Jokowi dan Jebakan Vaksin Tiongkok
/Seri pemikiran Kishore Mahbubani #14/
S13<https://www.pinterpolitik.com/author/s13-207>-Thursday, September
17, 2020 6:00
https://www.pinterpolitik.com/jokowi-dan-jebakan-vaksin-tiongkok
Jokowi dan Xi Jinping (Foto: istimewa)
/8 min read/
*Vaksin Covid-19 kini menjadi komoditas politik paling hangat
dan penting untuk dibicarakan. Bukan tanpa sebab, di tengah
pandemi global yang disebut belum akan berakhir dalam waktu
dekat ini, keberadaan produk vaksin ini akan jadi kunci utama
pertaruhan kekuatan politik global di antara negara-negara yang
ada di dunia, terutama antara Tiongkok dan Amerika Serikat.*
------------------------------------------------------------------------
*PinterPolitik.com <https://pinterpolitik.com/>*
*“However, America also began to see its many Cold War allies in a
new light, questioning their usefulness and seeing their flaws in
sharper relief”.*
*::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::*
Seperti yang sudah terjadi pada politik internasional sebelum Covid-19
menyebar, persaingan utama peta kekuatan global masih akan melibatkan
Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok. Dua negara ini memang sedang ada
dalam tahap persaingan memperebutkan dominasi global, terutama setelah
Perang Dagang yang “berdarah-darah” terjadi di antara mereka.
Menariknya, banyak pihak kini melihat Tiongkok sebagai yang terdepan
dalam pertarungan perebutan pengaruh dengan menggunakan produk vaksin ini.
Hal ini salah satunya*diulas*
<https://www.nytimes.com/2020/09/11/business/china-vaccine-diplomacy.html>oleh
Sui-Lee Wee di The New York Times. Ia menyebutkan bahwa Tiongkok
menggunakan vaksin Covid-19 sebagai alat untuk meningkatkan “pertemanan”
dengan banyak negara. Upaya ini tergambar dari bagaimana
perusahaan-perusahaan pembuat vaksin asal negara ini menjadi alat bagi
Tiongkok untuk meluaskan pengaruhnya ke berbagai negara, mulai dari
Asia, Amerika Latin hingga ke Afrika.
Hal yang serupa nyatanya juga terjadi pada Indonesia, di mana Tiongkok
juga memberikan perhatian lebih pada produksi vaksin untuk Indonesia –
tak tanggung-tanggung – lewat janji langsung yang disampaikan oleh
Presiden Xi Jinping.
Lalu, seperti apa akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore
Mahbubani menilai fenomena ini?
*Politik Vaksin Tiongkok*
Dalam tulisan di The New York Times tersebut, memang disebutkan ada
beberapa negara yang mendapatkan keistimewaan dari Tiongkok terkait
vaksin Covid-19.
Filipina misalnya, akan mendapatkan akses cepat produksi vaksin
Tiongkok. Presiden Rodrigo Duterte disebut telah melakukan “pendekatan”
terhadap Presiden Xi Jinping untuk membantu negaranya terkait persoalan
vaksin.
Duterte bahkan menyebut tak akan mengkonfrontasi Tiongkok di Laut China
Selatan jika diberikan bantuan pengadaan vaksin yang cepat dan
diprioritaskan. Sehari kemudian, pernyataan resmi dikeluarkan oleh
Kementerian Luar Negeri Tiongkok yang menyebutkan bahwa mereka akan
memberikan akses prioritas kepada Filipina terkait vaksin.
Hal ini tentu mengejutkan, mengingat Filipina selalu dianggap sebagai
sekutu AS di kawasan Asia Tenggara dan untuk beberapa waktu terakhir,
negara yang dipimpin oleh Duterte itu mulai cukup keras mengkonfrontasi
Tiongkok di Laut China Selatan. Jaminan bahwa Filipina tak akan
mengkonfrontasi Tiongkok di konflik teritorial tersebut membuktikan
secara jelas bahwa vaksin telah menjadi alat politik yang sangat efektif.
Selain Filipina, negara lain yang disinggung adalah Bangladesh, di mana
Tiongkok disebut menjanjikan 110 ribu dosis vaksin gratis yang
diproduksi oleh Sinovac Biotech. Sementara negara-negara Amerika Latin
dan Karibia disebut akan mendapatkan bantuan pinjaman dana hingga US$ 1
miliar atau sekitar Rp 14,8 triliun dari Tiongkok yang akan digunakan
untuk kebutuhan obat-obatan.
