Pak Awang,

Selamat tahun baru juga. 
Menarik memang membaca dan membicarakan buku-buku Karl May ini. Setahu saya 
bahkan sebagian besar bukunya telah dicetak ulang kembali oleh kelompok pecinta 
Karl May .....
Beberapa waktu yl, saya mencoba beberapa kali "menyodorkan" ke anak saya, tapi 
rupayanya daya tariknya masih kalah dengan Harry Potter...(padahal anak saya 
bacanya dengan susah payah karena sambil nunggu yang edisi bahasa Indonesia dia 
"maksa" baca edisi bahasa perancis yang udah keluar duluan). 
Tapi lucunya setelah ada temannya yang melihat buku Winnetou I di lemari kami 
dan kemudian meminjamnya, barulah dia mulai tertarik membacanya. Dan seperti 
jaman kita kecil, dia juga tidak mudah percaya bahwa buku itu ditulis berdasar 
khayalan atau imajinasi si penulis.... apalagi menurut dia di buku tersebut ada 
petanya segala...:-).

Terima kasih pak Awang, tulisannya yang sangat menarik di awal tahun.


salam,


----- Original Message ----
From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
To: IAGI <iagi-net@iagi.or.id>; Forum HAGI <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Wednesday, January 2, 2008 11:23:06 AM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Karl May, Winnetou, Old Shatterhand, dan Nietsche

Selamat tahun baru 2008 untuk semua rekan, semoga di tahun ini kita semua 
selalu sehat, selamat dan berhasil dalam pekerjaan kita masing2. Mengawali 
tahun 2008, saya kirimkan tulisan ringan hasil membereskan buku2 Karl May dalam 
liburan akhir tahun kemarin.
  
  Rekan2 seangkatan saya atau lebih senior daripada saya tentu mengenal Karl 
May. Adik2 junior saya juga mestinya mengenal Karl May kalau suka membaca 
kisah2 petualangan yang heroik dan humanis. 
  
  Liburan panjang kemarin, lumayan ada sedikit waktu buat bernostalgia dengan 
buku-buku Karl May yang pernah saya baca 25 tahun yang lalu (waktu SMA) saat 
saya jadi anggota perpustakaan wilayah P & K di Cikapundung, Bandung . Setiap 
minggu saya naik sepeda ke perpustakaan seberang kantor PLN itu, mengembalikan 
dan meminjam lagi buku2 Karl May. Hanya buku2 Karl May yang saya baca hampir 
setahun pertama menjadi anggota perpustakaan itu. Begitu memikatnya kisah2 Old 
Shatterhand dan Winnetou di Wild West Amerika atau Kara Ben Nemsi di Kurdistan 
dan Balkan. Judul2nya tak akan terhapus dari ingatan : trilogy Winnetou, Raja 
Minyak, Mustang Hitam, Hantu Llano Estacado, Surat Wasiat Inca, trilogy Kara 
Ben Nemsi, dan masih banyak lagi.
  
  Siapa yang pernah membaca buku2 Karl May pasti terkesan dengan kisah2 
petualangan di alam liar, persahabatan sejati, dan humanisme. Winnetou tidak 
pernah ragu2 mempertaruhkan nyawanya demi melindungi Old Shatterhand 
sahabatnya, demikian pula Old Shatterhand terhadap Winnetou. Persahabatan si 
juru ukur tanah Amerika-Jerman (Old Shatterhand) dan kepala suku Indian Apache 
(Winnetou) itu melalui suka dan duka menjadi kisah empat jilid buku dengan 
hampir 2000 halaman. Kisah ini digemari jutaan pembaca di seluruh dunia 
termasuk Albert Einstein dan Mohammad Hatta.
  
  Kali ini saya ingin sedikit mengulas Karl May, penulis kisah2 petualangan 
itu, yang juga hidupnya tak kalah menariknya dengan kisah2 yang ditulisnya, 
filsafat yang dianutnya, dan apa bedanya dengan Nietsche. Barangkali kita bisa 
belajar sesuatu dari Karl May. 
  
  Karl May (Carl Friedrich May), di Indonesia suka disebut dengan Dr. Karl May, 
dilahirkan di  Saksen ( Saxony ), Jerman pada tahun 1842. Ia lahir dalam 
keluarga penenun miskin. Karena kurang gizi, maka Karl May buta sejak lahir dan 
menderita sesak nafas alias asma.
  
  Tetapi, Karl mempunyai seorang nenek yang sangat mengasihinya. Dalam 
kebutaannya Karl mendapatkan penghiburan dari cerita-cerita neneknya. Tiap hari 
Karl larut dan hanyut dalam cerita. Raut muka neneknya yang tidak bisa 
dilihatnya dan cerita2 yang diceritakan neneknya membuat daya imajinasi Karl 
tumbuh dengan sangat kuat.
  
