatis akan ditolak oleh system. Apalagi 
sistem ini terhubung dengan KPK dan BPK. Pelanggaran terhadap itu akan jadi 
target KPK.
Kalau anggaran yang disusun telah sesuai dengan e-planning maka masih ada lagi 
e-budgeting. Detail anggaran itu akan di uji oleh system database e-budgeting. 
Kalau tidak sesuai dengan aturan yang ada maka otomatis di tolak. Tidak boleh 
diajukan ke DPRD. Kalau anggaran sesuai dengan e-Budgeting , maka masih ada 
lagi e-procurement. Contoh, satu mata anggaran itu seharusnya seharga Rp. 
100.000 tapi dianggarkan sebesar Rp. 500.000 maka otomatis akan ditolak oleh 
system database. Dan ini akan berdampak kepada semakin membesarnya sisa 
anggaran tidak terpakai karena tidak sesuai denga e-procurement. Apalagi 
Pejabat pemangku anggaran tidak mau masuk penjara alias takut sendiri. Karena 
sudah di detek oleh sistem adanya pelanggaran.
Kalau semua system database bisa dilewati maka masih ada lagi database 
pendapatan yang berkaitan dengan PAD dan pendapatan daerah. Anggaran belanja 
harus bisa memastikan pertumbuhan pendapatan Daerah. Untuk menguji belanja itu 
akan mendorong peningkatan pendapatan, ada lagi UU dan Permen yang mengatur 
sehingga secara trasfarance bisa di analisa oleh mendagri apakah belanja itu 
telah memenuhi unsur kepatutan atau tidak. Kalau tidak maka akan ditolak oleh 
Mendagri. Jadi memang ketat sekali.
Nah apa yang dilakukan Anies selama ini ? dia berusaha mengubah dengan cara 
memisahkan e-Planning dan ebudgeting. Akibatnya ebudgeting hanya berfungsi 
pengelektronikan data yang membutuhkan input data manual. Bukan sebagai sebuah 
sistem yang terintegrasi . Itu sebabnya Anies tidak mau ada transfaransi. Itu 
sebab data input di web beda dengan Planning. Sangat berbeda dengan era Ahok. 
di era Ahok, proses anggaran mulai dari penyusunan Rencana Kerja Pemerintah 
Daerah di eksekutif hingga pembahasannya di DPRD seluruhnya diunggah untuk 
publik. Mengapa ? Karena e-planning di Bappeda dan e-budgeting di Badan 
Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) sudah terintegrasi, sehingga entri 
data tidak perlu lagi manual.
Semoga pak Anies paham. Engga usah menyalahkan lantai berjungkit kalau tak 
pandai menari. Tak usah menyalahkan orang lain kalau awak sendiri pandir.

Erizeli Jely Bandaro

Dikirim dari Yahoo Mail untuk iPhone

Kirim email ke