Kemudian, pemerintah Tiongkok juga telah melakukan pendekatan kepada
Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos untuk menyelesaikan sengketa terkait
tuduhan bahwa negara tersebut bertanggungjawab pada kekeringan yang
terjadi di keempat negara lain.
Memang sempat*diberitakan
<https://www.nytimes.com/2020/04/13/world/asia/china-mekong-drought.html>*bahwa
Tiongkok melakukan pembatasan terhadap aliran sungai Mekong, sehingga
menjadi penyebab kekeringan di negara-negara lain yang dialiri oleh
sungai tersebut. Menariknya, Tiongkok mendinginkan persoalan tersebut
dan justru menawarkan vaksin sebagai bagian dari kesepakatan. Proposal
ini diterima dengan baik oleh negara-negara tersebut.
Lalu terhadap Indonesia sendiri, Presiden Xi Jinping disebut telah
memberikan jaminan bahwa negaranya akan memberikan bantuan terkait
pengadaan vaksin. Seperti yang banyak diberitakan, Indonesia bahkan
telah menandatangani kesepakatan pengadaan vaksin dalam bentuk
konsentrat sebanyak 50 juta dosis, yang nantinya akan diproduksi secara
lokal oleh PT Bio Farma – perusahaan farmasi pelat merah.
Konteks kerja sama ini memang belum terlihat dampaknya yang lebih besar
dalam hubungan politik di konflik Laut Natuna Utara misalnya. Namun,
dengan kerja sama ekonomi yang terjadi di antara kedua negara, efeknya
sangat mungkin akan terasa dalam hal pembangunan proyek-proyek tertentu
serta dalam bidang perdagangan.
Manuver-manuver yang demikian ini dipercaya juga akan terjadi di banyak
negara. Tujuannya sangat mungkin untuk menggeser posisi AS dari
kepemimpinan global.
Di AS sendiri, saat ini memang setidaknya ada 3 perusahaan yang telah
ada di tahap-tahap akhir produksi vaksin. Namun, posisi produksinya
dianggap masih tertinggal beberapa langkah dibandingkan
perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Pfizer misalnya disebut bisa memproduksi vaksin untuk “keperluan
emergency” pada Oktober 2020. Ya, bisa diproduksi di bulan Oktober,
tetapi hanya untuk keadaan yang sangat mendesak. Perusahaan lain,
Moderna, menyebutkan baru bisa memproduksi vaksin di akhir tahun 2020.
Sementara AstraZeneca – sebuah perusahaan asal Inggris-Swedia yang
mendapatkan pendanaan dari pemerintah AS – menghentikan sementara uji
coba lanjutan setelah ditemukan reaksi dari sukarelawan yang
berpartisipasi. Apa yang terjadi pada AstraZeneca ini sedikit banyak
akan menguntungkan bagi posisi politik Tiongkok yang nota bene
perusahaan-perusahaannya tak menemui hambatan berarti sejauh ini.
Fenomena ini oleh beberapa pihak dianggap menunjukkan bahwa AS mulai
tertinggal dari Tiongkok dalam pertarungan perebutan pengaruh lewat
bidang keilmuan pembuatan vaksin. Bahkan, Kishore Mahbubani dalam salah
satu*wawancara
<https://news.cgtn.com/news/2020-09-11/Mahbubani-believes-U-S-has-lost-the-way-and-China-has-found-it-THmGMNtada/index.html>*online
bersama Centro Brasileiro de Relacoes Internacionais, menyebutkan bahwa
AS telah kalah dalam pertarungan menghadapi Tiongkok ini secara keseluruhan.
Setidaknya ada 3 hal yang ia sebut menjadi alasan utama kemunduran AS.
/Pertama/adalah “kerusakan otak” AS dan negara-negara Barat akibat
artikel yang dibuat oleh Francis Fukuyama berjudul/The End of History
and The Last Man/. Artikel ini meninabobokan peradaban Barat dan
membuatnya buta terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di Timur.
Alasan/kedua/adalah karena filosofi Raegan yang digariskan oleh Presiden
Ronald Raegan, bahwa pemerintah bukanlah solusi terhadap
persoalan-persoalan yang ada, melainkan pemerintahlah yang menjadi
masalahnya. Konteks ini berbeda dengan negara-negara seperti Tiongkok
yang tingkat kepercayaan terhadap pemerintahnya masih sangat tinggi,
sehingga memudahkan pembangunan menuju kemajuan.