  Tentang ibunya, Karl menulis bahwa ibunya adalah orang kudus, selalu diam, 
tidak pernah mengeluh betapa berat pun penderitaannya, pekerja keras tanpa 
batas, selalu siap berkorban untuk yang lain, bahkan juga terhadap orang yang 
lebih miskin daripadanya, tetapi Karl menulis di otobiografinya bahwa bila 
malam tiba ketika ibunya sibuk merajut, disinari lampu kecil yang berasap, 
sebutir air mata sering turun dari mata ke pipinya, segera menghilang, lebih 
cepat dari munculnya.
  
  Tentang ayahnya, Karl menulis bahwa ayahnya adalah lelaki dengan dua jiwa. 
Satu jiwa yang lembut tanpa batas, satu lagi jiwa yang keras dan tanpa ampun, 
bertolak belakang memang. Ayahnya memiliki bakat luar biasa tetapi tak pernah 
bisa berkembang akibat kemiskinan yang luar biasa. Meskipun tidak bersekolah, 
ia bisa membaca dan menulis dengan baik atas usahanya sendiri yang keras. Karl 
pernah disuruh menyalin 500 halaman buku geografi agar ia bisa belajar dengan 
baik. Karl juga diajari etnografi oleh ayahnya. Belakangan, geografi dan 
etnografi adalah warna2 yang menonjol dalam kisah2 karangan Karl May.
  
  Pada umur enam tahun, Karl baru bisa melihat berkat operasi mata yang 
dilakukan dua dokter bedah yang merasa kasihan kepada keluarga miskin itu. 
Tetapi, karena kurang gizi sejak kecil, kaki Karl pun bengkok terkena rakitis, 
dan dia lebih pendek daripada rata-rata orang Jerman, Karl hanya punya tinggi 
badan 166 cm. Tetapi, semua kekurangan fisiknya sungguh tak sebanding dengan 
daya imajinasi Karl yang luar biasa.
  
  Walaupun keluarga miskin, buku dihormati di keluarga itu. Karl menulis, 
  
  “Di langit-langit rumah, di rak berlaci tua, ada buku-buku warisan leluhur, 
baik yang religius maupun yang sekuler. Ketika malam tiba, lampu kecil 
dinyalakan, sekeluarga berkumpul, salah satu dari mereka membaca buku-buku itu, 
yang lain mendengar dengan takzim. Saat jeda, mereka membahas apa yang baru 
didengarnya. Terkadang buku itu dibaca lebih dari dua puluh kali, dan mereka 
tidak jemu juga. Ada saja bahan baru untuk diperbincangkan”  (dikutip dari 
Hoffman, K., 1988, Karl May : Leben und Werk, Austellung in der Villa 
Shatterhand, Redebeul)
  
  Masa kecil yang penuh imajinasi, didikan keras ayahnya, dan humanisme ibunya  
adalah tiga hal penting yang akan membawa kesuksesan luar biasa untuk Karl 
kelak. Dari mana kepandaian mengarang Karl datang ? Dari penjara (!)
  
  Setelah bersekolah dasar dan dilanjutkan sekolah guru, Karl putus sekolah 
karena tak ada biaya, kemudian ia bekerja sebagai guru. Beberapa tuduhan 
kejahatan ditimpakan kepadanya karena suatu kesalahan. Sejak itu mulailah Karl 
menunjukkan kelainan jiwa. Ia mengalami perpecahan kejiwaan, ia punya pribadi 
ganda atau lebih. Belakangan, penyakit kejiwaannya ini disebut DID 
(dissosiative identity disorder). Ini terjadi pada tahun 1865, saat Karl May 
berumur 23 tahun. Kekacauan identitas ini membuat Karl May menyamar menjadi 
banyak hal : dokter mata yang membuatkan resep dalam bahasa Latin, guru 
seminari, pengacara, polisi, pencuri kuda, agen rahasia, karyawan, dan masih 
banyak lagi. 
  
  Penyamarannya ini membuat Karl May menjadi pelarian dan telah berkali-kali ia 
diganjar dengan hukuman penjara dari tahun 1865-1874. Empat tahun terakhir di 
penjara (1870-1874), Karl mendapatkan pengobatan yang efektif dari seorang 
pastor Katolik yang bertugas di penjara. Pastor ini bahkan mengajari Karl 
mengarang sebagai salah satu pengobatannya. Karl pun dipercaya sebagai penjaga 
perpustakaan penjara. Karena usahanya yang keras, Karl semakin baik dalam 
mengarang, bahkan sewaktu masih di penjara, Karl telah dipercaya  menjadi 
seorang editor untuk sebuah penerbitan di luar penjara. 
  
