Penafsiran Baru Atas Al-Qur'an

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Rabu, 21 Juli 2004


Banyak cara dapat digunakan untuk menafsirkan kitab suci al-Qur'an al-Karim.
Seorang mubaligh yang sudah meninggal dunia di Jawa Timur mengatakan dalam
'kenakalan' yang dibuatnya, di samping 'Tafsir al-Jalalain', sebuah kitab
tafsir yang sangat populer dan digunakan hampir semua pondok pesantren, ada
'Tafsir Jalan Lain' yang dikembangkan olehnya. Dengan cara bergurau seperti
ini, ia melakukan sesuatu hal yang memang diperlukan dalam "memahami"
kandungan kitab suci tersebut. Dalam arti memahami kebutuhan akan
perubahan-perubahan makna yang "ditentukan" oleh keadaan. Ini sesuai dengan
firman Allah sendiri, yang menyatakan: "Hari ini Ku sempurnakan bagi kalian
agama kalian, dan Ku sempurnakan atas kalian nikmat Ku dan telah Ku ridloi
bagi kalian Islam sebagai agama" (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu
'alaikum ni'mati wa radhitu lakum al-islama dinan).


Dalam hal ini, ada dua buah prinsip yang selalu digunakan oleh para penulis
muslim 'modern', yaitu yang berbunyi: "Ajaran Islam sesuai dengan tiap
tempat dan waktu" (Al-islam yashluhu li kulli zamanin wa makanin) dan dalam
teori hukum Islam (ushul fiqh) juga menyebutkan adanya "adat istiadat yang
dihukumkan"(Al-adatu muhakkamah). Dengan menggunakan dua hal ini, di samping
ayat yang disebutkan di atas, banyak penulis muslim dan penceramah agama
membuat uraian tentang 'pemahaman baru' mengenai isi dan kandungan kitab
suci tersebut. Tentu saja 'penafsiran ulang' seperti itu tidak boleh melawan
pandangan yang sudah ada, atau dengan 'maksud aneh' yang telah berkembang
selama berabad-abad lamanya. Ini tidak boleh kita lupakan sama-sekali, kalau
diinginkan "penerimaan" cukup luas.


Salah satu upaya memahami kandungan kitab suci itu, adalah upaya penulis
untuk 'memulai' pemahamannya melalui apa yang penulis sebut sebagai 'tafsir
baru'. Umpamanya saja, penulis memahami firman Allah: "Telah membuat kalian
lupa kebiasaan berbanyak. Hingga kalian memasuki liang kubur" (Al-hakumu
al-takatsur. Hatta zurtumu al-maqobir). Pada umumnya, kebiasaan
berbanyak-banyak (al-takatsur) dalam ayat tersebut diartikan
berbanyak-banyak anak atau harta. Namun dalam pandangan penulis, istilah
tersebut dapat juga berlaku bagi upaya memperbanyak perolehan suara dalam
pemilu, tanpa menggunakan etika yang benar alias manipulasi perolehan suara.
Ini berarti, adanya 'perintah agama' untuk melakukan koreksi dengan tidak
mendiamkan manipulasi suara itu, seperti yang terjadi di negeri kita dewasa
ini.


Sebuah perintah Allah lainnya, berbunyi: "Dan jangan kalian taati perintah
mereka yang bersikap keterlaluan"(Wa la tuthi'uu al amr al-musrifin), yang
harus dikaitkan dengan firman Tuhan: "Tiap orang pekerja mengerjakan sesuai
dengan kecakapan/profesinya" (Kullun ya'malu 'ala syakilatih). Karena
itulah, tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengeluarkan keputusan
melalui surat-surat keputusan (SK) dalam pemilu kita tahun ini, harus
mendapatkan "koreksi". Karena SK itu bertentangan dengan UUD kita yang ada,
maka tentu saja itu tidak boleh oleh Undang-Undang. Tentu saja akan ada
'tuduhan' bahwa penulis melakukan politisasi kedua ayat tersebut. Namun,
jelas upaya penulis itu sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam sekian
banyak ajaran agama Islam. Namun, justru penulis menganggap 'kritikan'
seperti itu, oleh ajaran Agama Terakhir tersebut, sebagai penolakan atas
ketimpangan-ketimpangan.


