-- 
j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>



https://www.antaranews.com/berita/1839772/anak-muda-sepakat-hutan-papua-benteng-terakhir-hadapi-krisis-iklim




Anak muda sepakat hutan Papua benteng terakhir hadapi krisis iklim

Sabtu, 14 November 2020 20:12 WIB

Pembicara dalam webinar Kebijakan Iklim Indonesia dan Papua dalam Perspektif 
Keadilan Antargenerasi yang digelar Walhi Papua diakses dari Jakarta, Sabtu 
(14/11/2020). ANTARA/Virna P Setyorini.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah anak muda bersikap dan sepakat melindungi hutan 
Papua yang merupakan benteng terakhir Indonesia untuk dapat menghadapi krisis 
iklim yang sedang terjadi.

“Saya tidak setuju sawit, karena hutan bagi orang Papua adalah mama. Orang 
Papua tidak butuh sawit. Bukan menolak, tapi orang Papua hidup dan tidur dalam 
hutan,” kata mahasiswa Universitas Cenderawasih Marcel Gibrael Mauri dalam 
webinar "Kebijakan Iklim Indonesia dan Papua dalam Perspektif Keadilan 
Antargenerasi" yang digelar Walhi Papua dan diakses dari Jakarta, Sabtu.

Orang Papua bisa hidup tanpa emas, tapi bisa mati tanpa hutannya, kata Marcel 
menanggapi pemberitaan yang sedang hangat jadi pembahasan bertajuk “Papua: 
Investigasi ungkap perusahaan Korsel 'sengaja' membakar lahan untuk perluasan 
lahan sawit”.

Pendiri komunitas Rumah Bakau Jayapura Abdel Gamel Naser yang mengikuti diskusi 
dalam webinar menyatakan setuju dengan pemikiran anak-anak muda lainnya dengan 
Kesepakatan Paris, bahwa Bumi tidak sedang baik-baik saja, sehingga harus ada 
upaya dan langkah konkrit untuk mengatasi krisis iklim.

“Anak-anak muda jangan diam, harus bergerak menggunakan ruangnya. Saya kira 
Marcel memberi contoh yang baik untuk anak-anak muda lain di Jayapura, dengan 
aksi Climate Strike yang sudah dilakukan sejak 2018,” ujar Gamel menanggapi 
Climate Strike dan aksi “memulung sampah” yang dilakukan Marcel dan 
temen-temannya dalam upaya mengatasi krisis iklim di Papua.

Gamel mengajak anak-anak muda di Papua, termasuk para mahasiswa ikut mengawal 
komitmen pemerintah untuk menjalankan Kesepakatan Paris.

Ia mengatakan perubahan iklim itu nyata, sehingga anak-anak muda tidak bisa 
hanya diam dan menunggu, karena iklim di Indonesia, termasuk di Papua, juga 
sudah berubah.

“Saya juga meyakini Papua benteng terakhir iklim di Indonesia. Kita tidak usah 
bicara Kalimantan atau Sumatera yang sudah penuh dengan sawit. Mari kita jaga 
Papua,” ujar Gamel.

Sementara itu, salah satu tim penulis kajian kebijakan iklim yang aktif sebagai 
climate ranger Novita Indri mengatakan antusias dan semangat teman-teman muda 
di jejaring climate strike di dunia sama, ingin memastikan komitmen pemerintah 
untuk Kesepakatan Paris berjalan dalam menghadapi krisis iklim.

Dengan mengacu pada laporan Intergovernmental Pannel for Climate Change (IPCC) 
2018, Novita mengatakan krisis iklim sudah terjadi, termasuk di Indonesia, 
namun belum semua menyadarinya. Pertama, ancaman pulau tenggelam akibat 
kenaikan muka air laut setelah es di kutub mencair, dan diperkirakan 
kenaikannya mencapai 0,4 meter per tahun di 2100.

Kedua, kenaikan suhu tidak saja merusak ekosistem, namun sudah menjadi disrupsi 
bagi semua untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Bencana hidrometeorologi 
dampak kenaikan suhu Bumi yang memicu krisis iklim menjadi ancaman kebutuhan 
dasar manusia.

Ketiga, dampak yang timbul tidak saja merugikan secara material, tapi juga 
melebarkan kesenjangan dan ketidaksetaraan antara si miskin dan kaya yang 
memperbesar kemungkinan konflik sosial di masyarakat.

“Masih ada waktu dengan membuat target yang sejalan dengan maksud Paris 
Agreement. Lagi pula Indonesia juga telah menjamin hak generasi yang akan 
datang atas kehidupan yang layak dan manusiawi,” ujar dia.

Terkait hutan di Papua, menurut dia, itu menjadi harapan terakhir bagi 
Indonesia karena di Sumatera dan Kalimantan sudah banyak beralih untuk sawit 
dan tambang. Sementara suara perlindungan untuk hutan Papua belum banyak 
terangkat.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2020






Kirim email ke