Alasan/ketiga/adalah karena makin terpecahnya masyarakat AS akibat
politik. Sejak Donald Trump berhadapan dengan Hilary Clinton, dan
sekarang Trump akan berhadapan dengan Joe Biden, keterpecahan masyarakat
AS ini menambah buruk kondisi sosial-politik negara tersebut.
Sementara, Tiongkok justru melakukan hal-hal yang menjadi kunci
kemajuannya seperti sekarang ini.
/Pertama/, negara tersebut meninggalkan peradaban lama dan masuk ke
dunia modern yang mengedepankan multilateralisme. Akibatnya, Tiongkok
kini menjadi “negara pedagang” nomor satu di dunia.
/Kedua/, Tiongkok disebutnya telah bertransformasi dari negara feodal
menjadi sebuah negara yang menjunjung meritokrasi. Kesempatan untuk
menjadi yang terbaik kini terbuka bagi semua orang.
Dan yang/ketiga/adalah karena pragmatisme. Apa yang dilakukan oleh Deng
Xiaoping misalnya dengan membuka negara tersebut di bidang ekonomi
adalah contoh pragmatisme tersebut.
Dari variabel-variabel yang disebutkan oleh Mahbubani ini, memang bisa
dipastikan bahwa jika AS tak berbuat banyak dalam beberapa waktu ke
depan, posisinya akan makin digantikan oleh Tiongkok.
*Tarung Sengit vs Amerika Serikat*
Walaupun demikian, selalu ada alasan untuk tidak dengan begitu saja
menyisihkan AS dari persaingan. Bahkan, muncul juga argumentasi lain
yang menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan pembuat vaksin milik
Tiongkok diklaim mendapatkan pendanaan dari negara-negara Barat,
termasuk AS.
Jika ditelusuri satu per satu, dari 3 perusahaan di negara tersebut yang
terdepan mengembangkan vaksin, beberapa memang punya pertalian dengan
negara Barat.
CanSino misalnya, adalah perusahaan Tiongkok yang punya pertalian dengan
Kanada. Namanya saja mewakili dua negara tersebut, yakni Can untuk
Canada dan Sino untuk China. Chief Scientific Officer CanSino, Zhu Tao
juga*merupakan*
<https://www.japantimes.co.jp/news/2020/07/02/asia-pacific/science-health-asia-pacific/china-cansino-coronavirus-vaccine/>seorang
ilmuwan senior di perusahaan Sanofi Pasteur yang ada di Kanada. Walaupun
demikian, basis operasi dan petinggi perusahaan ini kebanyakan berasal
dari Tiongkok.
Perusahaan lain, Sinovac, disebut-sebut juga mendapatkan pendanaan dari
perusahaan yang berbasis di AS. Beberapa sumber*menyebutkan*
<https://www.pharmaceutical-technology.com/news/sinovac-covid-19-vaccine-funding/>dari
sekitar US$ 15 juta yang didapatkan oleh Sinovac untuk pengembangan
vaksin Covid-19, berasal dari dua perusahaan, yakni Advantech Capital
dan Vivo Capital yang masing-masing menginvestasikan US$ 7.5 juta.
Advantech Capital adalah perusahaan yang berbasis di Tiongkok, sementara
Vivo Capital menurut*website* <http://vivocapital.com/>resminya berbasis
di California, Amerika Serikat.
Sedangkan perusahaan pengembang vaksin yang terakhir, Sinopharm adalah
perusahaan pelat merah yang 100 persen dimiliki oleh pemerintah Tiongkok.
Walaupun dua dari tiga perusahaan tersebut punya keterkaitan dengan
Barat, cukup sulit untuk menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan ini
cenderung berpihak ke para pendananya ketimbang pada pemerintah Tiongkok
sendiri. Pasalnya, dengan diplomasi vaksin yang digalakkan oleh negara
yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu, jelas bahwa ada kepentingan
negara yang dibawa di dalamnya.
Yang jelas, pertarungan perebutan pengaruh ini masih akan terjadi dalam
waktu-waktu ke depan. Semuanya akan ditentukan dari perusahaan mana yang
terlebih dahulu sampai pada produk final vaksin tersebut. Bagi publik,
pragmatisme dan kebangkitan politik Tiongkok lewat vaksin Covid-19
adalah hal yang menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di *bit.ly/PinterPolitik*
<http://bit.ly/PinterPolitik>