KEKRISTENAN
DAN ATHEISME DI INDONESIA

 

oleh: Ev.
Bedjo Lie, S.E., M.Div.

 

 

 

Suatu kali penulis
terlibat diskusi mengenai signifikansi dari pencantuman nama agama dalam KTP di
Indonesia. Apakah nama agama masih  perlu dicantumkan dalam KTP? Apa
sebenarnya signifikansinya? Diskusi tersebut berlangsung dalam sebuah pertemuan
kelompok di antara para undangan acara Konferensi Gereja dan Masyarakat VIII
yang diselenggarakan oleh PGI di Cipayung, Jawa Barat, pada tahun 2008. Dalam
acara tersebut, penulis bertanya pula “bagaimana dengan saudara-saudara kita
yang ateis?" Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ateis di Indonesia
seringkali “harus” mencantumkan nama “Buddha” atau "Kristen" atau
agama lain untuk menutupi identitas asli mereka.

 

Bagi penulis sendiri,
tidaklah sulit untuk mengingat contoh-contoh kasus ateis yang ber-KTP Kristen
atau Buddha karena beberapa dari keluarga besar penulis sendiri termasuk di
dalamnya. Ini dikuatkan lagi dengan para mahasiswa yang penulis layani.
Sebagian diantara para mahasiswa tersebut bersedia mengaku diri sebagai ateis
dalam paper yang mereka kumpulkan kepada penulis namun biasanya masih memiliki
KTP yang memuat nama agama tertentu. Jadi, di tengah masyarakat yang katanya
"religius" seperti Indonesia, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa
membahas tentang ateisme itu relevan. Mengapa karena mereka eksis. Berapa
banyak? Kita sama-sama tidak tahu!

 

Nah sampai disini
mungkin ada yang berpikir, jika para ateis memang ada di sekitar kita, “Mengapa
banyak orang Kristen dan pendeta tidak pernah bertemu dengan orang-orang itu di
Indonesia?” Tentu saja ada banyak alasan yang dapat menjelaskan hal ini.

 

Pertama, mungkin karena
banyak orang Kristen tidak suka “keluar” dari rumah gereja mereka dan bertemu
dengan para “free thinker” yang di
luar sana. Kata “keluar” bisa berarti mengunjungi website-website ateis yang
tinggal Anda ketik di google search
maupun secara literal berarti keluar dari gereja dan bertemu dengan seorang
ateis secara fisik. Banyak orang Kristen menjadikan gereja sebagi club
"dari, oleh dan untuk kita" sehingga tidak bersentuhan dengan orang
tak percaya.

 

Kedua, untuk para
pelayan Tuhan yang konteks pelayanannya di sekitar gereja dan jarang
penginjilan, ya tentu saja mereka akan semakin jarang bertemu dengan ateis.
Bagaimana tidak, hampir seluruh waktu sudah tersedot untuk acara-acara
gerejawi. Jadi tentu wajar jika tidak pernah berjumpa dengan ateis. Untuk
alasan yang kedua ini sebenarnya masih belum mutlak pula. Mengapa? Sebenarnya
tidak satu dua kali penulis bertemu dengan orang yang ke gereja tetapi
pemikirannnya condong atau memang ateis. Herannya mereka masih ke gereja karena
banyak alasan seperti mencari maupun  menemani pacar atau sekedar ikut
teman dan orang tua.

 

Nah mengapa banyak
pelayan Tuhan di gereja yang tidak mengetahuinya? Tampaknya para ateis ini,
masih malu-malu atau malas untuk membuka dirinya.  Malu-malu karena
ketahuan sebagai seorang ateis di Indonesia masih belum keren (lain ceritanya
dengan di Eropa). Kedua, malas karena mereka juga tahu bahwa mayoritas pelayan
Tuhan paling-paling cuma bisa beretorika tentang "dosa, pengampunan dan
kasih Tuhan". Di mata para ateis, terlalu banyak pelayan Tuhan yang tidak
cukup mampu dan mau berdiskusi tentang isu-isu yang menjadi hambatan
intelektual kaum ateis. Sedikit saja yang siap berdiskusi dengan mereka. Malas
deh diskusi sama kamu...begitu kata sebagian ateis dalam hati.

 

Oleh karena itu jika
anda bertemu dengan ateis yang sudah lama rindu berdiskusi dengan orang Kristen
yang siap "diajak bicara" maka diskusinya bisa memakan waktu yang
lama, lebih lama daripada pertandingan sepak bola. Mereka seperti orang yang
sudah sekian lama membutuhkan konseling karena problem-problem yang mereka
hadapi namun kebanyakan orang di gereja hanya bisa mendoakan mereka. Seketika
mereka menemukan konselor yang matang, mereka langsung mencurahkan semua
pergulatan emosional mereka, "tumplek blek" begitu kata orang Jawa.
Begitu pula dengan ateis, mereka biasanya langsung mengeluarkan semua
"unek-unek" mereka tentang Kekristenan ketika menemukan partner
diskusi yang pas dan siap diajak berdiskusi tentang topik-topik yang "agak
tabu" dalam Kekristenan.