  Setelah beberapa karangan awal yang dimuat di berbagai penerbitan, mulailah 
Karl dengan karangan2 ber-genre baru, yaitu sebuah “reiseerzahlungen” (kisah 
perjalananan atau lebih tepatnya kisah petualangan). Ini terjadi pada tahun 
1874/1875, pada saat itu di Amerika tengah terjadi perlawanan orang Indian yang 
tanahnya diserobot orang kulit putih bangsa pendatang. Teknik bercerita Karl 
May mengalir dan memukau, para pembacanya terpukau membayangkan kisah 
petualangan yang nyata sebagai kisah perjalanan apalagi Karl menggunakan 
narrator sebagai “aku”, yang terlibat di dalam kisah2-nya. Tahun 1875, 
keluarlah tokoh utama kisahnya : Winnetou sang kepala suku Apache, lalu rekan 
kulit putihnya yang melawan bangsanya sendiri : Old Shatterhand (1879). 
Demikianlah, Karl May yang buta dan miskin pada masa kanak-kanak, berpenyakit 
rakitis, dan berkelainan jiwa pada masa mudanya, akhirnya sampai tahun 1910 
berhasil menulis 33 buku kisah2 petualangan dengan
 tokoh2 Winnetou, Old
Shatterhand di Amerika dan Kara Ben Nemsi di Asia Kecil dan Eropa. 
  
  Pada masa akhir hidupnya, Karl May sempat melakukan perjalanan selama 1,5 
tahun ke negara-negara yang suka disebutnya di buku2 kisah petualangannya, 
termasuk ke Sumatera (Aceh dan Padang - lihat bukunya “Dan Damai di Bumi”). 
Tetapi wilayah2 yang dijalani Old Shatterhand dan Winnetou tak bisa 
dikunjunginya karena situasi keamanan yang tidak mendukung. Karl May meninggal 
pada usia 70 tahun, tahun 1912. Selama hidupnya, ia telah menulis sekitar 70 
judul buku, hampir setengahnya adalah kisah2 petualangan yang diterjemahkan ke 
dalam 39 bahasa, termasuk bahasa Indonesia dan Sunda. Kisah2 petualangannya 
itulah yang kakek/nenek, orang tua kita, dan kita pernah baca sejak zaman 
Belanda, zaman kemerdekaan, sampai saat ini.
  
  Apa keistimewaan buku Karl May ? Pertama, ceritanya merupakan imajinasi namun 
berdata faktual. Uniknya, data faktual itu belum pernah dilihatnya. Cerita 
Winnetou berkisah tentang perang dan damai orang Indian di gunung dan lembah 
Amerika, padahal Karl belum pernah ke Amerika saat ia menulis bukunya, apalagi 
bertemu dengan orang Indian. Namun, data geografi dan etnografi di buku2 Karl 
sangat akurat. Keistimewaan keduanya, Karl mengarang mundur. Ia mulai menulis 
bab penutup lalu mundur ke bab pembuka. Keistimewaan ketiga, ia menempatkan 
dirinya sendiri dalam cerita, Old Shatterhand adalah personifikasi dirinya.
  
  Tetapi, keistimewaan yang mendalam dalam buku2 Karl adalah 
filsafat/teologinya. Ia menggambarkan manusia sebagai “Edelmensch”, yaitu 
manusia yang berjiwa mulia (itulah yang dipidatokannya beberapa hari sebelum ia 
meninggal). Buku2 Karl May adalah sebuah apologi (pembelaan teologis) terhadap 
filsafat Nietsche yang mengajarkan bahwa manusia adalah “Ubermensh”, yaitu 
manusia yang bernafsu unggul. Menurut Karl May, kehebatan manusia justru 
terletak dalam kemauan untuk berdamai dan bersahabat. Jiwa mulia itu tampak 
dalam diri Winnetou dan Old Shatterhand yang selalu mencari damai dan 
memulihkan hubungan semua suku Indian dan kulit putih.
  
  Begitulah Karl May, ada hal2 yang bisa dipelajari dari dirinya, juga banyak 
hal yang bisa dipelajari dari kisah2nya yang selalu menarik sepanjang zaman. 
Maka, tetap berharga membaca buku2nya.
  
  “Saya telah berbicara. Howgh !”
  
  Salam,
  awang

      
---------------------------------
Looking for last minute shopping deals?  Find them fast with Yahoo! Search.


      
____________________________________________________________________________________
Never miss a thing.  Make Yahoo your home page. 
http://www.yahoo.com/r/hs

Kirim email ke