-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1988-mencari-pemimpin Sabtu 14 November 2020, 05:00 WIB Mencari Pemimpin Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group | Editorial Mencari Pemimpin MI/Ebet Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group. MENCARI dan mencetak pemimpin di Republik berpenduduk hampir 270 juta jiwa ini tetaplah bukan pekerjaan mudah. Apalagi di tengah situasi krisis kepemimpinan seperti saat ini. Banyak keluhan klise negeri ini surplus politisi, tapi defi sit negarawan. Padahal, pemimpin idealnya negarawan. Defisit negarawan berujung pada defisit pemimpin. Saya jadi teringat pernyataan Bung Hatta, “Kualitas pemimpin sepadan dengan caranya mendapat makan.” Ungkapan Bung Hatta itu menjadi isyarat atas perasaan umum yang berkembang mengenai krisis kepemimpinan. Cara pemimpin ‘mendapatkan makan’ itulah yang membuat defi sit negarawan tak pernah tuntas diatasi. Mustahil muncul pemimpin sejati jika kekuasaan disesaki para pejabat yang bermental kere: tak pernah merasa cukup dengan seberapa pun yang diperoleh; juga tak kuasa memberi kepada negara, hanya bisa mengambil dari negara. Maka kita menyaksikan masih banyak barisan pemburu rente di saat sedikit orang tengah berjibaku membangun idealisme kepemimpinan. Pada dekade 1930-an, di tengah gelombang resesi dan depresi ekonomi, Bung Hatta pernah mengingatkan pula, ”Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.” Dilanjutkan lagi oleh Bung Hatta, ”Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.” Integritas dan moral yang kuat itulah titik mulanya. Pemimpin bermoral baja akan memiliki pemahaman awal bahwa kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama. Di atas kertas, tekad itu sudah dinyatakan berkali-kali oleh ‘pabrik’ para pemimpin, yakni partai politik. Sayangnya, tekad itu kerap macet, bahkan saat hendak distarter. Tidak mengherankan bila akhirnya rakyat merasa ditipu oleh ‘pabriknya’ calon pemimpin tersebut. Itu tergambar dalam hasil survei sejumlah lembaga kredibel, seperti Saiful Mujani Research and Consulting, Indo Barometer, Indikator Politik, juga Lembaga Survei Indonesia. Hasil survei lembaga-lembaga itu menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap parpol tidak beringsut di rentang 40% hingga 55%. Di antara sejumlah institusi, seperti TNI, Polri, KPK, bahkan dengan DPR, tingkat kepercayaan terhadap parpol berada di posisi paling buncit. Salah satu alasan mengapa publik tidak terlalu memercayai parpol ialah karena parpol tidak cukup menghasilkan pemimpin berkualitas negarawan. Parpol masih dipersepsikan sekadar menghasilkan pemimpin karbitan, bahkan pemimpin bermental pemburu rente. Mereka hanya mengisi tugas demokrasi secara teknik, tapi mengabaikan demokrasi secara etik. Maka, ide Partai NasDem untuk merekrut calon pemimpin nasional secara terbuka akan betul-betul menjadi resep jitu asal dilakukan secara konsisten. Ide tersebut juga akan ‘mengobati’ luka rakyat yang merasa dibohongi parpol dalam memilih calon pemimpin. Dengan model konvensi terbuka yang menampung anak bangsa dari segenap penjuru mata angin, tidak dibatasi hanya dari internal partai, maka publik akan bisa secara terbuka menilai, melihat rekam jejak, menelusuri kebiasaannya, hingga menelusuri cara para calon pemimpin ‘mendapatkan makan’. Rakyat akan terlibat secara langsung dan tidak merasa dijebak dengan ‘membeli pemimpin di dalam karung’. Dengan pola rekrutmen seperti itu, bila konsisten dijalankan, akan melahirkan pemimpin yang menyadari tugasnya sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya. Untuk mengemban tugas itu, mereka harus berjiwa besar agar bisa lebih besar daripada dirinya sendiri. Seperti kata penulis, politikus, dramawan, dan presiden pertama Repubik Ceko Vaclav Havel, “Mustahil menulis persoalan besar tanpa hidup dalam persoalan besar itu. Mustahil menjadi pemimpin agung tanpa menjadi manusia agung. Manusia harus menemukan dalam dirinya sendiri rasa tanggung jawab yang besar terhadap dunia, yang berarti tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.” Dalam pola rekrutmen calon pemimpin yang terbuka melalui konvensi, akan terlihat pula bagaimana komitmen calon pemimpin terhadap kemaslahatan publik. Komitmen itu menuntut para pemimpin untuk tidak melulu mengandalkan modal fi nansial, tetapi yang lebih penting ‘modal moral’. Seberapa besar kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat, itu juga akan sangat terukur dan bisa distandardisasikan melalui konvensi. Menjadi negarawan sebetulnya perkara gampang. Bagi politisi, yang penting mereka harus hidup untuk politik, bukan hidup (mencari makan) dari politik. Seperti kata Harry Truman, “Politik luhur adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan di mana manusia dapat menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.” Sumber: https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1988-mencari-pemimpin