Menarik sekali pak Awang,

- Yang sering alami adalah kesulitan pada saat melakukan paparan teknik dalam 
bahasa Indonesia. Dikarenakan kebiasaan menggunakan istilah teknik dalam bahasa 
aslinya (Inggris), maka seringkali terasa kagok waktu memakai istilah 
padanannya dalam bahasa kita. Dan itu kelihatannya dirasakan juga oleh 
pendengarnya. 

- Proses "inggrisisme" saya amati sekarang tidak terbatas di kalangan teknik, 
tapi juga di kehidupan sehari-hari (terutama di kedai-kedai waralaba).....coba 
kalau makan di tempat itu terus kita pesan es sari jeruk, maka pelayannya akan 
bengong...mereka baru ngeh kalau kita pesan "orange juice".... atau pesan 
kentang goreng...tahunya setelah disebut "french fries", porsi sedang, mereka 
akan menegaskan "medium" ya pak...dst...


salam,


________________________________
From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]>
To: Geo Unpad <[EMAIL PROTECTED]>; Forum HAGI <[EMAIL PROTECTED]>; Eksplorasi 
BPMIGAS <[EMAIL PROTECTED]>; IAGI <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Thursday, November 6, 2008 11:40:31 PM
Subject: [iagi-net-l] Mari Kita Terus Belajar Bahasa Indonesia

Berikut sebuah tulisan pendek yang saya mulai menulisnya pada 28 Oktober lalu, 
tepat 80 tahun setelah “Sumpah Pemuda” diikrarkan, yang saya tulis di ujung 
selatan Afrika - di Capetown di antara kesibukan menghadiri pertemuan AAPG 
26-29 Oktober 2008. Tulisan terputus di tengah, terselingi oleh tulisan lain 
tentang kasus jajak pendapat Lusi di pertemuan AAPG tersebut yang harus segera 
ditanggapi.  Tulisan ini tentang sikap kita pada umumnya kepada bahasa 
persatuan kita : bahasa Indonesia. 
 
Tanggal 28 Oktober yang lalu kita memperingati 80 tahun “Sumpah Pemuda” (28 
Oktober 1928). Semoga kita tetap mengingatnya sebagai tonggak penting sejarah 
bangsa Indonesia, saat para pemuda kita dari berbagai perkumpulan daerah 
bersatu bersumpah “bertanah air satu : Tanah Air Indonesia, berbangsa satu : 
Bangsa Indonesia, berbahasa satu : Bahasa Indonesia. 
 
Apakah kita telah berbahasa Indonesia dengan baik dan benar setelah belasan 
tahun bahasa nasional ini kita pelajari dari TK sampai perguruan tinggi dan 
setelah puluhan tahun bahasa persatuan ini kita gunakan sehari-hari dalam 
berbagai kesempatan resmi dan tak resmi ? Banyak orang menganggap bahasa 
Indonesia itu mudah. Benarkah ? 
 
“Jangan menganggap bahasa Indonesia itu mudah. Yang mudah ialah bahasa 
Indonesia tutur (lisan), yang kita gunakan dalam pergaulan sehari-hari, tetapi 
bahasa Indonesia ragam resmi yang baku tidak semudah yang disangkakan orang”, 
demikian kutipan dari “Cakrawala Bahasa Indonesia” (Badudu, 1988, PT Gramedia, 
hal. 11). Kalau seorang guru besar bahasa Indonesia seperti Yus Badudu saja 
mengatakan bahwa bahasa Indonesia ragam resmi tak mudah, maka sebaiknya kita 
menghapus sangkaan itu.
 
Kapan bahasa Indonesia terasa tidak semudah seperti yang kita sangka ? Yaitu, 
ketika bahasa Indonesia digunakan dalam tulisan resmi. Seseorang yang tidak 
biasa menggunakan bahasa Indonesia secara teratur dalam bertutur akan merasakan 
kesukarannya bila ia tiba-tiba diminta berbicara di depan umum dalam suatu 
acara bersifat resmi. Seseorang yang tidak biasa menulis akan merasa sukar bila 
ia harus membuat karangan, misalnya surat resmi, kertas kerja, laporan ilmiah. 
Memeriksa kemampuan sesungguhnya seseorang akan suatu bahasa dapat segera 
terbaca melalui tulisan resminya. Dalam setiap bahasa berlaku hal itu.
 
Sikap kita terhadap bahasa Indonesia milik nasional sering negatif. Kita yang 
sudah tidak wajib lagi mempelajari bahasa Indonesia karena telah lulus sekolah 
umumnya betapa kurang dan tidak adanya perhatian kita terhadap bahasa Indonesia 
yang setiap hari kita gunakan itu. Kita sering merasa tak ada kekurangan pada 
diri kita atas kekurangsanggupan kita menggunakan bahasa Indonesia itu dengan 
baik dan benar. Apakah kita telah yakin bahwa kita tidak membuat kesalahan 
dalam bertatabahasa Indonesia : susunan kata dalam kalimat, bentukan kata, 
maupun pemakaian kata dengan makna yang tepat ?
 