 

Unek-unek tentang Kekristenan
yang digumulkan para ateis itu bisa sangat variatif dari A sampai Z. Mulai dari
Alkitab yang dianggap mencerminkan budaya pro pria (patriarkal) dan
diskriminatif terhadap kaum wanita, kisah penciptaan Alkitab khususnya young 
earth creationism
yang dianggap tidak cocok dengan perkembangan astronomi dan
arkeologi, arogansi klaim Yesus bahwa Dialah satu-satunya jalan kepada Bapa,
budaya barbar dari orang Yahudi ketika membinasakan suku-suku lain di sekitar
Kanaan, inkonsistensi antara praktek poligami di PL dan penekanan monogami di
PB, sifat tidak ilmiah dari Alkitab ketika berbicara tentang adanya terang di
penciptaan hari pertama sedangkan matahari baru tercipta di hari ke-empat,
kebodohan ide bahwa matahari bisa berhenti, dan tidak tersedianya bukti masa
kini bahwa orang Kristen yang minum racun tidak akan mati seperti dalam Markus
16:17-18, dll.

 

Menuliskan hal ini
mengingatkan penulis pada Dan Barker (1949- ), seorang mantan pengkhotbah
Injili yang berubah menjadi ateis ketika menyindir orang Kristen dengan
kalimat: “kamu percaya kepada sebuah buku yang mengajarkan binatang-binatang
yang bisa berbicara, penyihir-penyihir pria, penyihir-penyihir wanita,
setan-setan, tongkat-tongkat yang berubah menjadi ular-ular, makanan yang turun
dari langit, orang yang berjalan di atas air, dan semua jenis cerita-cerita
magis yang sia-sia dan primitif, dan kamu berkata bahwa kami adalah
orang-orang yang perlu bantuan?” Bagi Dan Barker, terlalu banyak yang tidak
rasional dari Alkitab dan Kekristenan. Ateis tidak butuh bantuan orang Kristen,
sebaliknyalah yang benar.

 

Tuduhan lain dari para
ateis adalah bahwa, orang-orang beragama, termasuk Kristen tentunya, tidak suka
diajak berdiskusi atau debat tentang isu-isu ini. Celakanya lagi sebagian orang
Kristen memiliki mentalitas “dogmatis” yang tidak suka diskusi apa pun. Ya,
mungkin karena takut kalah dan goncang kali...begitu gumam para ateis. 
Karena itu kutipan di bawah ini adalah contoh bagaimana para ateis menyindir
orang beragama dan orang Kristen khususnya.

 

Kutipan dari Anonymous
yang telah menulis di T-Shirt dan slogan-slogan sticker

“filsafat adalah
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak pernah terjawab. Agama adalah
jawaban-jawaban yang tidak boleh dipertanyakan”

“Moralitas adalah
melakukan sesuatu yang benar terlepas  dari semua yang telah diajarkan
kepada Anda. Agama adalah melakukan apa yang telah diajarkan kepada Anda
terlepas dari pada yang benar.”

“Kristen: ‘Aku akan
berdoa untukmu’ 

Ateis: ‘Jika begitu,
aku akan berpikir untuk kita berdua.’”

 

Benarkah
sindiran-sindiran ateis di atas? Kita semua harus menjawabnya...atau mendoakan
dan mengasihinya saja?

 

 

 

Sumber:
note penulis di FB.

 

 

 

Profil
Penulis:

Ev.
Bedjo Lie, S.E., M.Div.
adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian 
Worldview di Universitas
Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di 
UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari
Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi
Zacharias International Ministry, Academy
of Apologetics,
India. Saat ini beliau sedang menyelesaikan studi Master of Theology (M.Th.) 
bidang Theologi Sistematika di Talbot
School of Theology, Biola University, U.S.A.

 

 

 

Editor
dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio



“Ketika saya menganggap Allah sebagai seorang tiran, saya melihat dosa saya 
sebagai hal yang sepele, tetapi ketika saya mengenal Dia sebagai Bapa saya, 
maka saya meratapi bagaimana saya pernah melawan-Nya.”
(Rev. Charles H. Spurgeon, seperti dikutip dalam Prof. Edward T. Welch, Ph.D., 
Depresi, hlm. 115)



Kirim email ke