Maaf, bukan mengurangi semangat, tetapi ini sebuah pengalaman, sebuah realita.
Pak Rovicky tentu sudah merasakan sulitnya mencari penulis artikel untuk Berita IAGI apalagi majalah Geologi Indonesia. Begitulah, itu pengalaman saya beberapa tahun yang lalu saat saya menjadi pengurus publikasi Betita IAGI dan Geologi Indonesia. Sehingga, publikasi-publikasi ini tidak pernah bisa rutin terbit sesuai diharapkan sebab kelangkaan atau ketiadaan artikel. Sekalipun terbit, biasanya hampir setengah dari artikel2-nya saya tulis sendiri, tidak lucu sebenarnya sebab saya pengurusnya, tetapi apa boleh buat sebab bila tidak begitu publikasi-publikasi akan tidak pernah terjadi. Menurut hemat saya, rutinitas publikasi adalah indikator sehat atau sakitnya suatu organisasi, lihat saja AAPG atau GSA (Geological Society of America), dua organisasi geologi sangat sehat di dunia. Sulit sekali menemukan penulis yang mau menulis "for nothing". Mereka dari kalangan lembaga riset atau perguruan tinggi, anggota IAGI juga, bila diminta menulis selalu akan bertanya dulu, apa akreditasi jurnal ini, bagaimana ISSN-nya, dibandingkan dengam jurnal ini, itu bagaimana, mana yang lebih tinggi. Mereka menulis demi kredit mereka. Sebab saat itu majalah Geologi Indonesia belum ada ISSN-nya, maka sepi sekali penulis dari kalangan ini. Mencari penulis ke company, problemnya lain, sibuk...atau mereka tidak punya tema buat ditulis (mungkin hanya bekerja dan bekerja, tak pernah memikirkan aspek sains di balik pekerjaannya, padahal tak terbilang banyaknya aspek tersebut kalau kita mau sedikit saja membagi perhatian). Bersemangat itu bagus dan suatu keharusan, sayangnya pengalaman menunjukkan kita hanya bersemangat di awal, setelah itu "gone with the wind" ...memudar dengan berjalannya waktu. Konsistensi, menjaganya, jauh lebih sulit daripada membangunnya. Bila kita mau serius membangun publikasi populer IAGI, mari kita "bersumpah" untuk konsisten baik para pengurusnya maupun para anggotanya. Salam, Awang