Jika bangsa Indonesia sebagai pemilik dan pemakai bahasa Indonesia terus 
bersikap negatif terhadap bahasa nasionalnya, bahasa Indonesia akan berkembang 
secara kacau dan tak pernah bahasa ini menjadi bahasa yang mantap. Walaupun 
kita tidak lagi terikat secara pendidikan harus mempelajari bahasa Indonesia, 
janganlah kita berhenti mempelajari bahasa Indonesia sebab bahasa kita ini 
berkembang terus. Aturan bahasa atau bentukan kata yang selama ini kita anggap 
benar, ternyata salah menurut aturan yang benar. Kita tidak akan pernah tahu 
bahwa itu salah kalau kita tidak lagi belajar bahasa Indonesia. Kesalahan 
berbahasa yang kita anggap benar itu disebut ”salah kaprah”.
 
Salah kaprah adalah salah yang sudah umum sehingga tidak lagi terasa 
kesalahannya. Bentuk salah kaprah hendaknya dikembalikan kepada bentuknya yang 
benar dan tepat. Bila terlampau banyak bentuk salah kaprah, terlalu banyak 
penyimpangan dari kaidah bahasa yang berlaku, bahasa itu bukanlah bahasa yang 
baik, yang mantap. Kalau bentuk salah kaprah diterima sebagai bentuk kecuali 
maka bahasa itu bukanlah bahasa yang mantap. Bahasa yang baik ialah bahasa yang 
mantap, yang bersistem, yang mudah dipelajari. Bahasa yang bersistem adalah 
bahasa yang mudah dipelajari. Dalam linguistik dijelaskan  bahwa kita belajar 
bahasa dengan membentuk analogi dari bentuk pertama yang kita pelajari. Tanpa 
keteraturan yang ada pada sistem bahasa itu, akan sangat sukar mempelajari 
bahasa karena semua harus dihafalkan saja.
 
Sikap kita yang kurang teliti (atau kurang peduli) dalam berbahasa menyebabkan 
makin tersebarnya bentuk salah kaprah itu. Beberapa salah kaprah yang sering 
ditemui : merubah, mengenyampingkan, dimana, ijin, bersama ini kami kabarkan, 
pertanggungan jawab, tapi, kenapa, lain kesempatan, kantor di mana saya 
bekerja, itu adalah benar, disebabkan karena, lebih besar dari, berulang kali, 
para hadirin, pada zaman dahulu kala, kwalitas, analisa, metoda, prosentase, 
praktek, hektar, sistim. Semoga kita tahu apa bentuk-bentuk benar dari 
bentuk-bentuk salah ini. 
 
Anton M. Moeliono, seorang tokoh bahasa Indonesia, menulis dalam ”Politik 
Bahasa Nasional” (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1976, hal. 29), 
”Bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan dinamis, yang berupa kaidah dan 
aturan yang tetap. Tetapi kemantapan itu cukup terbuka untuk perubahan yang 
bersistem di bidang kosakata dan peristilahan dan untuk perkembangan berjenis 
ragam dan gaya di bidang kalimat dan makna.” ”Ciri lain yang harus dimiliki 
oleh bahasa baku yang modern ialah ciri kecendekiaan. Bahasa Indonesia harus 
mampu mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang ilmu, 
teknologi, dan antarhubungan manusia, tanpa menghilangkan kodrat dan 
pribadinya.”
 
Kita menginginkan dan berusaha menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang lebih 
tinggi tarafnya daripada sekadar bahasa pergaulan saja. Kita ingin agar bahasa 
Indonesia menjadi bahasa ilmiah. Keinginan kita itu telah kita buktikan. Kita 
telah berusaha menciptakan istilah yang cukup bagi berbagai bidang ilmu. Kita 
mencoba meningkatkan swadaya bahasa kita dengan menciptakan bentuk-bentuk baru 
dari unsur bahasa yang ada. Di perguruan tinggi, kuliah diberikan dalam bahasa 
Indonesia. Laporan-laporan ilmiah seperti kertas kerja, makalah, skripsi, dan 
disertasi ditulis dalam berbagai bidang ilmu ditulis dalam bahasa Indonesia.
 
Sikap kita terhadap bahasa Indonesia haruslah positif. Artinya, cinta akan 
bahasa Indonesia haruslah diejawantahkan dengan perbuatan yang nyata. Setiap 
putra dan putri Indonesia haruslah mau berusaha meningkatkan pengetahuan dan 
keterampilannya berbahasa Indonesia. Kita harus memberikan tempat dan kedudukan 
yang layak bagi bahasa Indonesia karena ia bahasa nasional kita. Penghargaan 
kita terhadap bahasa Indonesia harus lebih tinggi daripada penghargaan kita 
terhadap bahasa asing yang mana pun.
 
Mari kita terus belajar bahasa Indonesia.
 
salam,
awang


      

Kirim email ke