*****

Suatu hal yang harus diingat dalam hal ini, adalah kenyataan bahwa Islam
selalu 'berbicara' dalam bahasa yang beragam. Adakalanya secara mikro, dan
ada kalanya secara makro dan kadang pula pula ia berbcara secara mikro dan
makro. Secara mikro dapat dilihat pada firman Allah di atas, yaitu "Tiap
orang pekerja mengerjakan sesuai dengan kecakapan/ profesinya". Namun, ada
kalanya ia berbicara secara makro, seperti firman Allah: "Dan barang siapa
mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal sholehnya tidak diterima dan
ia diakhirat kelak menjadi orang yang merugi "(Wa man yabtaghi ghaira
al-Islami diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati mina
al-khasirin). Ini adalah sikap makro tiap orang muslim terhadap para
pengikut agama lain, karenanya menjadi sikap semua orang muslim terhadap
semua orang yang beragama lain.


Apakah ini berarti Islam tidak menghargai agama lain? Tidak demikian.
Penghargaan itu harus 'ditunjukkan' dalam bentuk lain, yaitu penghargaan
kepada tiap perbuatan baik (a'mal al khair). Seperti Allah swt berfirman:
"Hendaknya ada sebuah kelompok diantara kalian, yang mengajak kepada
perbuatan baik" (Waltakun minkum ummatun yad'uuna ila al-khairi). Firman
Allah ini jelas berarti penghormatan terhadap tiap perbuatan baik umat
manusia, walaupun berbeda keyakinan.


Adapun perintah Allah yang harus berlaku secara mikro maupun makro dapat
dilihat antara lain pada ayat berikut: "Bagi kalian agama kalian, dan bagiku
agamaku" (Lakum diinukum wa liyadiin). Dalam hal ini, perintah Allah berlaku
baik bagi setiap orang muslim maupun bagi semua orang yang memeluk agama
tersebut. Jadi, antara semua agama yang ada di dunia secara makro harus ada
sikap saling menghormati, tanpa "kehilangan" keyakinan akan "kebenaran"
masing-masing. Inilah prinsip hubungan antar agama secara makro bagi setiap
orang.


Nah, kita sendiri sekarang dapat mengaca perbuatan yang kita lakukan, dalam
sikap terhadap agama lain. Sudahkah kita memiliki "obyektifitas" (tidak
memihak) kepada emosi sendiri? Jika belum, terus terang saja kita belum
menjadi muslim yang dikehendaki oleh kitab suci tersebut. Namun, upaya
perbaikan itu sendiri dapat dilakukan tiap waktu. Bukankah sebuah pepatah
menyatakan, bahwa lebih baik terlambat dari pada tidak pernah sama sekali
(better late than never).


Pemahaman kitab suci secara 'baru' tersebut, akan membuka bagi kita sebuah
cakrawala/pandang yang akan 'mendewasakan' diri kita sendiri, baik dalam
sikap secara mikro maupun makro. Secara mikro, ini berarti "perubahan besar"
dalam kehidupan sendiri sehari-hari. Dan ini akan mempunyai pengaruhnya atas
sikap-sikap kita. Secara makro, artinya sikap pribadi itu membawa perubahan
lebih besar lagi yang mempengaruhi hubungan antar agama yang kita kembangkan
bersama-sama para pemeluk agama/ agama lain. Khususnya dengan mereka yang
memiliki/mengembangkan kesadaran yang sama. Nah, jika cukup banyak jumlah
para pengikut agama-agama yang ada berpendapat atau bersikap seperti ini,
maka akan menjadi lebih sehatlah kehidupan kita bersama sebagai masyarakat,
bangsa. Proses pendewasaan tersebut sangat kita perlukan dewasa ini sebagai
bangsa, mengingat tingginya kadar keberagaman (heterogenitas) yang kita
miliki. Di sini terasa berguna adagium NU yang mengharuskan "menjaga yang
baik dari cara hidup lama, dan hanya mengambil yang lebih baik dari yang
baru (Al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al jadid
al-ashlah). Ini adalah bagian dari proses pendewasaan diri yang mudah dalam
bentuk ucapan, melainkan sulit dilaksanakan, bukan?


Jakarta, 13 Juli 2004


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke